Oleh Agustinus Tetiro
Alumnus IFTK Ledalero dan STF Driyarkara
Pada Sebuah Halaman
(teruntuk orang tua kami: pater Bertens)
Pada halaman sebuah buku
kudapati lenganmu menyelamatkan
aku dari kering yang penuh
kegelisahan
Di lembar halaman lain, pijar matamu
melahirkan banyak anak Sungai
sampai ke timur demi memberi aku
minum
Apa yang tidak mampu ditampung
pada halaman sebuah buku adalah
Hatimu: lautan yang lapang, tempat
aku dapat melarungkan banyak
perkara
Atambua, 15 Juni 2024
violettnano
Sejarah yang Tuntas: Lunas!
SAYA baru saja membuka buku “Filsafat Kontemporer. Selayang Pandang” (FKSP) karya K Bertens yang dikirimkan Penerbit Kanisius saat menerima kabar di berbagai WhatsApp Group bahwa sang penulis meninggal dunia di rumah sakit (RS) Carolus Jakarta. Saya mulai membaca halaman pertama bagian pengantar yang ditulis tertanggal 12 Januari 2024:
“Buku terakhir ini berupaya memperkenalkan seluruh sejarah filsafat: dari kelahiran di Yunani Kuno sampai dengan abad ke-19. Tidak kurang dari 25 abad. Namun, buku ini berhenti pada ambang pintu abad ke-20. Karena itu, dikatakan dalam Kata Pengantar edisi pertama: ‘Mudah-mudahan satu kali akan dihidangkan peluang lagi untuk melangkahi ambang pintu tersebut dengan menggariskan perkembangan pemikiran filsafat abad ke-20 pula’. Baru sekarang kesempatan itu disajikan” (FKSP, hlm.ix)
Benar yang dikatakan Bertens bahwa buku ini (“Filsafat Kontemporer. Selayang Pandang”, Yogyakarta: Kanisius, 2024) adalah buku terakhirnya. Bukan hanya untuk melengkapi seluruh rangkaian buku sejarah filsafat dari Sejarah Filsafat Yunani kuno hingga Filsafat Kontemporer yang pernah ditulisnya sejak puluhan tahun lalu, tetapi juga rupanya buku terakhir karya Bertens yang diterbitkan sebelum sang misionaris pemikir dari Belanda ini meninggal dunia pada Jumat (19/07/2024; Pukul 18:38 Waktu Indonesia Barat/WIB)
Profesor Bertens —untuk keperluan pustaka tentang sejarah filsafat dalam bahasa Indonesia— pernah menulis sejumlah karya: “Sejarah Filsafat Yunani” (Yogyakarta: Kanisius, 1975), “Ringkasan Sejarah Filsafat” (Yogyakarta: Kanisius, 1976), “Filsafat Barat Abad XX: Jilid I (Inggris dan Jerman)” terbit tahun 1981, dan “Filsafat Barat Abad XX: Jilid II (Perancis)” terbit tahun 1985. Kedua buku yang disebutkan terakhir kemudian dicetak ulang untuk kesekian kalinya dengan berbagai revisi dan suplemen serta mengubah judul menjadi masing-masing: “Filsafat Barat Kontemporer Jilid I: Inggris & Jerman” (Gramedia Pustaka Utama/GPU, 2019: cetakan kelima) dan “Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Perancis” (GPU, 2019: cetakan keenam)
Dalam karya jilid II tentang para filsuf kontemporer Perancis, Bertens menulis suatu niat untuk menghadirkan jilid ketiga: “Pengarang dahulu mempunyai rencana menyusul Jilid III, dimana akan dibicarakan situasi filsafat dewasa ini di Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa Timur, dan Italia-Spanyol. Sekarang rencana itu belum ditinggalkan secara definitif, tetapi juga belum mendapat prioritas dalam agenda kerja pengarang. Mudah-mudahan suatu kali nanti diberikan kesempatan lagi” (Perancis, hlm.viii)
Rencana penerbitan jilid III itu memang tidak kunjung tiba, akan tetapi jika kita melihat daftar isi karya terakhirnya “Filsafat Kontemporer. Selayang Pandang”, maka dengan mudah kita menemukan porsi besar untuk perkenalan ke dalam para filsuf Amerika Utara pada bagian I yang dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, pragmatisme yang dihuni Josiah Royce, Charles Pierce, William James, Georg Santayana, John Dewey. Kedua, filsafat proses: Alfred Whitehead dan Charles Hartshorne. Ketiga, filsafat sosial-politik yang memperkenalkan John Rawls, Robert Nozick, Hannah Arendt, dan Michael Sandel. Keempat, filsafat bahasa yang menghadirkan Norman Malcolm, Noam Chomsky, dan David Lewis. Kelima, logika, filsafat matematika dan filsafat ilmu pengetahuan yang menunjukkan posisi Alfred Tarski, Rudolf Carnap, Carl Hempel, Nelson Goodman, Willard Quine, ketiga filsuf: Kurt Goedel-Saul Kripke-Hillary Putnam, Thomas Kuhn, Richard Rorty dan Wilfrid Sellars. Keenam, fislafat kesenian: Susanne Langer. Ketujuh, dua filsuf dari Kanada: Bernard Lonergan dan Charles Taylor.
Bagian II tentang Jerman dan Prancis, serta bagian III tentang Filsafat Inggris. Bagian IV diberi tajuk Beberapa Filsuf Ternama di Negara Lain yang menghadirkan 3 filsuf berhaluan Marxistis (George Lukacs, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski), 2 filsuf Eropa Timur (Roman Ingarden, Julia Kristeva), 4 filsuf Italia (Benedetto Croce, Giovanni Gentile, Antonio Gramsci, Umberto Eco), dan ditutup dengan 2 filsuf Spanyol (Miguel de Unamuno y Jugo, Jose Ortega y Gasset)
Dengan melihat secara sepintas daftar isi buku terakhir ini, kita bisa memaklumi bahwa ada upaya Pater Bertens untuk melunasi rencananya untuk menghadirkan “Jilid III” di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun. Dengan penuh kerendahan hati Profesor Bertens mengatakan, “tulisan ini disajikan secara ‘selayang pandang’ atau garis besar saja, menjadi semacam pengantar untuk pengenalan terhadap para filsuf tersebut. (Lihat cover FKSP). Hal senada juga telah diutarakan Bertens sejak lama dalam Jilid II: Perancis: “Tujuan terakhir untuk setiap penjelasan sejarah filsafat adalah mengantar pembaca kepada teks-teks para filsuf sendiri. Sebab, di situ terurai pemikiran filosofis menurut bentuk dan perumusan mereka sendiri yang tidak bisa diganti oleh penjelasan paling baik sekalipun tentang filsafat mereka” (Perancis, hlm.vii)
Belajar (sejarah) filsafat secara sistematis dalam bahasa Indonesia tentu akan mempertemukan kita dengan K Bertens. Minimal, untuk keperluan sejarah filsafat barat dari kuno hingga modern, buku-buku Bertens dipakai sebagai bahan pendamping dan untuk keperluan bacaan komparatif. Sementara itu, buku-buku sejarah filsafat kontemporer karya Bertens yang telah disebutkan di atas hampir pasti bisa dikatakan telah menjadi buku sumber untuk waktu yang lama. Pengajar filsafat kontemporer di program magister filsafat STF Driyarkara Doktor Simon Petrus Lili pernah mengatakan, “Dua buku filsafat kontemporer Pater Bertens perlu dibaca karena penjelasannya representatif, deskriptif, dan naratif”
Filsafat Moral: Dari Pengantar Etika ke Etika Profesi
Selain sejarah filsafat, Profesor Bertens memberikan perhatian yang sangat besar kepada cabang filsafat utama yakni etika sebagai filsafat moral. Pada 1993, Bertens menerbitkan buku berjudul “Etika” (Jakarta: GPU) yang menembus cetak ulang sebanyak 11 kali pada Oktober 2011. Tidak sampai di situ, buku ini kemudian terbit lagi sebagai ‘edisi revisi’ oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta pada 2013 dan telah mengalami cetakan ke-4 pada 2017. Buku Bertens berjudul Etika memang telah menjadi salah satu pegangan utama di Indonesia bersamaan dengan buku Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987/2018: cetakan ke-27) karya profesor Franz Magnis Suseno, SJ.
Untuk para mahasiswa filsafat di kelas strata 1, membandingkan karya tentang dasar-dasar etika dari kedua guru besar filsafat ini tentu saja sangat mengasyikan dan menantang, terutama saat tiba pada pembicaraan tentang suara hati, hati nurani dan hubungan dengan psikoanalisis Freud. Pater Bertens sendiri pernah menerbitkan sebuah buku tentang pemikiran Freud.
