Ironi Demokrasi di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Ironi Demokrasi di Tanah Papua

Paskalis Kossay, mantan Anggota Komisi Intelijen DPR RI dan politisi senior Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Paskalis Kossay

Mantan Anggota Komisi Intelijen DPR RI dan politisi senior Papua Pegunungan 

DEMOKRASI berasal dari kata bahasa Yunani yaitu demokratia, yang terbentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan atau kekuasaan). Secara sederhana, demokrasi dipahami sebagai bentuk pemerintahan dimana semua warga negara memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. 

Dalam sistem demokrasi setiap warga negara ikut serta atau ambil bagian, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik. Keputusan tersebut mencakup kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan adat yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang berlandaskan nilai kebebasan berkumpul, berserikat dan berbicara, inklusivitas secara lisan maupun tertulis. Adapun tujuan demokrasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial dan kebebasan berpendapat. Demokrasi juga bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasan (abuse of power) dan menciptakan stabilitas politik. 

Hakikat demokrasi

Karena itu maka hakikat demokrasi adalah sebagai suatu sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia (demokrasi) memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan dan kedaulatan di tangan rakyat atau dalam rumusan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (of the people, by the people, for the people). 

Praktik sistem demokrasi di Indonesia dimulai sejak pembentukan Indonesia sebagai entitas negara bangsa pada 17 Agustus 1945. Setelah disusun pemerintahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dalam penyelenggaraan pemerintahan diterapkan sistem demokrasi dengan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sarana demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik menentukan masa depan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam sejarah perjalanan kehidupan demokrasi di Indonesia, ternyata praktik sistem demokrasi di Indonesia tidak berjalan mulus secara demokratis sebagaimana dikumandangkan para pendiri bangsa (founding fathers) bahwa Indonesia adalah negara demokrasi . 

Pasang surut sistem demokrasi di Indonesia dapat terlihat dalam periodisasi berikut. Pertama, periode 1945-1959 berlaku demokrasi parlementer. Selama periode ini sistem pemerintahan kekuasaan politik terletak pada parlemen atau badan legislatif yang dipilih oleh rakyat. Pemerintahan ditentukan oleh parlemen dengan sistem multi partai. 

Dalam perjalanannya, penyelenggaraan politik kekuasaan pemerintahan tidak stabil. Selalu jatuh bangun pemerintahan dengan silih berganti kepala pemerintahan (Perdana Menteri). Padahal, sejak awal Indonesia merdeka, diakui bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial yang berarti kekuasaan berada di tangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Kedua, periode 1959-1965 adalah demokrasi terpimpin, di mana semua kekuasaan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Kekuasaan Soekarno besar dan kuat. Sistem demokrasi sudah tidak berkembang. 

Ketiga, periode 1965-1998. Demokrasi Pancasila adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Pancasila bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam praktiknya, politik kekuasaan pemerintahan dikendalikan sentralistik, otoriter, dan militeristik sehingga pembangunan demokrasi sudah tidak berkembang. 

Keempat, periode 1998-sekarang yaitu demokrasi reformasi yang ditandai dengan Pemilu yang lebih demokratis. Terjadi rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah. Karakteristiknya berbeda dengan Orde Baru dan sedikit mirip dengan demokrasi parlementer. 

Karena itu kondisi demokrasi reformasi dinilai sedang menuju kesempurnaan. Warga negara terlibat langsung mengawal demokrasi agar teraplikasikan dalam semua aspek kehidupan.

Konteks Papua

Tanah Papua adalah salah satu wilayah bagian dari Republik Indonesia. Wilayah ini terdiri dari enam provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan. 

Karakteristik wilayah tanah Papua meliputi hamparan pegunungan dengan puncak salju tertinggi di Indonesia, dataran rendah yang luas, lembah dan pesisir pantai yang indah selalu menjadi destinasi menarik bagi para wisatawan asing dan domestik.

Sistem politik dan pemerintahan sudah lama (24 tahun) diberlakukan pengelolaan pemerintahan dengan otonomi khusus. Namun sistem demokrasi masih berlaku umum secara nasional. Setiap kali Pemilu, tanah Papua selalu diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Sebuah nilai demokrasi dalam Pemilu harus dibayar dengan pengorbanan nyawa anak bangsa. Sangat ironis praktik demokrasi di tanah Papua.

Setiap kali momentum Pemilu tiba, peristiwa pilu seperti ini selalu saja muncul. Sehingga berimplikasi buruk dimana pendidikan demokrasi tidak berkembang maju. Pembodohan politik di balik praktik demokrasi semakin meningkat. Maka hak politik dan hak demokrasi rakyat bumi Cenderawasih dengan mudah dirampas oleh pihak lain dengan cara manipulasi dan tipu muslihat.

Praktik manipulasi demokrasi tersebut sudah lama berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) oleh kekuatan politik penguasa lokal, kekuasaan oligarki kapitalis lokal dan pembiaran rezim pemerintahan nasional. 

Kondisi demokrasi di tanah Papua seperti ini jika tidak dibijaki dengan langkah khusus dari negara, pembangunan demokrasi terus merosot dan suatu saat akan muncul demokrasi terpimpin, di mana semua kekuasaan terpusat di tangan penguasa daerah.

Kesadaran politik masyarakat tidak terbangun maka sampai kapanpun keberhasilan demokrasi tidak dapat terwujud. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof Ramlan Surbakti. Ia menegaskan, keberhasilan demokrasi di suatu negara tergantung pada kesadaran politik warga negara. 

Sampai kapan, rakyat tanah Papua bisa disuguhkan dengan nilai demokrasi yang substantif agar menjadi kesadaran politik berdemokrasi dalam setiap momen Pemilu. Kondisi hari ini tentu saja, kesadaran politik rakyat papua masih dalam taraf politik tradisional. 

Berhadapan dengan sistem demokrasi modern yang mengharuskan kebebasan pilihan, terjadi kontradiksi dan bertolak belakang dengan pilihan sistem terpimpin pada satu kekuasaan kepala suku, maka berpotensi muncul konflik di antara sesama masyarakat ada yang berbeda pilihan politik.

Oleh karena itu negara harus hadir dan sesegera mungkin mengeliminasi kemungkinan munculnya konflik dan kekerasan setiap pelaksanaan Pemilu dengan memberlakukan sistem demokrasi khusus bagi tanah Papua melalui demokrasi perwakilan di lembaga DPRD. 

Kajian Tim Pemantau Pemilukada Serentak 2024 dari Kantor Hukum dan HAM, Haris Azhar mengusulkan pembentukan komisi atau tim independen untuk mencari fakta dugaan kecurangan Pemilu dengan melibatkan komisi relevan sebaiknya menjadi menjadi pintu masuk untuk menyempurnakan sistem demokrasi di tanah Papua. Dengan demikian diharapkan akan lebih demokratis dan proporsional dengan tantangan kondisi Papua serta kebutuhan riil politik dan demokrasi di tanah Papua.

Dasar pendidikan demokrasi yang tidak benar akan menghasilkan output yang tidak legitimate, sehingga muncul pro-kontra di kalangan masyarakat pemilih. Di sinilah potensi konflik sangat terbuka peluang. Tidak bisa terjadi pembiaran potensi konflik di tengah masyarakat terus menganga. 

Oleh karena itu harus dicari alternatif solusi yang lebih bijaksana. Termasuk hasil Pilkada serentak dari tanah Papua yang saat ini tengah disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dipertimbangkan baik kemungkinan potensi konflik ketika putusan MK salah kaprah dengan kondisi riil di lapangan.

Tinggalkan Komentar Anda :