JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Putusan bebas pelaku dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kasus Paniai atau Paniai Berdarah adalah bukti negara tidak memiliki komitmen pemenuhan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran insiden Paniai Berdarah pada 7-8 Desember 2014 lalu.
Vonis bebas majelis hakim pengadilan HAM atas Isak Sattu, purnawirawan yang menjadi terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM Paniai Berdarah tak hanya menyulut reaksi negatif Dr Filep Wamafma, SH, M.Hum, CLA, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia asal Papua Barat.
Kini, warga masyarakat, keluarga korban, berbagai elemen hingga para pejuang hukum dan HAM di tanah Papua juga mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia membuka kembali kasus pelanggaran HAM yang sudah memangsa warga sipil bumi Cendrawasih di wilayah adat Meepago tersebut.
“Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera lakukan penyidikan kembali bekas perkara kasus pelanggaran HAM berat Paniai dan menetapkan tersangka baru untuk dilakukan penuntutan baru atas kasus pelanggatan HAM berat Paniai Berdarah,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, SH, MH kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Sabtu (10/12).
Gobay juga meminta Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Republik Indonesia segera menyurati Kepala Kejaksaan Agung melakukan penyidikan kembali berkas perkara kasus pelanggaran HAM Berat Paniai dan menetapkan tersangka baru untuk dilakukan penuntutan baru atas kasus pelanggatan HAM berat insiden Paniai Berdarah.
Menurut Gobay, jauh sebelum sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai berlangsung di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar, Ketua Tim Ad Hoc M Choirul Anam Komnas HAM RI sudah buka suara. Kata Anam, peristiwa Paniai sudah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.
Dalam insiden itu, lanjut Anam, terdapat unsur pembunuhan dan tindakan penganiayaan, sistematis, meluas dan ditujukan pada penduduk sipil. Sehingga peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan hasil penyelidikan, sebut Anam, tim menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih hingga komando lapangan di Enaotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggungjawab.
Gobay mengatakan, sekalipun pejabat penyelidikan Komnas HAM pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah sudah menyimpulkan demikian, namun pada perkembangannya pejabat penyidik (Kejaksaan Agung) pelanggaran HAM berat Paniai hanya menetapkan satu orang tersangka. Selanjutnya, pejabat penuntut pelanggatan HAM berat Paniai Berdarah menuntut satu orang terdakwa di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makasar.
Atas sikap Jaksa Agung di atas, lanjut Gobay, LBH Papua secara tegas meminta kepada Jaksa Agung segera memberikan alasan atas penetapan satu orang terdakwa. LBH Papua menilai, penetapan tersangka tunggal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di tempat kejadian perkara. LBH Papua menegaskan, yang ikut serta dalam kasus itu bukan hanya Mayor Inf TNI (Purn) Isak Sattu, namun banyak oknum yang terlibat.
Anehnya, sekalipun Komnas HAM telah menyimpulkan hasil investigasinya tetapi setelah melihat Jaksa Agung menetapkan satu orang tersangka dan terdakwa, Komnas HAM tidak menggunakan kewenangannya terkait. Kewenangan terkait itu yakni Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.
Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yakni menanyakan alasan Jaksa Agung hanya menetapkan satu orang tersangka yang kemudian dituntut dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah.
Gobay mengatakan, setelah melakukan pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah, akhirnya majelis hakim pemeriksa perkara pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah memutuskan sebagai berikut. Pertama, menyatakan terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, melakukan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana didakwaan kesatu dan dakwaan kedua.
Kedua, membebaskan terdakwa oleh karena itu, dari semua dakwaan penuntut umum. Ketiga, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat serta martabatnya. Hakim juga meminta seluruh barang bukti dalam kasus ini agar tetap disimpan dan membebankan biaya perkara pada negara.
Terhadap putusan bebas tersebut, Komnas HAM menegaskan, dalam putusan majelis hakim hari ini, peristiwa pembunuhan dan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dari tragedi Paniai dinyatakan terbukti. Akan tetapi, mayoritas hakim menyatakan Isak, yang merupakan perwira penghubung Kodim 1705/Paniai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat ini.
“Oleh mayoritas majelis hakim (Isak) dianggap tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana untuk pertanggungjawaban komando,” kata Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai.
“Kami merekomendasikan untuk jaksa agung segera menindaklanjuti putusan ini dengan memproses hukum pelaku yang punya pertanggungjawaban komando dalam Peristiwa Paniai ini. Jaksa agung harus menemukan siapa komandan yang bertanggung jawab atas peristiwa itu, kemudian mengajukan tuntutan terhadap yang bersangkutan,” lanjut Semendawai.
Sesuai tanggapan Komnas HAM atas putusan bebas di atas, ujar Gobay, secara langsung kembali menguatkan pandangan bahwa tujuan penetapan satu orang tersangka yang selanjutnya dituntut sebagai terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai berdarah yaitu untuk mendapatkan putusan akhir adalah vonis tidak terbukti sehingga harus dibebaskan.
Pada prinsipnya padangan di atas dikuatkan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM RI telah menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggungjawab.
Gobay mengatakan, terlepas dari itu pandangan tersebut juga dikuatkan dengan tanggapan ketua tim penasihat hukum terdakwa, Syahrir Cakkari. Cakkari mengatakan, sejak awal pihaknya sudah melihat perkara tersebut tidak memenuhi unsur untuk disidangkan dalam pengadilan HAM berat.
“Fakta-fakta yang dibawa oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan ini kan masih mentah dan masih butuh pendalaman lebih jauh. Begitu kita mendengarkan pembacaan dakwaan di awal oleh jaksa penuntut umum, kita sudah melihat bahwa pada ujungnya perkara ini tidak bisa dibuktikan. Terutama pada unsur sistematis maupun pertanggungjawaban komandonya,” ujar Syahrir lagi
Atas dasar tanggapan Komnas HAM RI dan penasehat hukum terdakwa atas putusan bebas di atas, secara langsung menjawab alasan Jaksa Agung yang hanya menetapkan satu orang tersangka. Selanjutnya, tersangka dituntut sebagai terdakwa hingga mendapatkan keputusan bebas.
Hal tersebut dinilai LBH Papua sebagai sebuah sandiwara pengadilan HAM berat Paniai yang sedang dipraktikkan dengan cara menyalahgunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tujuannya, menghambat atau membatasi terpenuhinya hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat Paniai berdarah. Juga untuk melindungi para penjahat kemanusiaan dalam kasus pelanggaran dan terus merawat serta memelihara ruang impunitas bagi penjahat kemanusiaan dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah.
Menurut Gobay, berdasarkan uraian di atas LBH Papua mengunakan kewenagan yang diberikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendesak Jaksa Agung melakukan penyidikan kembali bekas perkara kasus pelanggaran HAM berat Paniai.
Selain itu, Gobay juga mendesak Jaksa Agung segera memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas pasus pelanggatan HAM berat Paniai Berdarah.
“Kami dari LBH Papua juga mendesak Ketua Komnas HAM segera menyurati Jaksa Agung memerintahkan jaksa penuntut umum kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas kasus Paniai Berdarah,” ujar Gobay lebih lanjut. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)