JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri, SIK menuding ada pihak ketiga yang bermain di balik kasus penyanderaan Pilot Susi Air Captain Philips Mark Mehrtens. Mehrtens, pilot berbebangsaan Selandia Baru, disandera sejak 7 Februari 2023 di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
Kapolda Fakhiri usai menggelar pertemuan tertutup dengan Atase Kepolisian New Zealand di Polda Papua lama, Kota Jayapura, Senin (26/2) mengaku, pihak ketiga tersebut memanfaatkan isu penyanderaan Mehrtens untuk kepentingan kelompok dan pribadi, namun mengatasnamakan Organisasi Papua Merdeka.
“Ada pihak lain yang memang sengaja menghambat, menghalang-halangi supaya proses negosiasi yang sudah dilakukan dan mau menuju titik temu ini tidak berhasil,” ujar Irjen Fakhiri melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Selasa (27/2).
Menurut Fakhiri, pihak ketiga tersebut sengaja mengangkat isu Papua Merdeka ke pemerintahan New Zealand. Karena itu, lanjut Fakhiri, pihaknya sudah menyampaikan kepada Atase Kepolisian New Zealand dalam pertemuan tersebut.
Pihak Atase Kepolisian New Zealand, ujarnya, memahami hal tersebut dan tetap memberikan kepercayaan penuh kepada TNI-Polri di Papua untuk terus bekerja membebaskan Mehrtens.
“Karena sekali lagi itu kepentingan dari kelompok itu sendiri, baik Benny Wenda maupun Sebby Sambom yang selalu berkoar-koar di luar tentang isu-isu Papua. Kami sudah sampaikan ke mereka agar pernyataan itu tidak usah didengarkan,” kata Fakhiri.
Kapolda putra asli Papua ini juga mengaku, pihak Selandia Baru hingga saat ini tetap sepakat untuk mempercayakan pembebasan Mehrtens kepada Pemerintah Indonesia dan mengakui secara penuh bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Bahwa mereka tetap sepakat urusan itu urusan Philips itu urusan dari pada Indonesia dan mereka tidak mencampuri urusan tersebut dan tetap masih mengakui Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Fakhiri tegas.
Fakhiri menambahkan, hingga saat ini pihak Polda Papua dibantu TNI masih terus bekerja keras untuk membebaskan Mehrtens. Polda dibantu TNI, masih menerapkan pola soft lewat negoisasi yang melibatkan semua pihak. Termasuk pemerintah setempat, Gereja, masyarakat dan para tokoh di sana (Nduga) untuk pembebasan Mehrtens.
Selain itu, Fakhiri mengaku hingga kini pihaknya telah mengetahui keberadaan Mehrtens dan kondisi kesehatannya. Namun, pihak pihak Polda masih terus berupaya bernegoisasi agar kelompok yang menyandera Mehrtens bisa membebaskan pilot itu tanpa memakan korban.
“Sudah kita pantau, lokasi mereka di mana, bagaimana kesehatan Philips. Namun, kami masih terus negoisasi agar kapten Philips bisa dibebaskan tanpa ada jatuh korban, sehingga proses ini memang akan memakan waktu,” kata Fakhiri.
Sebelum bertemu dengan Atase Kepolisian New Zealand, pihak Polda Papua juga telah bertemu dengan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, Kevin Jeffery Burnet di Polda Papua, Rabu (7/2).
Sejak Rabu (7/2) Mehrtens genap setahun ditahan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Ndugama Darakma.
Sejak ditahan 7 Februari 2023, hingga kini Mehrtens belum dibebaskan. Pilot naas ini masih disandra anggota TPNPB Kodap III Ndugama pimpinan Brigadir Jenderal Egianus Kogeya di Nduga.
“Hari ini 7 Februari 2024 genap satu tahun penahanan Mark Mehrtens. Kami tegaskan, perjuangan TPNPB-OPM adalah tindakan penegakan hukum internasional,” ujar Kepala Staf Umum TPNPB OPM Mayor Jenderal Terianus Satto melalui Juru Bicara Nasional Komnas Sebby Sambon dalam keterangan tertulis yang beredar di sejumlah wartawan di Papua dan diperoleh Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (7/2).
Menurut Sebby, hukum internasional menjamin hak bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Nederland di Markas Besar PBB tanggal 15 Agustus 1962 dan dicatat di bawah Resolusi Majelis Umum Nomor 1752 (XVII) 1962 PBB tanggal 21 September 1962.
