Pemuda Katolik Minta Pemerintah dan DPR Percepat Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Pemuda Katolik Minta Pemerintah dan DPR Percepat Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma Foto: Dok. Pengurus Pusat Pemuda Katolik

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia agar segera mempercepat Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem demi menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem.

Menurut Gusma, revisi tersebut urgen dan harus segera dilakukan mengingat sejumlah pasal dalam UU tersebut tidak relevan dengan situasi saat ini. UU itu juga masih mengandung banyak kelemahan, khususnya terkait perubahan zonasi dan penindakan serta sanksi terhadap pelaku perusak kawasan konservasi yang rendah atau tidak menimbulkan efek jera.

“Kami mengapresiasi inisiatif dan kerja keras KLHK, terutama teman-teman Komisi IV DPR RI yang telah membentuk Panitia Kerja, Panja untuk menggodok naskah akademik dan menyusun draft naskah untuk diajukan ke Badan Legislasi DPR. Namun mengingat laju deforestasi, pelepasan hutan, dan dampak ekologis kerusakan alam, Pemuda Katolik mendesak agar revisi itu harus segera dipercepat,” ujar Stefanus Asat Gusma melalui keterangan yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (5/2).

Gusma menjelaskan, Departemen Riset dan Kajian Pengurus Pusat Pemuda Katolik menemukan sejumlah pasal yang berpotensi menjadi pintu masuk perambahan wilayah konservasi. Misalnya, Pasal 1 ayat 15 yang mengatur tentang sistem zonasi dalam wilayah konservasi. Dalam praktik di lapangan, pasal ini menjadi celah masuknya perambahan dan perampasan hutan secara ilegal.

“Selama ini kritik mengarah pada sistem zonasi dalam UU tersebut yang sering digeser untuk mengakomodasi kepentingan investasi. Wilayah zona inti ataupun konservasi digeser menjadi zona pemanfaatan yang mempersempit wilayah konservasi, mengganggu kelestarian dan keseimbangan ekosistem,” kata Gusma lebih lanjut.

Selain itu, sanksi dalam Undang-Undang ini sudah tidak relevan karena tidak memberikan atau menimbulkan efek jera kepada individu, masyarakat ataupun perusahaan yang mengeksploitasi alam, merusak hutan, melanggar batas-batas konsesi, berburu dan atau memperdagangkan satwa liar secara ilegal dan lain-lain.

“Sanksi terberat bagi individu, masyarakat atau perusahaan pelanggar dalam Pasal 40 UU itu mencapai maksimal (terberat) hanya Rp. 200 juta. Bagi kami, hal ini belum cukup memberikan efek jera dan tidak setimpal dengan kerugian ekologis serta dampak kerusakan lingkungan di masa yang akan datang,” katanya.

Keseimbangan ekosistem

Bertolak dari riset dan kajian, maka Gusma mendorong agar KLHK dan DPRI segera mempercepat revisi tersebut. Ia berharap, substansi dalam perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 memuat secara tegas semangat pelestarian alam di dalam atau di luar wilayah konservasi, perlindungan satwa liar, penindakan tegas kepada perusak hutan dan perdagangan satwa liar serta memuat jelas tentang kehadiran negara dalam konservasi serta pelibatan partisipatif masyarakat adat maupun yang tinggal di sekitar konservasi.

“Kami berharap agar pembahasan terhadap revisi UU ini segera dipercepat di DPR dengan melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan atau stakeholders terutama masyarakat sipil, akademisi, masyarakat adat, dan pegiat konservasi,” tandas Gusma.

Gusma mengingatkan, lanju deforestasi, pencemaran lingkungan, dan perburuan satwa liar karena ulah manusia telah dan sedang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Akibatnya terjadi perubahan iklim (yang menyebabkan bencana banjir, longsor, hama dan kekeringan) ataupun penyakit dari hewan yang ditularkan kepada manusia (zoonosis).

Jika tidak diantisipasi dan ditangani, maka berdasaran hitungan Kementerian PPN/Bappenas, potensi kerugian ekonomi negara dari berbagai dampak negatif perubahan iklim di empat sektor seperti kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan diprakirakan mencapai Rp. 102,3 triliun pada tahun 2020 dan Rp. 115,4 triliun pada tahun 2024, atau mengalami peningkatan sebesar 12,76 persen selama lima tahun.

“Masa depan umat manusia, termasuk di Indonesia termasuk ada pada keanekaragaman hayatinya. Maka, konservasi sumber daya alam dan ekosistem menjadi sangat penting. Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem harus menjadi komitmen kuat untuk memastikan alam tetap lestari sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Bumi adalah rumah kita bersama yang harus kita jaga dan lestarikan,” kata Gusma. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :