Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Mimikawe - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Mimikawe

Markus Haluk, Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua. Foto: dok Markus Haluk

Loading

Oleh Markus Haluk

Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua

Engkau telah memakan tubuhku.

Bagian mana lagi yang engkau belum makan?

Yosepa Alomang — pemilik gunung Nemangkawi, tokoh Papua, korban dan saksi hidup atas kejahatan Freeport

PADA bagian awal di sini perlu penulis sampaikan bahwa tulisan ini sebagai lanjutan dari tulisan kami sebelumnya yang telah dipublikasikan beberapa waktu lalu. Dalam tulisan pertama, penulis ulas kejahatan Freeport dalam sorotan tema Mengungkap Januari Agreement 1974, Dosa Pusaka Freeport pada Suku Amungme – Mimikawe dan Bangsa Papua.

Dalam tulisan bagian kedua ini diulas gambaran kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport pada Bangsa Papua khususnya suku Amungme dan Mimikawe (Kamoro). Bagian lain akan hadir dengan tema Freeport dan Ekosida Papua.

Bencana kemanusiaan dan punahnya secara khusus suku Amungme–Kamoro dan bangsa Papua pada umumnya dari peradaban bumi ini bermula dari kunjungan tim ekspedisi terdiri dari Anton Hendrik Colijn, Frist Julius Wissel, dan Jean Jacques Dozy, pada 1936 kemudian ditindaklanjuti pada 1960 Forbes Wilson di Gresberg dan penandatanganan Kontrak Karya I pada PT Freeport pada April 1967.

Akhir 1967 masyarakat Amungme dipimpin Kepala Suku Tuarek Narkime untuk pertama kali melakukan protes pada saat kontraktor Freeport Bachel Pomeroy di bawah pimpinan John Curry tanpa meminta persetujuan menerobos masuk di wilayah Waa dan Banti ketika Freeport mulai masuk dan hendak membangun Helipad dan Base-Camp.

Salah satu tokoh Amungme, Simon Aim yang saat ini sedang menetap di Port Moresby, Papua Niew Guinea berkisah tentang penderitaan dan penggungsian pada 1977. Akibat aksi kekejaman dan operasi militer Indonesia di areal PT Freeport tahun 1977 mengakibatkan ia bersama 500 orang laki-laki Amungme mengungsi jalan kaki selama 3 tahun (1977-1980).

Mereka melintasi wilayah Pegunungan Papua terus ke selatan Merauke kemudian berjalan kaki memotong West Papua melalui wilayah suku Muyu Mandobo, Kabupaten Boven Digoel, kemudian naik ke wilayah adat suku Ngalum Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang. Perjalanan dilanjutkan ke wilayah utara di Kabupaten Keerom dan tiba di Jayapura. Kemudian terus melanjutkan perjalanan ke wilayah perbatasan Papua Niew Guinea dan West Papua.

Ia berkisah, dari 500 orang yang mengungsi lebih dari setengah meninggal di hutan dalam perjalanan dan tiba di perbatasan Papua Niew Guinea hanya 215 orang. Apa yang disampaikan ini merupakan salah satu kisah dari banyak kisah penderitaan dan kematian yang dialami suku Amungme dan orang West Papua akibat keberadaan PT Freeport.

Operasi Militer pada 1977 di wilayah Pegunungan Tengah West Papua bermula di Wamena (Kabupaten Jayawijaya) dan berakibat meluas hampir semua willayh pegunungan West Papua di 16 kabupaten dalam administrasi Pemerintahan Indonesia saat ini.

Pada tahun 1977 orang Amungme melakukan perlawanan dan protes dengan cara memotong pipa milik Freeport McMoran Coper and Gold atas eksploitasi sumber daya alam di wilayah yang ribuan tahun Suku Amungme yakini sebagai tempat suci, sakral telah ditambang oleh perusahaan asing ini. Menanggapi aksi rakyat tersebut PT Freeport melalui militer Indonesia melakukan operasi militer terhadap suku Amungme. Akibatnya, ribuan warga Amungme telah mengungsi masuk hutan.