Setelah menulis dasar-dasar filsafat moral, Pater Bertens mengembangkan penjelajahannya dalam filsafat praktis (baca: etika) ke dalam dunia bisnis dengan menerbitkan Pengantar Etika Bisnis yang terbit pertama kali pada tahun 2000 dan telah mengalami sebelas kali cetak ulang. Buku ini diterbitkan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan pada Fakultas Ekonomi dan program Magister Manajemen Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Selain etika bisnis, Pater Bertens memberikan perhatian kepada etika medis dan kedokteran. Buku kumpulan tulisan berjudul Sekitar Bioetika terbit pada 2018 yang menampilkan beberapa materi yang berkaitan erat dengan program studi, pendidikan dan pelatihan di Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Tidak hanya sampai di situ. Pada akhir tahun lalu (2023) dan awal tahun ini, Pater Bertens menerbitkan buku berjudul Etika Profesi (Yogyakarta: Kanisius, 2024) yang bertujuan membantu para professional melihat dan memberi perhatian pada peranan etika dalam setiap profesi, terutama pada era digital saat ini.
Semua konsentrasi Pater Bertens terhadap pengembangan etika di Indonesia telah diakui banyak pihak, terutama para rekan dosen etikanya yang tergabung dalam Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI). Pater Bertens adalah pendiri dan ketua pertama HIDESI.
Di Pundak Raksasa
Ketika mendengar kabar bahwa Pater Bertens disemayamkan di rumah duka Carolus, saya langsung bergegas ke sana. Seperti telah diatur oleh Tuhan, saya bertemu teman lama saya sesama alumnus Seminari Mataloko, Pastor Yonki Wawo MSC, rekan sekonggregasi Pater Bertens. Saya dan Pastor Yonki saling bercerita tentang Pater Bertens. Dari Pastor Yonki, saya mendapatkan beberapa informasi baru tentang Pater Bertens. Pertama, Pater Bertens ternyata misionaris MSC asal Belanda terakhir di Indonesia yang tidak memilih kembali ke kampung halaman setelah mendapatkan status warga negara Indonesia (WNI). Kedua, Pater Bertens agak gaptek (gagap teknologi), sehingga semua naskah bukunya biasanya ditulis secara manual, lalu diketik ke dalam komputer oleh Pak Daryono, supir pribadi merangkap asisten pribadi Pater Bertens. Saya terkagum-kagum mendengar dua hal itu.
Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Pater Bertens selama beliau hidup. Saya hanya membaca beberapa bukunya yang memang telah menjadi keharusan bagi seseorang yang belajar filsafat dalam bahasa Indonesia seperti saya. Pertemuan pertama dan terakhir kami terjadi ketika Pater Bertens telah tertidur kaku. Saya bersyukur diajak Pastor Yonki dan beberapa biarawan MSC untuk ikut masuk ke dalam ruang mayat rumah duka Carolus melihat Pater Bertens didandani sebelum masuk ke dalam peti mati. Kami berdoa bersama. Saya diizinkan memegang tangan Pater Bertens sambil mendoakan Salam Maria. Saya bahagia sekali saat itu sambil meminta doa Pater Bertens.
Ketika Pater Bertens keluar dari ruang mayat dan disemayamkan, saya semakin yakin Pater Bertens orang baik dan ramah. Ada banyak mahasiswa-mahasiswi fakultas kedokteran Atma Jaya, terutama yang berasal dari Indonesia timur, datang berdoa. Ketika dipindahkan ke aula paroki Kemakmuran, saya juga melihat ada banyak umat datang melayat. Mereka semua datang dengan memberikan kesaksian tentang bagaimana Pater Bertens telah menolong dan menginspirasi mereka.
Puisi yang telah kita kutip di bagian awal tulisan ini adalah sebuah karya dari seorang dokter asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah mendapatkan banyak pertolongan dan perhatian Pater Bertens. Dokter Viol Tnano menulis puisi berjudul “Pada Sebuah Halaman” untuk melukiskan kebaikan hati Pater Bertens. Saya yang hanya mengenal Pater Bertens melalui tulisan-tulisan pada bukunya juga merasakan kebaikan hati itu yang telah membawa pencerahan bagi (dunia filsafat) Indonesia.
Pada sebuah halaman di buku terakhirnya Filsafat Kontemporer Selayang Pandang, Pater Bertens berbicara tentang arti kata “kontemporer” sebagai bersama waktu, bukan hanya untuk mempelajari pemikiran para filsuf yang masih hidup, tetapi juga untuk para filsuf yang telah mewarnai zaman kita sini-kini. Saya pikir, sangat layak bagi kampus-kampus filsafat di Indonesia untuk mulai mempertimbangkan pemikiran Pater Bertens sebagai bahan kajian untuk penulisan skripsi bagi para mahasiswa strata satu (S1). Karena, kita telah dikarunia seorang filsuf besar dan sudah saatnya kita mengajarkan para kaum muda pembelajar filsafat untuk berani berdiri di pundak salah satu raksasa filsafat berbahasa Indonesia bernama Cornelis Adrianus Maria Bertens, MSC.
Terima kasih Pater Bertens. RIP
Jakarta, 21 Juli 2024