JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Cyber Crime Kepolisian Daerah (Polda) Papua menyita paksa beberapa telepon genggam (handphone) dan laptop milik Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Peduli Urusan Rakyat (Gempar) Papua Panji Agung Mangkunegoro menyusul sikap kritisnya selama pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua pada pelaksanaan Pilkada serentak 2024.
Menurut Panji, Polda Papua menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjerat dirinya karena bersikap kritis atas pelaksanaan pilkada Papua 2024.
“Tanggal 18 Maret 2025 lalu Polda Papua menyita paksa beberapa handphone, termasuk laptop milik saya tanpa ada BAP dan Berita Acara Sita,” ujar Panji Agung Mangkunegoro kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Jumat (4/4).
Panji menjelaskan, beberapa handphone miliknya yang disita paksa dan tanpa BAP dan Berita Acara Sita Polda Papua yaitu handphone Oppo Reno 1, Oppo a9 2020, Samsung galaxy a15, Samsung galaxy m15, Samsung tab a9 wifi, Samsung tab s6 lite with pen, Samsung z flip 4 dan laptop Lenovo ideapad5i.
“Undang-Undang ITE kini kembali menjadi momok yang menakutkan warga Papua. Dalam helatan Pemilu 2024 di Papua, UU (ITE) itu digunakan untuk mengkriminalisasi dan mendelegitimasi para lawan politik paslon tertentu di Pilkada Papua 2024. Pola ini malah membungkam ruang demokrasi di tengah masyarakat dan nihil nilai edukasi dalam proses pelembagaan demokrasi,” kata Panji tegas.
Menurut Panji, Pilkada 2024 terasa sangat melelahkan bagi dua tim sukses pasangan calon Kepala Daerah Papua setelah duet pasangan calon (paslon) Gubernur-Wakil Gubernur Mathius Derek Fakhiri-Aryoko Rumaropen alias MARI-YO menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga berujung pembatalan keputusan KPU Provinsi yang memenangkan pasangan Benhur Tomi Mano-Yermias Bisai (BTM-YB).
“Pada kontestasi sebelumnya, duet BTM-YB ini ditetapkan KPU Provinsi Papua sebagai pemenang dengan raihan suara terbanyak. Namun kemudian dibatalkan karena proses administrasi pasca gugatan MARI-YO di Mahkamah Konstitusi hingga berujung keputusan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Agustus 2025 mendatang,” kata Panji.
Panji menjelaskan, langkah Polda Papua menyita paksa sejumlah handphone miliknya dan laptop bermula dari sikap kritisnya terkait pendaftaran paslon Gubernur-Wakil Gubernur Papua pada 30 Agustus 2024 hingga penetapan paslon pada 23 September 2024.
“Di rentang waktu tersebut, salah satu bakal calon gubernur atas nama Mathius Derek Fakhiri melepas jabatannya sebagai Kapolda Papua pada 3 September 2024. Berselang lebih kurang sebulan kemudian, muncullah rekaman suara Christian Sohilait yang saat itu sebagai Penjabat Wali Kota Jayapura,” katanya.
Rekaman berdurasi 9.36 menit ini, kata Panji, langsung viral hingga menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, isi percakapannya dituding mengandung konteks dan strategi politik terhadap salah satu paslon Pilgub Papua atas nama Mathius Fakhiri alias MDF yang langsung tersebar luas.
Tak sampai di situ, rekaman tersebut kemudian direspon relawan hingga para loyalis BTM-YB yang langsung melakukan aksi demo pada beberapa titik di antaranya di kantor Wali Kota Jayapura dan kantor Gubernur Papua.
“Peserta aksi demo menuntut dan menyuarakan soal netralitas ASN dan TNI-Polri hingga akhirnya suara rekaman Penjabat Wali Kota Jayapura diperdengarkan saat berlangsung rapat di DPR RI yang saat itu dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Gelombang kritik publik pun semakin tak terbendung di media sosial hingga hari pencoblosan tanggal 27 November 2024,” ujar Panji.
Saat itu, kata Panji, hasil investigasi yang dilakukan sebagai Ketua LSM Gempur Papua menemukan fakta bahwa status Mathius Fakhiri masih aktif sebagai anggota Polri atau belum mengundurkan diri secara resmi dari tubuh kepolisian. Temuan itu, katanya, langsung direspon dan kemudian dipublikasikan secara masif di jagat maya sebelum hari pencoblosan.