Banyak orang meninggal dunia karena ditembak oleh militer Indonesia dan kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Sejak 1977 Pemerintah Indonesia memperlakukan wilayah teritori West Papua dan khususnya di suku Amungme sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan baru dicabut wilayah West Papua sebagai daerah operasi militer pasca reformasi 5 Oktober 1998 oleh Presiden Habibie.

Pada akhir 1960-an hingga awal 1980-an demi memuluskan operasi penambangan, PT Freeport juga telah melakukan pemindahan sebagian suku Amungme dari tempat tinggal mereka di Agimuka, wilayah pesisir pantai. Suku Amungme yang selalu hidup berkebun dengan makanan pokoknya keladi dan petatas dipaksa untuk mengkonsumsi sagu dan kelapa. Akibatnya, banyak orang Amungme terkena virus malaria, jatuh sakit lalu meninggal dunia.

Populasi anak-anak kecil 20 persen suku Amungme yang dipindahkan ke Agimuka meninggal dunia karena sakit malaria. (Markus Haluk: Mati atau Hidup, 2013). Pada kurun waktu 1980, PT Freeport melalui militer Indonesia melakukan penculikan dan pembuhan orang Amungme.

Pada masa ini banyak orang Amungme dimasukkan dalam kontainer Freeport dan dibuang atau tidak pernah kembali kepada keluarga mereka. Karena itu pada masa itu hingga saat ini orang Amungme serta orang Papua lainnya trauma dengan kata kontainer.

Kekejaman dan pelanggaran HAM

Kekejaman dan pelanggaran HAM oleh Freeport ini masih berlanjut hingga pada pertengahan 1998. Pada 9 oktober 1994 anggota TNI menangkap, menahan dan menyiksa mama Yosepa Alomang dengan beberapa orang.

Berikut ini nama-nama mereka yang disiksa dan dianiaya secara sewenang-wenang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau Tentara Nasional Indonesia atau TNI (saat ini). Mereka adalah Yosepa Alomang, Yuliana Magal, Matius Kelangame, Yakobus Alomang, dan Nicolaus Magal.

Para korban tersebut dibawa ke Pos Militer Koperapoka lalu dibawa lagi ke Pos Sektor Timika. Mereka ditahan selama satu bulan dari 9 October hingga 10 November 1994 dengan tuduhan memberikan makanan dan menyembunyikan anggota dan Pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). (Benny Giay: Hidup dan Karya John Rumbiak: Gereja LSM dan Perjuangan HAM Dalam Tahun 1980-an di Tanah Papua, 2011).

Pada 25 Desember 1994, ABRI kembali menganiaya sampai beberapa warga sipil hingga meninggal mengenaskan. Mereka adalah Yoel Kogoya (27), Peregamus Waker (38), dan Elias Jikwa (28). Sementara sembilan orang lainnya dianiya hingga babak belur menyaksikan pembunuhan terhadap kawan-kawannya.

Mereka kemudian diperintah untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Dari Sabang Sampai Merauke berulang-ulang selama satu jam. Korban sesungguhnya ialah warga masyarakat biasa yang hendak pergi ke Tembagapura untuk merayakan Hari Raya Natal dengan menggunakan surat jalan.

Pelanggaran HAM di Timika

Sejak pertengahan tahun 1994 sampai dengan pertengahan tahun 1995 telah terjadi serangkaian pelanggaran HAM di wilayah Timika, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya atau West Papua. Keseluruhan peristiwa pelanggaran tersebut secara detail terjabar dalam laporan resmi yang dibuat oleh Keuskupan Jayapura dan disampaikan Uskup Jayapura Mgr Herman Munninghoff yang mengungkap bahwa telah terjadi pelanggaran HAM.

Peristiwa pelanggaran HAM dimaksud yaitu pembunuhan secara kilat (summary execution), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention), penyiksaan (torture), penghilangan (disapparance), pengawasan (surveillance), dan perusakan harta milik (destruction of property).

Secara ringkas ada enam bentuk pelanggaran HAM. Pertama, Summary Execution. Tindak kekerasan yang melanggar HAM dalam katagori ini telah dibuktikan dalam laporan ini yang terjadi sebanyak 5 (lima) kali sejak tanggal 25 Desember 1994 sampai dengan 31 Mei 1995.

Korban dari tindakan ini adalah masyarakat sipil dari usia anak-anak sampai usia dewasa, laki-laki maupun perempuan. Warga sipil tersebut terbunuh dalam keadaan tidak bersenjata maupun melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan yang membahayakan diri aparat keamanan tersebut.

Tindakan tersebut antara lain pada 25 Desember 1994. Tempat kejadian di dalam bus Freeport Nomor 44 dan di jalan menuju ke Timika dari Tembagapura. Korban satu orang yaitu Wendi Tabuni (23) meninggal karena ditikam perutnya dan ditembak bagian kepala ketika berusaha melarikan diri. Jenazah dibuang ke jurang di Mile 66. Pelaku pembunuhan adalah tentara anggota pasukan 733 Pos ABRI mile 66.

Kemudian, pada 25 Desember 1994. Tempat kejadian di bengkel Freeport, Koperapoka. Warga masyarakat sipil meninggal karena dianiaya. Jumlah korban tiga orang yaitu Yoel Kogoya (27), Peregamus Waker (28), dan Elias Jikwa (28). Pelaku pembunuhan adalah anggota pasukan dari Mess Pupurima.

Pada 16 April 1995. Tempat kejadian di Desa Harapan, Kwamki Lama, Timika. Dua warga masyarakat sipil menjadi korban pembunuhan. Yang pertama dengan menggunakan panah yaitu Piet Tebay. Sedang yang kedua adalah Yunus Kudial dengan senjata api. Pelaku pembunuhan, yang pertama adalah petugas Siskamling Desa Harapan, Kwamki Lama. Yang kedua adalah salah seorang tentara dari pasukan 733 Patimura.

Pada 31 Mei 1995. Tempat kejadian di Kampung Hoea dan menelan korban 11 orang. Pelaku pelanggaran adalah pasukan ABRI 752 di bawah pimpinan Serda Mardjaka.

Kedua, Dissappearance. Terjadi peristiwa hilangnya empat orang yaitu Sebastinus Kwalik, Romulus Kwalik, Marius Kwalik, dan Hosea Kwalik tanpa didapat keterangan sampai saat ini dari pihak yang berada di tempat terakhir (Pos Tentara Koperapoka) korban penghilangan berada. Hilangnya warga sipil bermula dari penangkapan dan penahanan keempat orang tersebut pada 6 Oktober 1994 oleh sejumlah tentara.

Sejak itu pihak keluarga korban tidak pernah bebas bertemu korban dan pada akhirnya, pada November 1994 tidak dapat menjumpai korban sama sekali. Tempat terakhir korban adalah kontainer Pos Tentara Koperapoka.

Ketiga, Arbitrary Arrest and Detention. Tindakan ini dilakukan terhadap warga sipil tanpa ada surat penangkapan, penahanan, dan korban tidak didampingi penasehat hukum ketika menjalani proses pemeriksaan. Korban kemudian dibebaskan juga tanpa alasan resmi yang jelas.

Pada 9 Oktober 1994, penangkapan lima orang warga sipil yaitu Mathias Kelanangame (48), Yakobus Alomang, Nicolaus Magal, Yosepha Alomang (37), Yuliana Magal (50) oleh tentara Angkatan Darat dari Batalyon 752 Paniai. Tempat penahanan dilakukan di Polsek Timika, dalam status sebagai tahanan “titipan” Angkatan Darat. Mereka dibebaskan pada 10 November 1994.

Pada tanggal 25 Desember 1994, penangkapan 15 orang warga sipil. Penangkapan dilakukan oleh anggota pasukan ABRI 733 Patimura. Tempat penahanan dilakukan di kontainer Freeport dan Bengkel Freeport di Koperapoka. Mereka dibebaskan pada 26 Desember 1994.

Pada 26 Desember 1994, penangkapan empat orang masyarakat sipil yaitu Yunus Omabak (33), Naimun Narkime (50), Okto Kiwa (30), dan Pius Waker (34). Penangkapan dilakukan oleh anggota pasukan dari Pos Militer 733 dan 752 Banti.

Korban ditahan di Pos Security Freeport dan di dalam kontainer Freeport. Dua orang dibebaskan pada 30 Desember 1994 dan dua orang lainnya dibebaskan pada 10 Januari 1995. Pada 29 Desember 1994, penangkapan tiga orang masyarakat sipil. Pada 31 Desember 1994, penangkapan dua orang masyarakat sipil. Kemudian, pada 1 Januari 1995, penangkapan satu orang masyarakat sipil.

Pada 8 Januari 1995, penangkapan 10 orang masyarakat sipil. Penangkapan tersebut sebagian besar terjadi pada masyarakat sipil yang kebetulan adalah juga karyawan (buruh) Freeport dan dua orang kepala suku.

Keempat, Torture. Tindakan ini dialami oleh tiap korban yang telah disebutkan di atas, baik pada korban yang kemudian dibebaskan maupun yang meninggal dunia. Sebagaimana dituturkan dalam laporan dari Keuskupan Jayapura sebagai berikut.

Bahwa telah terjadi berbagai bentuk penyiksaan terhadap korban sepanjang masa pemeriksaan atas diri korban seperti telah terjadi pemaksaan penandatanganan surat pengakuan, ancaman pembunuhan yang membuat takut korban.

Tindakan tersebut secara terus-menerus telah dilakukan tanpa henti dalam waktu relatif lama yaitu sejak jam 13.00 sampai 18.00 sepanjang masa interogasi. Sejak jam 04.00 subuh sampai jam 12.00 siang dan sejak jam 14.00 sampai jam 02.00 dini hari.

Cara yang digunakan juga berbagai macam seperti menendang perut, dada, kepala dengan sepatu, pukulan tangan, tidak diberi makan selama penahanan, menikam bahu dengan pisau, mengikat tangan dan jari. Kaki tangan diborgol, dijemur, kepala dipukul dengan batu, memaksa menjepitkan besi pada lengkung lutut, tangan diinjak, dihajar dengan rotan, kerja paksa, dan tidur di lantai tanpa alas.

Penyiksaan mengakibatkan kepala mengucurkan darah, muka bengkak-bengkak, tubuh memar, pingsan, kematian karena patah leher. Tempat penyiksaan dilakukan di berbagai tempat seperti: Di dalam kontainer Freeport, di Mess Panglima, di Kantor Polsek Timika di Pos Security Freeport.

Kelima, Surveillance. Tindak pengawasan yang terjadi di wilayah tersebut dilakukan dalam keadaan yang begitu ketat sehingga justru menimbulkan ketegangan dan ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Pengawasan dilakukan di dalam gereja, ketika masyarakat sipil sedang beribadah, di kampung-kampung, di kota Timika dan di jalanan dengan cara memeriksa setiap penduduk yang lewat. Pengawasan dilakukan dengan menggunakan senjata api yang diarahkan ke sasaran (apapun) dan melakukan ancaman pada siapapun yang dianggapnya hendak melawan.

