JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si diminta segera memerintahkan Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri, SIK memproses secara hukum oknum polisi di Polres Dogiyai pelaku pelanggaran kode etik di Dogiyai dan oknum polisi di Polres Nabire terkait tindak pidana terhadap pelajar di Nabire.
“Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua mendidik anak buahnya untuk tidak menggunakan stigma Bintang Kejora sebagai dasar tindak kriminalisasi maupun melegalkan tindakan pelanggaran hukum terhadap pelajar maupun warga Papua,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, SH, MH kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Rabu (8/5).
Emanuel juga meminta Presiden Joko Widodo segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan pelurusan sejara politik Papua sesuai perintah Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 agar tidak terjadi praktek kriminalisasi dan pelanggaran hukum terhadap masyarakat Papua menggunakan Bintang Kejora.
Menurutnya, Kapolda Papua segera memerintahkan Kapolres Dogiyai untuk memproses secara hukum oknum polisi pelaku di Polres Dogiyai yang melakukan pelanggaran kode etik terhadap guru di Polres Dogiyai.
“Kami juga mendesak Kapolda Papua segera memerintahkan Kapolres Nabire memproses secara hukum oknum oknum polisi pelaku tindak tindak penyalahgunaan senjata api, pengeroyokan, dan penganiayaan terhadap 14 pelajar serta seorang mahasiswa di Nabire,” ujar Emanuel lebih lanjut.
Para siswa dan siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Dogiyai, Senin (6/5) merayakan kegembiraan dengan melakukan pawai mengelilingi Mowanemani, kota Kabupaten Dogiyai. Mereka menggunakan atribut bendera Bintang Kejora.
Saat pawai, Kepala SMA Negeri 2 Dogiyai Fredy Yobee mengaku didesak oleh para siswa untuk duduk di atas tandu lalu mengikuti arak-arakan mengelilingi kota itu sebagai bentuk ungkapan kegembiraan usai para siswa dinyatakan lulus. Buntut penggunaan atribut Bintang Kejora selama pawai, Yobee akhirnya menjalani pemeriksaan di Polres Dogiyai.
“Pada prinsipnya euforia perayaan kelulusan pelajar di tanah Papua yang diekspresikan dengan mencoret baju seragam sekolah bermotif Bintang Kejora dan selanjutnya ditangkap itu terjadi sejak tahun 2022 di Polres Jayapura. Kemudian, di Polres Jayapura dan Polres Nabire tahun 2023. Tahun 2024 terjadi di Polres Dogiyai dan Nabire,” kata Emanuel.
Penangkapan atas dasar tindakan mencoret baju seragam sekolah bermotif Bintang Kejora, ujar Emanuel menjadi pertanyaan. Pertanyaannya yaitu apa dasar hukum pihak kepolisian membatasinya? Pasalnya, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya sebagaimana diatur dalam pada Pasal 28e ayat 2 UUD 1945.
“Sampai saat ini belum ada satupun pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang lainnya yang menegaskan ‘apabila ada warga negara yang menggunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif Bintang Kejora dihukum dengan pidana’,” kata Emanuel.
Emanuel menjelaskan, Bintang Kejora adalah bagian langsung dari sejarah politik Papua di mana dalam peraturan perundang undangan terdapat pengakuan atas sejarah politik Papua yang harus diluruskan dengan cara membentuk KKR.
Komisi tersebut, kata Emanuel, diatur pada Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang sejak tahun 2001 hingga kini belum dilakukan perubahan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 1 huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan, lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Sedangkan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan, lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)