Dosa Freeport Terhadap Suku Amungme-Mimikawe dan Bangsa Papua (Bagian 1)
OPINI  

Dosa Freeport Terhadap Suku Amungme-Mimikawe dan Bangsa Papua (Bagian 1)

Markus Haluk, penulis buku Menggugat Freeport Jalan Penyelesain Konflik Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Markus Haluk

Sekretaris Eksekutif Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua

PADA Januari 2024, Suku Amungme, Mimikawe dan Bangsa Papua memperingati 50 tahun Perjanjian Januari (Janauri Agreement) antara PT. Freeport dan 6 kepala Suku Amungme. Perjanjian ini sesungguhnya tragedi pencoplokan tanah hak ulayat suku Amungme dan Mimikawee.

Penandatanganan naskah perjanjian disaksikan oleh pihak pemerintah Indonesia, wakil Pt. Freeport dan Wakil kepala Suku Amungme. Banyak pihak hingga saat ini tidak banyak yang mengetahui isi dan para pihak yang menandatanganinya. Naskah perjanjiannya dirahasiakan oleh Freeport seperti naskah kontrak karya I Freeport dan Pemerintah Indonesia pada April 1967 yang hingga saat ini masih misteri. Saya akan mengulas tentang isi dan pasca penandatanganan perjanjian Januari 1974.

Pada, 8 Januari 1974 di Tembagapura mulai dilakukan pertemuan antara Freeport, Pemerintah, dan Pemilik Nemangkawi, yang dikenal dengan pertemuan segitiga. Provinsi Irian Jaya, saat itu, mewakili pemerintah provinsi Irian Jaya, dan Tom Beanal, salah satu tokoh Amungme yang mewakili Pemilik Nemangkawi. Pertemuan ini melahirkan suatu perjanjian January Agreement, sebuah perjanjian yang menentukan alur sejarah bangsa Papua. Sayangnya, pernjanjian itu menyingkirkan masyarakat Amungme, pemilik tanah yang ditambang Freeport.

Tom Beanal mengatakan pihak Amungme tak dilibatkan dalam penyusunan isi perjanjian yang termuat dalam January Agreement. Menurut Tom Beanal seluruh isi perjanjian seluruhnya sesuai kepentingan Freeport dengan mengabaikan kepentingan masyarakat Amungme. Perjanjian yang pernah kita buat, kata Tom Beanal, untuk tanah-tanah mulai dari Yelsegel-Ongopsegel (Ersberg), Utekini (Camp 74), Mulkandi (Tembagapura), sepanjang jalan Camp 74 hingga Camp 2. Di luar jalan ini tidak dimasukan perjanjian, seperti di luar kota Tembagapura, di luar pagar kawat kota Tembagapura, dan di luar pabrik tambang di Camp 74.

Namun kenyataanya sekarang, perusahaan telah menyerobot tanah-tanah di luar batas perjanjian January Agreement, seperti di Kota Tembagapura yang memakan lahan antara 10-20 hektare, lalu pembukaan lahan di Camp 50 dan Camp 39, pengambilan lahan di Kwamki Lama untuk pemukiman karyawan PT. Freeport serta lahan kali kopi, pengambilan lahan gapura Selamat Datang. Freeport juga sudah melakukan eksplorasi tambang di lembah Arowanop. Menurut masyarakat tindakan merampok tanah ini tidak memiliki dasar hukum tetapi Freeport terus bertindak sesuka hati.

Kompensasi lahan

Dalam berbagai tulisan menjelaskan bahwa January Agreement 1974 lahir karena tuntutan masyarakat setempat terhadap kompensasi pengunaan lahan yang digunakan oleh Freeport Indonesia. Apakah benar isi dan manfaat kompensasi yang tertuang dalam January Agreement sesuai harapan masyarakat setempat? Apakah nilai kompensasi yang dibicarakan bernilai sama besarnya dengan hasil penambangan Freeport?

Bagian ini coba melihat dengan rasional soal hak dan kewajiban dari sumber daya yang dimiliki kedua belah pihak, Freeport Indonesia dan Pemilik Nemangkawi. Ulasan berikut ini akan menggambarkan kepada semua pihak untuk menilai dan mengukur tingkat rasionalitas hak dan kewajiban Freeport bagi Pemilik Nemangkawi dalam January Agreement pasal demi pasal.

Pasal 1, masing-masing pihak telah memahami sepenuhnya akan bak dan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, meskipun pelaksanaannya akan mengalami proses yang memakan waktu. Bagian ini lebih menekankan tentang hak dan kewajiban pihak Freeport dan Amungme.

Penjabaran hak dan kewajiban dalam konteks sebagai pemilik perusahan dan pemilik lahan tidak dijelaskan secara eksplisit. Apa haknya Freeport atas tanah dan apa sesungguhnya kewajiban Freeport atas tanah Amungme. Perlu dipahami kata “memahami” dalam pembuka pasal pertama dialamatkan kepada pihak pemilik lahan sementara yang hadir dan menandatangani kesepakatan itu adalah para tetua Suku Amungme yang sama sekali tidak mengerti dan paham dengan setiap redaksi tulisan dalam perjanjian ini. Di sinilah terjadinya proses pembodohan bagi suku Amungme yang mulai dilakukan Freeport.

Pasal 2, pihak Freeport Indonesia Inc. bersama Team telah berusaha mengumpulkan dan menampung kehendak dan keinginan masyarakat setempat dalam usaha memajukan masyarakat dan daerah sekitar Freeport Indonesia Inc.

Pada bagian pasal ke-dua menitikberatkan kepada keinginan masyarakat setempat. Kata kunci pada bagian ini adalah “memajukan.” Apakah implementasi dari pasal ini terhadap penduduk yang tinggal di lembah Waa, Banti, dan sekitarnya? Freeport justru membangun perumahan elit dan kota baru di Kuala Kencana, sementara masyarakat di lembah Waa dan sekitarnya, hidup dalam gubuk-gubuk hasil bangunan sendiri.

Pendidikan, yang merupakan hak dasar bagi masyarakat pemilik Nemangkawi juga terabaikan. Freeport lebih memprioritaskan pembangunan sekolah di Kuala Kencana dan Tembagapura, kota yang menopang kehidupan para karyawan dan tenaga kerja Freeport.

Akses air bagi penduduk lembah Banti sangat miris. Penduduk Suku Amungme harus keluar rumah berjalan kaki menuju waduk air. Kondisi ini berbalik dengan daerah Kuala Kencana, dimana orang-orang dengan mudah menikmati air di rumah, bahkan tinggal menekan tombol air bersih tersedia di kamar mandi.

Pasal 3, pihak Freeport Indonesia Inc. berkesanggupan dalam waktu yang akan dan sudah ditentukan sesuai dengan rencana yang disepakati bersama untuk (a) membangun gedung-gedung sekolah termasuk perumahan guru; (b) membangun poliklinik dan perumahan perawat; (c) membuat bangunan pasar termasuk pertokoannya.

Kemudian (d) membangun beberapa rumah model penduduk yang layak dan membangun pembangunan perumahan selanjutnya; (e) memberikan dan meningkatkan fasilitas dan kesempatan kerja bagi penduduk setempat sesuai dengan perkembangan perusahaan; dan (f) memberikan fasilitas yang diperlukan untuk pos pemerintah, yaitu kantor dan rumah. Pasal ketiga ini merupakan turunan penterjemahan dari pasal dua tentang kata “memajukan”. Kita bisa lihat implementasi pasal tersebut di lapangan.

Gedung sekolah dan perumahan guru di Banti, Tsinga, Arwanop yang dibangun Freeport tak menggambarkan upaya Freeport memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas bagi masyarakat setempat. Kualitas sekolah dan perumahan di Banti, Tsinga, dan Arwanop kurang baik, tampak bahan tripleks yang menjadi material bangunan.

Poin lain dari pasal 3 memuat tentang pasar dan pertokoan. Freeport membangun pasar dan pertokoan, namun di Banti penduduk setempat masih berjualan dengan menggelar barang dagangannya di tanah.

Para penjual setempat duduk di sepanjang jalan sebelah toko PNU sampai jalan masuk Gedung SD Inpres Banti. Toko PNU baru dibangun sekitar tahun 2000-an atas prakarsa SLD dan para tokoh Amungme. Sehingga isi dari pasal 3 berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Apakah ini yang dimaksudkan oleh Freeport yang menarun komitmen terhadap pemilik Nemangkawi?

Pasal 4, apa yang tersebut dalam pasal 3 diatas perlu disesuaikan dengan dan dalam rangka pembangunan masyarakat pedalaman yang berhubungan dengan program Pemerintah Daerah. Pasal 4, masih berkaitan erat dengan pasal 3, yaitu soal pembangunan. Kata kuncinya pembangunan masyarakat pedalaman, yang oleh Freeport diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah.

Sementara pada 1970-an, orang Amungme sangat jauh dari sentuhan pemerintah daerah. Orang Amungme tak mengenal pemerintah daerah sebagai mihak pembawa perubahan. Orang Amungme hanya punya atan moril dengan Freeport sebagai pengguna tanah ulayat agi kepentingan penambangan. Celakanya, setelah merampas anah hak ulayat Amungme, Freeport mengalihkkan semua tanggung jawab kepada pemerintah daerah (bagian pertama dari dua tulisan)

Tinggalkan Komentar Anda :