JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua meminta Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jayapura dan Ketua Pengadilan Negeri Klas 1a Jayapura selektif memeriksa kasus delapan mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora di Gelanggang Olahraga (GOR) Cenderawasih guna memutuskan mata rantai praktik kriminalisasi menggunakan pasal makar terhadap pelaku perayaan sejarah Papua mengunakan sistem peradilan pidana di Papua.
Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH) Cenderawasih, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Tanah Papua, Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Fransiskan Jayapura, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua, Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa), dan lain-lain merupakan kuasa hukum delapan mahasiswa Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2021 di depan GOR Cenderawasih, Jayapura.
“Kami meminta Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura wajib memenuhi hak atas kesehatan mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Jayapura sesuai perintah Pasal 58, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kami juga meminta Gubernur, Ketua DPRP dan Ketua MRP mendesak pemerintah pusat membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR guna melakukan klarifikasi sejarah Papua sesuai perintah Pasal 48 ayat 1, 2, 3 Undang Undang Nomor 2 tahun 2021,” ujar Kordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Emanuel Gobay, SH, MH melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (19/4).
Menurut Gobay, berdasarkan informasi yang diperoleh dari website Sistim Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jayapura menyebutkan, pada 11 April 2022 Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mendaftarkan berkas perkara delapan mahasiswa pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih ke Pengadilan Negeri Klas 1a Jayapura. Kasus delapan mahasiswa tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara: 132/Pid.B/2022/PN Jap dan akan disidangkan pada 19 April 2022 di PN Klas 1a Jayapura.
Berdasarkan sidang perdana kasus pada 19 April 2022, membuktikan bahwa semua tuduhan dan sanksi terhadap para mahasiswa yang akan diganjar seumur hidup yang disiarkan oleh beberapa media on line merupakan pembohongan publik. Pasalnya, polisi tidak berwenang memvonis seseorang yang bermasalah hukum.
Menurutnya, perlu diketahui bahwa yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara hukum seseorang yang berhadapan dengan hukum adalah hakim di pengadilan setempat, di mana perkara itu diproses. Atas dasar itu sudah semestinya publik mengenyampingkan pemberitaan hukuman semumur hidup kepada para mahasiswa tersebut sebab pernyataan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sekadar diketahui, para mahasiswa tersebut resmi menjadi tahanan Kejaksaan Negei Jayapura dan dititipkan di Rumah Tahanan Lembaga Permasyarakatan Abepura terhitung sejak 30 Maret 2022 hingga saat ini. Pada saat pelimpahan berkas tahap dua, kuasa hukum sudah menyampaikan kepada jaksa bahwa dari delapan kliennya, dua orang yaitu Malvin Yobe alias Malvin dan Zode Hilapok alias Zode dalam sedang sakit sehingga diharapkan agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat memenuhi hak atas kesehatan keduannya sesuai perintah ketentuan.
Ketentuan dimaksud berbunyi, ‘Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak‘ sebagaimana diatur pada pasal 58, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam rangka memastikan pemenuhan hak atas kesehatan kedua tersangka, kata Gobay, pada 15 April 2022 kuasa hukum bersama delapan mahasiswa mendatangi Rutan Lapas Abepura. Dalam pertemuan itu, Zode menyampaikan bahwa dari dokter di Rumah Sakit Lapas Abepura telah memberikan obat dan telah memeriksa dan mengambil lendir untuk dilihat dalam laboratorium. Namun, hingga saat pertemuan itu belum ada hasilnya. Sementara Malvin menyampaikan bahwa dirinya belum mendapatkan pemeriksaan lanjutan dari dokter yang memeriksanya.
“Klien kami, Malvin dan Zode menyampaikan bahwa sejak keduannya dititipkan di Rutan Lapas Abepura, Jaksa Penuntut Umum belum datang melihat dan memastikan pemenuhan hak atas kesehatan bagi keduannya. Atas dasar keterangan itu secara langsung menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum belum maksimal memenuhi hak atas kesehatan klien kami, Malvin dan Zode sesuai perintah Pasal 58, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” tegas Gobay.
