Oleh Hani S Sawasemariai
Mahasiswa Papua asal Pegunungan Bintang;
Sedang Studi S-2 di Universitas Diponegoro
SEJAK era reformasi situasi Papua sedang tidak baik-baik saja. Kekerasan nyaris terjadi di seluruh pelosok Papua. Sejak otonomi khusus Papua jilid pertama tahun 2001 kemudian pasca revisi otsus, kekerasan demi kekerasan masih membelit masyarakat di sejumlah kabupaten di wilayah tanah Papua.
Bila berbagai kekerasan dan potensi kekerasan lainnya tak segera dieliminir, besar kemungkinan kekerasan beranak pinak menjelang Pemilu 2024. Sesuatu yang tentu menjadi perhatian bukan hanya masing-masing pemerintah daerah di tingkat paling bawah seperti distrik atau kampung. Hal tersebut penting diantisipasi mengingat, muara kekerasan selalu direngkuh pihak paling lemah yaitu masyarakat kecil di tingkat akar rumpur, grass root.
Kekerasan yang saban waktu terjadi di sejumlah wilayah di tanah Papua terkesan seperti negeri dongeng dalam kisah fiksi. Warga seolah kehilangan pemimpin dan hidup dalam bayang-bayang ketakutan akibat berlaku hukum rimba.
Kekerasan seolah jadi satu-satunya bahasa yang bersemayam dalam dinding hati pelaku. Kekerasan seolah membenarkan pula kata-kata imam diosesan Keuskupan Jayapura Almarhum Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay, Pr: hanya satu hal yang paling murah di Papua, yakni nyawa orang Papua.
Bingkai konflik
Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur sosial dengan atribut atau identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat laten, terselubung atau terpendam maupun nyata.
Mata publik tanah Air, khususnya di tanah Papua tentu tak alpa memahami Papua sebagai wilayah yang masih terus dirundung konflik kekerasan berupa insiden penembakan warga jika dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.
Imparsial dalam Sekuritisasi Papua (2011) mencatat, sejak awal Indonesia merdeka Papua sudah membawa polemik. Parahnya, hingga reformasi bergulir tak kunjung membaik jika tak ingin menggunakan istilah stagnan atau bahkan memburuk.
Entah berapa banyak lagi korban akibat ulah pihak-pihak yang gelap mata dan tidak menyaksikan keadilan dan perdamaian (justice and peace) bersemi di bumi Cendrawasih. Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan hal itu, ada saja pihak-pihak yang tetap care dengan Papua, termasuk ikut membicarakan soal-soal yang dihadapi guna meredam konflik yang kerap terjadi.
Konflik Papua merupakan konflik vertikal dan berlangsung lebih dari 50 tahun. Penyebab utama konflik ini adalah keinginan untuk merdeka yang diperjuangkan oleh kelompok yang menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Konflik ini juga kerap memanas dengan keberadaan Freeport serta isu rasial dan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada Agustus 2019, misalnya. Negosiasi menjadi pilihan terbaik Pemerintah Indonesia untuk mengeliminir kekerasan yang kerap membelit masyarakat tanah Papua
Dalam Papua Road Map (2009), Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) menyebut, sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis. Pertama, sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM.
Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua. Keempat, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua.
Data Institute for Policy Analysis and Conflict Studies (IPAC) menunjukkan, jumlah insiden kekerasan terkait pemberontakan dari 2010 hingga 2021 terus meningkat, hingga melebihi 80 kasus pada tahun 2021.
Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 320 jiwa, sebagian besar warga sipil (178 orang), sedangkan dari pasukan keamanan 92 orang, dan kelompok bersenjata 50 orang.
Sebanyak 98 persen kematian (316 jiwa) terjadi di Papua. Data tersebut tentu sudah mengalami perubahan seiring berbagai kebijakan pembangunan pemerintah dan pendekatan yang lebih melunak, soft dan bukan pendekatan keamanan, security approach.
Hasil riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022-2023 mengungkapkan dominasi kekerasan di Papua, empat kali lebih besar daripada rata-rata nasional. Ini tentu sangat ironis mengingat Papua memiliki salah satu rasio pasukan keamanan per penduduk tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain (Kompas.id, 5/4 2023)
Jalan tengah
Membangun Papua dalam bingkai NKRI tak boleh sepotong-sepotong, namun dalam satu kesatuan yang integratif dan holistik. Ini paling kurang jalan tengah yang bertujuan memberikan perhatian setara daerah-daerah lain di Indonesia sekaligus penghargaan atas provinsi penyokong sumber pemasukan negara dari sumber daya alam yang kaya raya.
Mambangun Papua menjadi lebih bermartabat, beradab dan aspiratif tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Semua pihak, termasuk kelompok-kelompok yang kerap melakukan kekerasan harus ambil bagian dan memiliki kesungguhan melihat Papua sebagai surga kecil, di mana dan sukacita menjadi kerinduan bersama. Berbagai upaya meraih Papua tanah damai mesti jadi gerakan yang lahir dari hati terdalam.