WAMENA, ODIYAIWUU.com — Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Wamena, Kabupaten Jayawijaya yang terjadi pada 4 April 2003, menolak tawaran bantuan melalui tim yang dibentuk pemerintah pusat. Pihak keluarga korban baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup juga memminta Presiden Joko Widodo menjawab pernyataan mereka sebelum menawarkan bantuan.
“Kami keluarga korban kasus Wamena tidak akan menerima bantuan dari pemerintah Indonesia dalam bentuk apapun, entah judisial maupun non judisial. Kami keluarga korban dan korban tidak percaya pemerintah Indonesia dalam proses penyelesaian judisial. Apalagi, kasus ini sudah memakan waktu hingga 19 tahun dan kami tidak tahu seperti apa perkembangan kasus ini,” ujar Pendeta Hosea Murib dan Linus Hiluka, perwakilan keluarga korban kepada Odiyaiwuu.com usai pertemuan dengan tim pemerintah di Hotel Grand Balim, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Jumat (11/11).
Dalam pernyataan perwakilan keluarga korban, ada sejumlah poin yang disampaikan. Pertama, keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003 menegaskan, mereka menolak tidak menerima segalah bentuk tawaran dari pemerintah Indonesia, termasuk penyelesaian judisial dan non-judisial.
“Langkah ini semata-mata untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Kami keluarga korban dan korban minta perundingan dalam perspektif hak asasi manusia yang difasilitasi oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Murib dan Hiluka.
Kedua, pihak keluarga korban dan korban mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengijinkan Komisi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan wartawan media asing untuk melakukan pemantauan kasus pelanggaran HAM berat Wamena dan kasus pelanggaran HAM lainya di tanah Papua.
Ketiga, keluarga korban dan korban yang merupakan sebagai warga negara, menyesalkan dengan sikap Pemerintah Indonesia, yang tidak pernah terbuka dan transparan menyampaikan perkembangan proses hukum kasus yang dimaksud.
Sedangkan Pemerintah Indonesia menyampaikan kepada masyarakat internasional, telah menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti di Wamena, Wasior, dan Paniai, sementara keluarga korban dan korban belum pernah mengetahui proses penyelesaiannya.
Keempat, keluarga korban dan korban menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia, yang selalu membangun isu yang tidak benar terhadap masyarakat internasional, termasuk PBB seolah-olah kasus pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003 sedang ditangani.
“Sedangkan kami sebagai keluarga korban dan korban belum pernah mendapatkan informasi terkait proses penyelesaian kasus tersebut,” lanjut Murib dan Hiluka dalam statemennya.
Murib dan Hiluka menjelaskan, pada 4 April 2003 pukul 01.00 WIT, sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Komando Distrik (Makodim) 1702 Wamena, Jayawijaya. Pembobolan gudang disertai penyerangan tersebut, menyebabkan dua anggota personil Kodim, Lettu TNI AD Napitupulu dan prajurit Ruben Kana, penjaga gudang dan satu orang prajurit mengalami luka. Dari pihak penyerang, satu orang tewas dan seorang lagi mengalami luka berat.
Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi. Selanjutnya terjadi operasi besar-besaran mencari pelaku dan sejumlah pucuk senjata dan amunisi. Dalam operasi itu, ujar Murib dan Hiluka, TNI telah menebarkan ketakutan dan situasi tidak aman lalu melakukan pemindahan paksa di dusun Prabaga, Yoggime, dan Alogonik disertai pengrusakan dan penghilangan harta milik masyarakat.
Setelah operasi pengejaran tersebut, terjadi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap Kanius Murib, Yaprai Murib, Numbung Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka kemudian divonis bersalah dengan hukuman penjara seumur hidup. Michael Heselo, yang divonis hukum penjara seumur hidup akhirnya meninggal dalam tahanan.
“Mereka dituduh dengan pasal makar. Saat itu penangkapan dan penahanan hingga proses hukum dan vonis terhadap Kimanus Wenda dan kawan-kawan tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah. Terutama menyangkut penahanan dan penangkapan sewenang-wenang baik oleh TNI maupun Polri,” katanya.
Murib dan Hiluka mengatakan, pada saat pemeriksaan tidak diberitahu tentang hak-hak mereka selaku tersangka. Pada pemeriksaan awal, misalnya, tidak didampingi penasehat hukum. Padahal, pasal yang dikenakan ancaman pidananya di atas 5 tahun.
Saat itu, Kimanus juga dikabarkan tidak fasih berbahasa Indonesia setelah divonis di bawah tekanan TNI-Polri tanpa diberitahukan kepada keluarga. Kimanus langsung dipindakan secara paksa ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Gunung Sari Makassar pada pertengahan Desember 2003 dengan hercules milik TNI-AU.
Murib dan Hiluka menjelaskan, kurang lebih setahun Komnas HAM mengeluarkan Laporan KPP HAM Wamena terkait penyelidikan pro justisia atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus Wamena. Peristiwa terjadi secara masif, massal, dan meluas dari Wamena hingga Kyawage.
Murib dan Hiluka menambahkan, rupanya sudah menjadi kebiasaan apabila para penuntut umum di Kejaksaan Agung selalu mempertanyakan bukti formil dan materiil kasus Wamena terhadap Komnas HAM. Hal yang juga tidak jauh dengan kasus Abepura serta kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Pada 2004 hingga 2006 Jaksa Agung berjanji menyelesaikan bertepatan syarat formil dan materiilnya laporan Komnas HAM.
“Lalu tahun 2008 juga Komnas HAM menyatakan bahwa pengembalian berkas dan petunjuk yang dikembalikan Kejaksaan Agung sama sekali tidak berdasar. Parahnya, tahun 2012 Komnas HAM dan Kejaksaan Agung tidak ada kemauan menyelesaikan laporan pelanggaran HAM berat Wamena yang sedang ditunggu masyarakat atau keluarga korban, termasuk para narapidana politik sebagai tertuduh dari peristiwa tersebut,” katanya.
Fakta proses hukum kasus Wamena jauh melenceng dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM. Di dalam Pasal V ayat 22 disebutkan, dalam melakukan penyelidikan segera menyelesaikan dalam jangka waktu 90 hari +90 hari+60 hari yang disetujui Ketua Pengadilan HAM.
Apabila jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, Jaksa Agung segera mungkin mengeluarkan Surat Perintah Penghentin Penyidikan (SP3). Jaksa Agung jelas melanggar ketentuan Undang-Undang. Siapa yang mempersoalkan Kejaksaan Agung dalam pelanggaran Undang-Undang Tahun 2000 menjadi bukti bahwa negara tidak serius dapat membantu memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)