JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe, SIP, MH mengemukakan, selaku gubernur sejak tahun 2014 pihaknya sudah menyampaikan usulan perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Ototomi Khusus (Otsus) Bagi Papua. Usulan tersebut muncul setelah dirinya menilai UU Otsus sudah tidak sesuai dengan dinamika sosial politik kemasyarakatan di bumi Cendrawasih.
Enembe yang kini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demorat Papua itu menambahkan, ada lima kerangka usulan dalam UU tersebut yaitu kerangka kewenangan, kelembagaan, keuangan, kebijakan pembangunan serta politik, hukum dan HAM. Enembe juga juga menyampaikan pandangannya terkait langkah pemerintah pusat yang saat ini sudah memekarkan Papua menjadi tiga provinsi baru yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.
“Saya berpandangan bahwa untuk alasan percepatan dan pemerataan pembangunan idealnya wilayah Papua dikembangkan menjadi tujuh provinsi dengan berbasiskan adat atau budaya, yang dilakukan melalui suatu perencanaan yang matang dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa yang akan datang,” ujar Gubernur Enembe saat Rapat Kerja Daerah Gubernur dan Bupati/Walikota di Hotel Suni Abepura, Jayapura, Papua Rabu (15/6).
Gubernur Enembe mengatakan, pihaknya perlu menegaskan bahwa hingga saat ini dirinya tetap konsisten dengan pandangan tersebut, bahkan setelah memasuki sembilan tahun menjabat gubernur Papua. Gubernur semakin yakin bahwa percepatan dan pemerataan pembangunan Papua hanya dapat diwujudkan bukan dengan cara biasa-biasa saja tetapi harus ada komitmen dan keberanian untuk melakukan terobosan dengan cara-cara luar biasa, out of the box atau dalam istilahnya, ‘agak gila’.
“Meskipun saya masih dalam proses pemulihan tetapi saya tetap bertanggungjawab atas amanah sebagai gubernur yang diberikan rakyat Papua. Saya selalu mencermati dengan sungguh-sungguh dinamika sosial, politik, kemasyarakatan di Papua secara khusus terkait dengan otsus dan rencana pembentukan DOB. Saya mengapresiasi segala upaya yang dilakukan oleh siapa saja dan dalam bentuk apa saja, dalam kerangka percepatan pembangunan kesejahteraan Papua secara berkeadilan,” ujar Enembe.
Hal itu penting, ujarnya mengingat rakyat Papua berhak untuk hidup di atas tanah ini, di wilayah NKRI secara bermartabat tanpa rasa takut dengan sukacita dan bahagia. Karena itu ia juga mengapresiasi pandangan-pandangan kritis dari berbagai pihak atas pelaksanaan otonomi khusus dan rencana pembentukan daerah otonom baru mengingat hal tersebut merupakan hak konstitusional tetapi harus diletakkan dalam kerangka yang berlaku dengan memperhatikan etika dan moral serta menjunjng tinggi nilai-nilai adat dan budaya bangsa.
Gubernur Enembe juga menegaskan, meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua sudah diberlakukan tetapi selaku gubernur pihaknya tetap mengharapkan suatu saat ada perubahan yang lebih komprehensif yang mencakup lima kerangka dasar sebagaiman yang diusulkan Pemprov Papua di atas.
Selain itu, ia juga mengajak semua pihak untuk menghormati proses uji material atas beberapa materi muatan dalam UU tersebut. Misalnya, terkait pembentukan DOB yang sedang dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua, wadah kultural orang asli Papua.
Tekait rencana DOB, ia melanjutkan, jika dimasukkan dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua yang berkeadilan secara sungguh-sungguh, pihaknya menegaskan kembali pandangannya, bahwa sebaiknya sekaligus wilayah adat atau budaya. Wilayah adat itu masih-masing lima di wilayah Papua yaitu Mamta, Saereri, Meepago, Lapago, Animha dan dua di wilayah Papua Barat yaitu Doberay dan Bomberay.
Selain itu harus juga memberi jaminan bagi kesiapan sumber daya manusia khususnya orang asli Papua, jaminan atas ketersediaan sumber pembiayaan atau kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang. Dalam konteks ini diperlukan suatu grand design pemetaan daerah otonom di Papua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang pembentukannya.
“Akhirnya saya mengajak seluruh rakyat Papua untuk tidak mudah terpengaruh atas isu-isu provokatif yang dapat mengganggu hubungan solidaritas kita. Kita tetap menjaga komitmen menjadikan Papua sebagai tanah damai dan terpenting selalu berdoa semoga Tuhan yang Maha Kuasa melindungi dan memberkati kita,” katanya.
Sebelumnya, Undang-Undang Otsus Jilid II digugat ke Mahmakah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Gugatan itu dilayangkan para pemohon atau penggugat melalui tim kuasa hukum dari Firma Hukum Leo and Partners, Jakarta pada Senin (14/3). Gugatan itu dilayangkan karena para pemohon yang merupakan orang asli Papua (OAP) tidak menerima keputusan pemerintah memberlakuan Undang-Undang Otsus Jilid II karena bersifat sentralistik.
“Undang-Undang Otsus ‘Jilid II’ tersebut juga merugikan hak-hak konstitusional masyarakat dan orang asli Papua. Kami menilai, pemerintah pusat seenaknya menarik beberapa kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat Bumi Cenderawasih sesuai asas otonomi daerah dan tugas pembantuan,” ujar Ramos Petege dan Yanuarius Mote melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (15/3).
Menurut Petege dan Mote, sikap pemerintah pusat yang dinilai seenaknya menarik beberapa kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah sesuai asas otonomi daerah dan tugas pembantuan di antaranya pembentukan daerah otonom baru tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan MRP sebagai wadah kultural seluruh masyarakat adat dari berbagai wilayah adat di Papua serta rakyat Papua.
Selain itu, para pemohon menilai pembentukan daerah otonom baru tanpa di tanah Papua tanpa daerah persiapan sebagaimana dalam Pasal 76 Ayat 2 dan 3 dan kewenangan pemerintah pusat dalam membuat Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sesesuai Pasal 75 Ayat 4 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat 1, 2, 5, dan 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Selain itu, pemohon menilai pembentukan lembaga khusus pelaksanaan otonomi khusus di Papua berdasarkan Pasal 68A Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Otsus Papua ‘Jilid II’ bertentangan dan mengeliminasi prinsip otonomi daerah, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai atribusi konstitusi kepada pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 Ayat 1, 2, dan 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
“Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 6a Ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan sistem dan asas pemilihan umum sebagaimana telah diatur dengan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia tahun 1945,” kata Petege lebih jauh. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua ‘Jilid II’ disahkan Presiden Jokowi Senin (19/7/2021). (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)