Menurutnya, terlepas dari kondisi itu untuk diketahui bahwa berdasarkan Surat Dakwaan No.Reg.Perkara. PDM- 18/JPN Eku.2/03/2022 yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum disebutkan, delapan mahasiswa tersebut diproses dalam satu berkas perkara. Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan mendakwakan mereka dengan dua dakwaan. Pertama, dakwaan primair yaitu perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Kedua, dalam dakwaan subsidair yaitu perbuatan para terdakwa tersebut diatur dan diancam Pidana dalam pasal 110 ayat (1) KUHP.
Setelah mencermati surat dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum, kata Gobay, rupanya dalam menyusun dan memberikan dakwaan primair dan subsidair kepada delapan mahasiswa itu, salah satunya mengunakan keterangan tujuan delapan mahasiswa tersebut yaitu dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Bangsa Papua ke-60 yang jatuh pada 1 Desember 2021.
Berkaitan dengan hari ulang tahun Bangsa Papua yang dimaksudkan oleh delapan mahasiswa tersebut merupakan fakta sejarah Papua yang sampai saat ini di mana pemerintah belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan klarifikasi sejarah sesuai dengan perintah ketentuan: ‘Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia’ sebagaimana diatur pada Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 huruf a UU Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Atas dasar frasa ‘Melakukan klarifikasi sejarah Papua’ menunjukkan bahwa adanya pengakuan hukum terhadap fakta sejarah Papua serta dan sekaligus memerintahkan kepada negara melalui pemerintah untuk membentuk KKR dalam rangka melakukan klarifikasi sejarah Papua. Dengan demikian melalui penangkapan selanjutnya mentersangkakan delapan mahasiswa pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih menunjukkan fakta bahwa negara melalui pemerintah tidak menjalankan perintah Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 huruf a UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Malah mengunakan Pasal makar membungkam ruang orang Papua yang merayakan sejarah Papua yang diakui oleh UU Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Gobay menambahkan, mengingat Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya menggunakan Pasal 106 KUHP, perlu ditegaskan pendapat R. Soesilo. Soesilo menyebutkan, objek dalam penyerangan itu adalah kedaulatan atas daerah negara. Soesilo lebih jauh menjelaskan, kedaulatan ini dapat dirusak dengan dua macam cara. Pertama, menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagaian ke bawah pemerintahan negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan negara asing misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah Kalimantan (sebagian) diserahkan kepada Pemerintah Inggris.
Kedua, memisahkan sebagian daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri. Misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan negara yang berdiri sendiri (R. Soesilo, KUHP, hal. 109).
Berdasarkan pada penegasan teori pidana dalam membedah tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP menurut R. Soesilo di atas, jika dihubungkam dengan fakta hukum pengibar bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2021 di depan GOR Kota Jayapura yang merupakan bagian langsung dari praktik merayakan sejarah Papua yang diakui oleh Pasal 48 ayat (2) huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua serta merupakan bagian langsung dari aktifitas kebebasan berekspresi yang dijamin pada Pasal 28E ayat (3), UUD 1945 junto pasal 24 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tidak berdampak pada wilayah papua menjadi bagian dari negara Australia atau Inggris dan tidak berdampak pada wilayah Papua merdeka sendiri diluar Indonesia sehingga penggunaan Pasal 106 KUHP dipertanyakan keabsahannya.
Sikap aparat penegak hukum yang terus memproses hukum delapan mahasiswa tersebut secara terang-benderang menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di Papua mengabaikan perintah hakim Mahkamah Konstitusi terkait ‘Aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar sehingga tidak jadi alat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945’ sebagaimana dalam Putusannya Tentang Uji Materi Pasal Makar, Nomor 7/PUU-XV/2017 dan 28/PUU-XV/2017, 31 Januari 2018.
“Atas dasar penegasan teori serta didukung dengan dasar hukum pengakuan sejarah politik Papua dan jaminan kebebasan berekspresi bagi para mahasiswa pengibar bendera Bintang Kejora serta penegasan Mahkamah Konstitusi di atas maka sudah dapat disimpulkan, proses hukum terhadap para mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2021 tersebut merupakan fakta kriminalisasi pasal makar,” kata Emanuel Gobay. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)