Oleh Marinus Mesak Yaung
Dosen Universitas Cenderawasih
PRESIDEN Joko Widodo menyambangi umat Katolik di Gereja Katedral Bogor, Minggu (25/12) pagi. Melalui imbar, Jokowi menyampaikan pesan perdamaian dan cinta tanah air kepada umat Paroki Katedral Bogor. Jokowi mengajak umat bersama-sama terus mempererat tali persaudaraan, memperkuat kerukunan. “Saya ucapkan Selamat Natal dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2023. Semoga Tuhan memberkati kita semua,” kata Jokowi.
Catatan ini sekadar merespon pernyataan Natalius Pigai yang mengecam Jokowi masuk ke Gereja Katedral Bogor, Minggu (25/12) saat perayaan Natal. Presiden Jokowi adalah orang Jawa dengan karakter kepemimpinan yang sangat dipengaruhi paham kekuasaan Jawa. Salah satunya adalah politik simbolistik yang menjadi gaya kepemimpinan Jokowi.
Ketika Jokowi datang dan masuk ke Gereja Katedral Bogor, itu sebenarnya merupakan bentuk teguran keras tapi santun dari Jokowi kepada Walikota Cilegon, Walikota Bogor, Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Barat, dan beberapa pejabat daerah dan elit politik negeri ini yang sering bersikap intoleran, anti terhadap aktivitas peribadatan umat Kristen di Indonesia.
Jokowi sedang menegur secara santun dan tanpa mempermalukan siapapun agar tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta cita-cita luhur para pendiri bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Bila kemudian Pigai, seorang aktivis demokrasi dan mengaku diri sebagai seorang Katolik mengecam keras tindakan Jokowi untuk datang ke Gereja dan mengikuti acara perayaan ibadah Natal bersama umat Kristen di Bogor, saya pikir Pigai sangat keliru, kelewat batas kesopanan dan keberetikaan.
Pesan penting
Hemat saya, tidak pantas pernyataan seorang Pigai yang merusak kerharmonasan umat beragama di Indonesia yang disampaikan dalam suasana Natal tahun ini. Pigai sebagai seorang Katolik mungkin perlu diberitahu beberapa hal penting sehingga dia bisa bertobat dan meminta maaf kepada Jokowi.
Pertama, Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan tentang diskriminasi, rasialis dan intoleran. Siapa saja, umat manusia dengan latar belakang identitas apapun, bisa datang dan masuk ke dalam gedung Gereja untuk bertemu umat Tuhan lain dan bersekutu bersama. Pintu gereja Katolik terbuka untuk semua kaum, bangsa, dan bahasa serta agama apapun untuk datang dan bersekutu bersama.
Kedua, tata ibadat Ekaristi dalam Gereja Katolik itu sesuatu yang sangat sakral dan kudus. Para imam yang memimpin Misa akan memakai busana ibadah yang disebut kasula dan dilengkapi stola bermotif tertentu. Ketika Misa selesai, para imam akan melepaskan kasula dan stola dan menggunakan pakaian ibadah biasa.
Jokowi datang ke Katedral Bogor harus menunggu kurang lebih 20 menit di luar gedung gereja karena Jokowi sangat menghormati Ekaristi pada Misa Natal yang sedang berlangsung. Jokowi baru melangkah masuk ke dalam Gereja setelah Misa Natal berakhir. Hal ini bisa dibuktikan dengan gambar video yang beredar di mana semua imam sudah tidak menggunakan kasula dan stola saat menyambut Jokowi.
Pesan saya, jika mengaku Katolik, alangkah lebih elok jika Pigai bisa mengekang lidah dan menjaga narasi damai dalam suasana Natal. Lebih dari itu Pigai juga harus bisa berdoa bagi kepemimpinan Jokowi ke depan dalam sisa waktu dua tahun. Berdoa bagi pemimpin negara dan bangsa, itu salah satu tanggungjawab utama umat Katolik di Indonesia.
Ketiga, kehadiran Jokowi di Katedral Bogor sebenarnya memberi pesan simbolik, sedang meminta dukungan umat Kristen dan Katolik di Indonesia untuk menopang dengan doa dan memberikan dukungan moril kepada kepemiminan Jokowi yang tersisa dua tahun. Jokowi sadar, 2023 adalah tahun sulit dan penuh ketidakpastian.
Jokowi menyebutnya tahun yang “gelap” karena krisis ekonomi, pangan, energi, kesehatan, dan keuangan global masih terus berlangsung dan bisa semakin parah situasi dan kondisi Indonesia dan komunitas global.
Karena itu Jokowi sedang “memanggil” umat Tuhan di Indonesia untuk mengambil peran sebagai Yusuf di Mesir saat Mesir dan seluruh dunia dilanda krisis pangan dan ancaman kelaparan ekstrim secara global saat itu (Kejadian 41:1-57). Inilah pesan simbolik penting dan strategis di balik keputusan Jokowi masuk Gereja Katedral Bogor.
Salam Damai dari Papua. Matahari terbit dari timur. Indonesia tanpa Papua, tidak ada masa depan. Dari tanah Papua, ada doa yang tulus untuk Jokowi dan bangsa Indonesia memasuki tahun 2023.