Dalam keterangan tersebut, Sebby menjelaskan, TPNPB mengunakan War of National Liberation didasari sejarah manipulasi hak hukum atas penentuan nasip sendiri rakyat Papua Barat dan sejarah pelanggaran hukum internasional terkait status wilayah Papua Barat.
“Fakta sejarah membuktikan, status hukum wilayah Papua Barat di bawah hukum internasional adalah wilayah yang telah berdaulat sendiri dan merdeka tahun 1961. Oleh karena itu TPNPB berhak mempertahankan kedaulatan dalam rangka menegakkan hukum Internasional yang dijamin Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, self-defence,” kata Sebby.
Dalam rangka satu tahun penahanan Mehrtens, Markas Pusat Komando Nasional TPNPB OPM mengeluarkan pernyataan resmi. Pertama, TPNPB OPM menyandera pilot asal Selandia Baru sesungguhnya bukan merupakan target utama. Namun, jaminan atas pelanggaran Pemerintah Indonesia mengijinkan penerbangan sipil memasuki di wilayah perang antara TPNPB-OPM dan militer Indonesia.
Kedua, penyanderaan terjadi sesuai standar hukum perang. Pilot Mehrtens mendaratkan pesawatnya di wilayah perang dengan menggunakan perusahaan penerbangan Susi Air yang disubsidi oleh Pemerintah Indonesia dengan Program Operasi Perintis.
TPNPB OPM Ndugama Darakma mencurigai Mehrtens menjalankan tugas operasi perintis yang merupakan operasi intelijen Indonesia untuk menghancurkan perjuangan bangsa Papua serta memata-matai pergerakan pasukan TPNPB.
Ketiga, TPNPB OPM mengumumkan bahwa dalam satu tahun Pemerintah Negara Indonesia dan Pemerintah Selandia Baru tidak mampu untuk membuka diri melakukan negosisasi damai dengan bangsa Papua dalam rangka pembebasan Marthens.
Keempat, TPNPB OPM mengutuk Presiden Jokowi dan pemerintahan ilegal Indonesia di Papua Barat yang tidak mampu menjawab tuntutan TPNPB Kodap III Nudgama Darakma. Pemerinta Indonesia juga tidak mampu menerima tawaran negosiasi damai dengan Manajemen Markas Pusat Komando Nasional TPNPB untuk pelepasan pilot itu selama satu tahun.
Pemerintah Selandia Baru juga masih tidak mau menerima tawaran baik dari TPNPB dalam pelepasan Mehrtens. Kedua negara telah gagal dalam upaya mencari pelepasan melalui jalur damai, masih menggangap remeh upaya good will TPNPB OPM.
Kelima, TPNPB OPM kecewa dengan negara-negara Melanesia yang tidak pernah memberi perhatian atas krisis kemanusiaan, termasuk pembebasan Mehrtens dan perang bersenjata yang dikaterigorikan sebagai bagian dari konflik bersenjata internasional, yang sudah terlalu lama terjadi di wilayah regional pasifik.
Hal tersebut kegagalan pemerintahan regional pasifik seperti MSG dan PIF yang tidak sesuai dengan norma kemanusiaan kehidupan orang-orang asli kepulauan di pasifik, dan bangsa Papua Barat mengundang negara-negara di kawasan pasifik menjadi solusi keselamatan dan pembebasan pilot dari niat Indonesia yang sedang berusaha mengorbankan warga pasifik asal Selandia Baru.
Keenam, Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB memberikan apresiasi yang setingginya kepada Panglima TPNPB Kodap III Ndugama Darakma dan pasukan karena mampu melakukan tugas mulia menjamin hukum humaniter internasional dalam perang sesuai Konvensi Jenewa 1949 ke-III terkait perlindungan terhadap tawanan perang dan Konvensi Jenewa ke-IV perlindungan terhadap warga sipil.
“Ini adalah pembuktian dan reputasi TPNPB karena memperlakukan Mehrtens dengan baik, menjamin kesehatan dan menyelamatkan sang pilot dari serangan maut militer Indonesia. Oleh karena itu melalui Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB OPM akan memberikan penghargaan atas dedikasi, pengorbanan, dan pekerjaan luar biasa yang dilakukan seluruh pasukan TPNPB Kodap III Ndugama Darakma,” ujar Sebby.
Sebby mengatakan, demi melindungi kemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia, Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB akan mengembalikan Martherns kepada keluarganya melalui Yuridiksi Sekretaris Jenderal PBB. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)