Ironi di Hari Pendidikan Nasional - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Ironi di Hari Pendidikan Nasional

Ironi di Hari Pendidikan Nasional. Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

SETIAP tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai penghormatan kepada Ki Hadjar Dewantara—tokoh pelopor pendidikan yang memperjuangkan kemerdekaan berpikir dan pembebasan manusia lewat ilmu. Namun, di tengah gegap gempita upacara dan slogan-slogan penuh semangat, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: sistem pendidikan nasional kita masih tertatih-tatih dan gagal mencetak sumber daya manusia yang unggul, merdeka, dan berdaya saing global.

Bertahun-tahun, pendidikan di Indonesia terus bergulat dengan masalah mendasar: kurikulum yang tidak relevan, guru yang tidak merata dan kurang sejahtera, infrastruktur yang timpang, hingga praktik birokrasi yang lebih mementingkan laporan ketimbang kualitas pembelajaran. Lebih dari 20 tahun reformasi berlalu, namun pendidikan masih dikelola dengan logika proyek dan angka statistik, bukan dengan visi transformatif.

Ironisnya, Indonesia terus menempati posisi bawah dalam berbagai indeks pendidikan internasional. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan rendahnya kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Padahal, anggaran pendidikan konstitusional sebesar 20% dari APBN telah digelontorkan setiap tahun—pertanyaannya: ke mana larinya uang sebesar itu jika kualitas output-nya nyaris stagnan?

Masalah tidak berhenti di sekolah. Di tingkat perguruan tinggi, banyak lulusan justru tidak siap kerja, tidak memiliki keterampilan abad 21, dan tidak dilatih untuk berpikir kritis. Lulusan sarjana menumpuk tanpa arah, sementara industri kekurangan tenaga terampil. Ini adalah ironi pendidikan yang kehilangan jiwanya: menjauh dari kehidupan, terlalu dekat pada formalitas.

Lebih dari itu, pendidikan Indonesia juga gagal menjadi alat pemersatu bangsa. Alih-alih menciptakan kesetaraan, sistem yang timpang antara kota dan desa, antara Jawa dan luar Jawa, justru memperdalam ketimpangan. Di Papua, NTT, dan daerah 3T lainnya, anak-anak masih berjalan puluhan kilometer demi sekolah, ruang kelas roboh, dan guru datang hanya sebulan sekali. Sementara di kota-kota besar, pendidikan sudah menjadi komoditas mahal yang dijajakan dengan nama “internasional”.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momen reflektif, bukan seremoni simbolik. Kita butuh keberanian untuk melakukan reformasi total: menghapus mental proyek, memerdekakan kurikulum dari kepentingan politik, menempatkan guru sebagai pilar utama, dan menjadikan pendidikan sebagai jalan pembebasan, bukan sekadar penjenjangan.

Jika negara gagal memperbaiki cara mendidik warganya, maka kita tidak sedang menuju Indonesia Emas, tapi justru sedang memupuk generasi yang asing di tanahnya sendiri—tercerabut dari nilai, miskin daya saing, dan lumpuh berpikir.

Sudah saatnya kita berhenti merayakan pendidikan dengan basa-basi. Kini waktunya bertanya dengan jujur: benarkah kita sedang mendidik, atau hanya melestarikan kebodohan yang terorganisir? (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :