WAMENA, ODIYAIWUU.com — Kondisi warga sipil yang mengungsi ke hutan-hutan di Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan mengenaskan. Bahkan warga lima kampung di distrik di Oksop yang mengungsi terkesan kehilangan para pemimpinnya sehingga perlu segera dibentuk tim gabungan menangani masalah itu.
“Saat ini yang terlihat adalah saling tuding informasi apakah hoaks atau valid terkait persoalan pengungsi di Oksop. Saya mengusulkan dibentuk tim gabungan yang melibatkan unsur pemerintah, TNI-Polri, Komnas HAM, pihak gereja, LSM, pegiat HAM, dan kalangan media,” ujar Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem kepada Odiyaiwuu.com dari Wamena, kota Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Jumat (24/1).
Theo mengatakan, saat ini para pengungsi dari lima kampung di Oksop merasa kehilangan pemimpinnya. Pemerintah daerah tidak serius menangani warganya yang mengungsi. Idealnya, ujar Theo, Pemkab Pegunungan Bintang serius menangani serius karena karena mereka juga warga negara. Begitu pula negara juga wajib memperhatikan dan melindungi warga negara yang mengalami penderitaan.
“Warga sipil di Oksop tidak bisa dipandang sebagai kelompok Organisasi Papua Merdeka, OPM atau separatis sehingga mereka alpa dibantu. Para pengungsi itu adalah warga sipil yang tinggal dan menetap di lima kampung di Oksop yang punya hak menerima perlindungan dan perhatian negara,” kata Theo yang juga pegiat HAM Papua.
Warga sipil yang mengungsi perlu dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya, termasuk makan dan minum, rasa nyaman, pelayanan kesehatan. Mereka juga harus hidup bebas, nyaman, dan aman dari ancaman apapun.
“Saya yakin dan percaya, masyarakat lima kampung itu sungguh merasa kehilangan pemimpin di daerah. Sejak mengungsi hingga sampai saat ini, tak ada pemimpin yang mengunjungi dan melihat kondisi mereka di pengungsian, termasuk masalah makan minum dan kesehatannya,” ujar Theo.
Theo menuding Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Majelis Rakyat Papua Pegunungan tidak bisa melihat dengan kacamata terang terhadap persoalan warganya sehingga tak ada yang peduli mengurus mereka. Pemprov dan MRP Papua Pegunungan gagal memperhatikan warganya yang tengah mengungsi bisa saja karena Oksop dianggap daerah konflik sehingga perlu dibentuk tim independen melakukan investigasi.
“Tim itu harus melakukan pemantauan langsung di tempat pengungsian agar melihat langsung kondisi warga. Kehadiran tim ini penting guna membuktikan informasi yang simpang siur apakah benar ada pengungsian atau tidak,” ujar Theo yang juga Ketua Forum Pemberantasan Miras dan Napza Papua Pegunungan.
Menurut Theo, keberadaan tim itu penting sehingga tidak muncul saling tuding di media dan perlu sikap dewasa semua pihak. Pihak-pihak terkait tidak perlu ibarat bangun memagari diri di tengah penderitaan berbulan-bulan yang dialami masyarakat Oksop.
“Sebagai warga negara siapa saja atau pihak manapun punya hak mengeluarkan pendapat di muka umum melalui media. Masing-masing pihak tentu melihat kenyataan yang sedang dialami masyarakat Oksop sebagai bagian warga negara,” ujar Theo.
Menurutnya, setelah tim menunaikan tugasnya, hasilnya disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM). Langkah ini penting agar pemerintah pusat tahu kondisi sebenarnya.
“Tim ini difasilitasi oleh pemerintah. Tim ini bisa langsung bertemu warga pengungsi, bicara dari hati ke hati apa yang mereka hadapi dan inginkan. Keinginan dan harapan itu yang jadi rekomendasi kepada pemerintah untuk diambil jalan keluar atau solusi,” ujar Theo.
Pihak Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz 2025 sebelumnya menegaskan, informasi yang beredar di media sosial tentang adanya pengungsian masyarakat di Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan adalah tidak benar. Informasi tersebut menggunakan dokumentasi lama dan tidak mencerminkan situasi sebenarnya karena saat ini sudah kondusif.
“Beberapa warga yang berpindah ke tempat yang lebih aman pada akhir November 2024 telah kembali ke Distrik Oksop dan beraktivitas seperti biasa sebelum Natal. Informasi yang beredar saat ini adalah berita hoaks yang sengaja disebarkan untuk memprovokasi,” ujar Kepala Satgas Humas Operasi Damai Cartenz 2025 Kombes Pol Yusuf Sutejo kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Rabu (15/1).
Menurut Yusuf, pihak terkait seperti Kepala Distrik Oksop Yohanes Sasaka sudah memberikan keterangan yang memperkuat fakta bahwa situasi di Oksop dalam keadaan aman. Ada beberapa poin penting terkait isu yang berkembang.