“Kritikan pedas serta bukti fakta yang saya tuangkan di media sosial ini membuat geram kubu MDF hingga Penjabat Wali Kota Jayapura yang tak terima. Saya lalu dilaporkan ke Polda Papua pada Januari 2025 bersamaan dengan proses gugatan sengketa Pilkada oleh paslon MARI-YO di MK hingga berujung putusan digelarnya PSU di Papua,” ujar Panji.
Panji menegaskan, UU ITE ini kembali menjadi produk hukum dan senjata yang kental nuansa politik dan digunakan oleh para pejabat anti-kritik yang bertujuan untuk membungkam orang-orang seperti dirinya yang bersuara keras mengkritisi penyelenggara dan paslon Pilgub Papua.
Menurut Panji, Pilkada Papua berujung PSU tahun 2025 semakin seru karena partisipasi publik di media sosial Facebook masih menjadi acuan utama dalam mengolah informasi dan tempat berlangsungnya debat hingga adu argumen antar pendukung masing-masing paslon Pilgub.
“Menurut saya tidaklah fair ketika ada salah satu paslon kepala daerah yang melaporkan saya ke Polda Papua. Publik Papua dan Indonesia perlu tahu kalau saat ini saya sudah berstatus tersangka untuk tiga laporan polisi (LP) terkait dugaan pelanggaran UU ITE di momen Pilkada Papua 2024,” katanya.
Padahal, ujar Panji, Pilkada Papua 2025 adalah momen kedua paslon menyampaikan visi-misi serta programnya agar masyarakat memiliki referensi dalam menentukan pilihan. Misalnya, apakah masyarakat memilih paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Mathius Fakhiri dan Aryoko Rumaropen atau Benhur Tomi Mano dan Constan Karma.
“Fakta lainnya yang perlu publik tahu adalah sebagai aktivis dan pegiat sosial saya sudah dua kali diburu aparat Polda Papua hingga ke Pulau Jawa. Pengejaran pertama terjadi di Cirebon, Jawa Barat, tepat pada 12 Maret 2025 namun gagal karena saya keburu kabur melalui atap rumah tetangga dan kemudian lompat ke sawah demi menyelamatkan diri,” katanya.
Namun, Panji mengaku nasibnya malang saat pengejaran kedua sehingga ia ditangkap di Solo, Jawa Tengah pada 18 Maret 2025. Ia diamankan oleh tim Cyber Crime Polda Papua lalu diterbangkan ke Jayapura.
Dalam proses penetapan dirinya sebagai tersangka pelanggaran UU ITE, delapan unit handphone dan laptop miliknya disita tim Cyber Polda Papua, termasuk akun Fb atas nama Panji Agung Mangkunegoro II yang diklaim telah digunakan memviralkan semua pelanggaran dan berbagai fakta selama momen Pilkada Papua berlangsung.
“Anehnya, hingga saat ini tim Cyber Crime Polda Papua belum juga menggelar konferensi pers guna menjelaskan ke publik mengenai status tersangka saya dan siapa pelapor kasus pencemaran nama baik melalui UU ITE. Seharusnya keterangan pers dilakukan Polda Papua agar ada kepastian dan kejelasan di hadapan publik Papua atas semua proses penangkapan yang telah diviralkan di media sosial oleh tim MDF,” ujar Panji.
Panji mengatakan, saat ini publik Papua sedang menunggu penjelasan Kapolda Papua terkait penerapan UU ITE di Pilgub Papua yang disangkakan kepadanya. Jepang PSU Pilkada Papua Agustus mendatang, publik Papua disuguhkan banyak kasus pelaporan ke Polda Papua oleh calon Gubernur MDF.
“Publik menilai bahwa jelas-jelas penetapan status tersangka saya sangat kental dan bernuansa politik. Ada apa dengan Polda Papua hingga harus bekerja keras menggiring saya menjadi tersangka pelanggaran UU ITE? Padahal selama Pilkada berjalan, semua kritikan sesuai kenyataan dan fakta yang terjadi di lapangan. Paslon yang menggunakan UU ITE menjerat kelompok kritis adalah tanda-tanda kekalahan dalam bursa pilkada Papua 2025. Nuansa kriminalisasi bermodus manipulasi UU ITE masih akan terjadi dalam momen PSU pilkada Papua kali ini,” ujar Panji. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)