INDONESIA adalah salah satu negara terbesar di dunia yang hingga kini tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Penolakan itu didorong oleh sikap historis yang berpihak pada kemerdekaan Palestina dan solidaritas keislaman, mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim. Namun di balik sikap resmi tersebut, muncul pertanyaan yang kian mengemuka: apakah Indonesia memiliki hubungan rahasia dengan Israel?
Sejumlah laporan dan data mengindikasikan bahwa hubungan non-formal antara kedua negara memang telah lama terjalin. Pada akhir 1960-an hingga 1980-an, kerja sama militer secara diam-diam mulai terbentuk. Salah satu contohnya adalah pembelian pesawat tempur A-4 Skyhawk dari Israel melalui jalur tidak langsung, di mana para teknisi dan pelatih Israel turut serta dalam proses pengoperasian di Indonesia. Kerja sama ini dilakukan secara rahasia karena tekanan politik domestik dan sensitivitas diplomatik.
Lebih jauh, beberapa media internasional dan lembaga investigatif menyebutkan bahwa terdapat transaksi dagang antara Indonesia dan Israel, terutama di sektor teknologi, pertanian, dan alat-alat keamanan. Data perdagangan menunjukkan bahwa meskipun tidak tercatat secara resmi sebagai hubungan bilateral, nilai ekspor-impor antara kedua negara bisa mencapai ratusan juta dolar AS setiap tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran meningkat atas dugaan keterlibatan perusahaan teknologi asal Israel seperti NSO Group dan Candiru dalam penyediaan perangkat lunak pengawasan kepada institusi tertentu di Indonesia. Amnesty International bahkan melaporkan bahwa spyware buatan Israel berpotensi digunakan untuk memantau aktivis, jurnalis, dan pembela HAM, yang tentu saja menimbulkan masalah serius terkait hak privasi dan kebebasan sipil.
Di sisi lain, rumor mengenai keberadaan agen intelijen Israel (Mossad) di Indonesia juga beredar luas. Meski sulit diverifikasi, beberapa pengamat keamanan menyebut Indonesia sebagai “wilayah strategis” bagi operasi pengumpulan informasi, terutama terkait isu regional seperti terorisme dan konflik di Timur Tengah. Bahkan mantan pejabat Israel pernah mengakui bahwa ada kontak diplomatik informal yang berjalan secara diam-diam.
Namun demikian, hingga kini Indonesia tetap mempertahankan sikap bahwa normalisasi hubungan diplomatik tidak akan terjadi sebelum negara Palestina merdeka diakui oleh Israel. Presiden Prabowo Subianto pun menegaskan posisi ini: hubungan bisa dibuka jika Palestina mendapatkan kemerdekaan secara penuh.
Pertanyaan besar yang muncul dari dinamika ini adalah bagaimana relasi semacam ini seharusnya dibaca oleh masyarakat. Di era global yang serba transparan, publik di mana pun berhak memperoleh informasi yang jelas dan jujur mengenai arah kebijakan luar negeri negaranya. Sementara itu, negara-negara di dunia juga dihadapkan pada dilema etis: bagaimana menjalin kerja sama strategis tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan internasional.
Hubungan Indonesia–Israel, meskipun belum resmi, adalah contoh nyata bahwa dunia diplomatik tak selalu tampak di permukaan. Dan justru karena itu, ia menuntut perhatian kritis dan pemahaman lebih dalam dari semua pihak. (Editor)