Pertama, dokumentasi yang beredar adalah foto kejadian pada Kamis (28/11 2024) di Kampung Mimin bukan kejadian saat ini. Kedua, sejumlah warga Oksop sekitar puluhan orang telah kembali ke tempat tinggal mereka dan menjalankan aktivitas normal di empat kampung. Sementara Kampung Mimin masih dalam pengawasan aparat keamanan.
Ketiga, berita yang menyebutkan adanya lansia dan seorang ibu yang meninggal dunia karena pengungsian tidak benar. Keduanya meninggal dunia akibat faktor kesehatan.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh berita tidak benar yang beredar. Polri dan aparat keamanan terus berkomitmen menjaga situasi kondusif di Oksop,” kata Yusuf lebih lanjut.
Sementara itu, masyarakat Oksop juga berharap adanya perhatian lebih dari pemerintah daerah maupun provinsi terkait distribusi bantuan. “Kami mengapresiasi kepedulian aparat keamanan, tetapi kami juga membutuhkan dukungan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar,” ujar Sasaka.
Pihak Satgas Operasi Damai Cartenz menegaskan, penyebaran berita hoaks seperti ini diduga dilakukan oleh oknum tertentu untuk menciptakan keresahan dan gangguan keamanan.
“Masyarakat diminta untuk selalu memverifikasi informasi melalui saluran resmi guna menghindari dampak dari berita palsu. Satgas Operasi Damai Cartenz akan terus memberikan informasi yang benar dan menjaga keamanan masyarakat di Pegunungan Bintang,” katanya.
Media ini sebelumnya memberitakan, sejak pekan ketiga November 2024, ratusan aparat keamanan dikirim ke Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Aparat keamanan itu tiba di Bandara Oksibil, Jalan Mabilabol, Pegunungan Bintang.
Menurut Ketua dan Staf Departemen Hukum dan HAM Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pusat Pendeta Jimmy Koirewoa, S.Th dan Eneko Bahabol, awal Desember aparat TNI memulai perjalanan dari Oksibil, kota Kabupaten Pegunungan Bintang menuju Distrik Oksop.
“Berdasarkan kesaksian seorang Pendeta GIDI, TNI menuju Oksop melalui jalan setapak yang biasa digunakan warga ke kebun dan hutan. Masyarakat Oksop menyaksikan kedatangan TNI ke kebun-kebun mereka. TNI juga mulai menempati kantor Distrik Oksop sejak awal Desember,” ujar Jimmy dan Eneko kepada Odiyaiwuu.com dari Sentani, Jayapura, Papua, Selasa (10/12).
Jimmy menjelaskan, pada Minggu (8/12) seluruh warga Oksop akhirnya telah mengungsi ke berbagai titik. Kampung-kampung kosong melompong akibat aksi yang dilakukan oleh aparat. Kedatangan aparat ke Oksop tidak melalui jalan umum, tetapi melalui jalan-jalan tikus.
Sesampainya di Oksop, ibu kota Distrik, kata Jimmy, aparat TNI tidak menempati kantor distrik atau perumahan sosial tetapi mengambil tempat di hutan-hutan. Mereka kemudian mengepung warga sipil yang tinggal di perkampungan dan hutan-hutan yang ditempati warga. Aksi militer, lanjutnya, sangat menakutkan masyarakat. Warga merasa terancam dan membutuhkan pertolongan semua pihak.
“Pada 9 Desember TNI kembali melakukan pendropingan pasukan menggunakan helikopter dan menempati Gereja GIDI Efesus Sape di Kampung Mimin. Hingga saat ini, TNI menguasai lima kampung di Oksop. Akibatnya, warga mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri. Gereja-gereja seperti Gereja GIDI dan Katolik sedang berupaya mengumpulkan pengungsi,” ujarnya.
Menurut Jimmy, penyisiran yang dilakukan oleh aparat menyebabkan sejumlah keluarga, termasuk anak-anak, orang dewasa, perempuan, dan lansia melarikan diri ke hutan. Mereka ketakutan setelah melihat penembakan brutal yang dilakukan aparat di wilayah itu.
Keadaan ini menciptakan situasi sangat darurat. Masyarakat terjebak dalam ketakutan dan kesulitan hidup akibat konflik yang sedang berlangsung. Mereka terpaksa mengungsi karena didera rasa takut dan kecewa terhadap perlakuan aparat yang dianggap tidak manusiawi.
“Seorang perwakilan umat Katolik dan Protestan mengungkapkan, mereka merindukan Natal penuh damai. Tetapi tahun ini, mereka tidak merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka tidak bisa merayakan kelahiran sang Juruselamat penuh sukacita. Ini adalah kado Natal paling buruk yang mereka alami dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Menurut Jimmy, kekuatan militer yang dikerahkan ke Oksop sekitar 300 personel, dengan pendropan pasukan tahap kedua menggunakan 3 mobil. Namun, jumlah pasti kekuatan militer masih belum diketahui karena pasukan terus bertambah. Hal ini diakui Jimmy, semakin memperburuk situasi di lapangan. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)