Keenam, Destruction of Property. Dalam tugasnya melaksanakan keamanan ternyata terjadi pula perampasan harta milik yang dibawa korban saat penangkapan. Sejumlah perhiasan manik-manik dan uang Rp 260.000 milik Biru Kogoya (28) sengaja dijarah oleh anggota pasukan 733 dan dibagi di antara teman-teman mereka.

Dengan terpenuhinya kategori tersebut di atas dalam berbagai kejadian terhadap warga sipil di Timika maka pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran HAM kategori berat.

Lagu-lagu Memorial Passionis Suku Amungme

Lagu-lagu ratapan tangisan ini didendangkan saat pengungsian akibat operasi militer 1994-1996. Lagu-lagu itu kemudian ditulis dan terjemahkan Paulus Kanongopme dan Bosco Pogolamon pada Agustus-September 1997. Syairnya dalam bahasa Amungkal sebagai berikut.

 

Amungkal

 

Reff: Jiao…Jiao

 

Kala jia-ae namungae jiao

Naok ping-ping ap ae jaio

Wayak ping-ping ap ae jiao

Wemjagamea nengtewegam sta jiao

ABRI-a nengtewegam sta jiao

Jawa mea mengtewegam jiao

Beli karu-a jiao

Alamki karukaru-a jiao

SP a rusak ingam sta-a jiao

Model Baru-a rusak ingam sta-a jiao

Pangan Pingam ap ae jiao

 

Bahasa Indonesia

 

Refren: Di sana

 

Di sana, daerah yang selalu didambakan

Di sana, daerah yang baru saja ditinggalkan

Di sana, daerah yang lam ditinggalkan

Di sana, daerah yang dihancurkan oleh tentara

Di sana, daerah yang dihancurkan oleh ABRI

Di sana, daerah yang dihancurkan orang jawa

Di sana, daerah Bella yang berjejeran gunung

Di sana, daerah Alama yang berjejeran gunung

Di sana, daerah yang dirusak dengan senjata SP

Di sana, daerah yang dirusak dengan senjata model baru

Di sana, daerah yang telah kami tinggalkan

 

Reff: Aiye……eeeeee

 

Muma-muma

Kila-kila

Magawo Ningok-a

Kelawo Ningok-a

Nonelan more

Taganelan more

Au me Ningoak-a

Wan gkalek me Ningoak-a

 

(Dalam Bahasa Indonesia)

 

Aiyeu….. Aiyeee…

Leluhur kami, kindungilah

Leluhur kami, lindungilah

Puncak gunung Magawo, lindungilah

Puncak gunung Kelawo, lindungilah

 

Mereka datang untuk makan kami, lindungilah

Mereka datang untuk tembak kami, lindungilah

Puncak gunung Au-me, lindungi

Puncak Gunung Wangakalek me, lindungilah

Lindungilah…. Lindungilah kami

Pada 1996 terjadi pembebasan penyanderaan di Mapenduma. Pada tahun yang sama telah terjadi operasi militer untuk membebaskan para sandera. Pada masa ini, masyarakat sangat takut dan trauma dengan nama kontainer dengan Komandan Kopassus saat itu yang memimpin operasi pembebasan sandera. Di antara masyarakat West Papua sering saling mengingatkan dengan “awas ko mau masuk container ka? Ko mau berusan dengan Militer ka?” Demikian kesaksian Piet Matorbong, salah satu tokoh Gereja Katolik yang lahir besar di wilayah Mimika Papua dalam makalah memperingati 40 Hari meninggalnya Uskup Emeritus Mgr Herman Moninghoff di Susteran Jayapura Papua, awal Maret 2018.

Pelanggaran HAM masih berlanjut. Kali ini terjadi terhadap warga Amerika pada 31 Agustus 2002 dan Indonesia terjadi di mile 62-63 Tembagapura Timika, di antara dua Pos Satgas Pam TNI 515 Kostrad oleh kelompok tidak dikenal.

Dalam peristiwa ini tiga orang meninggal dunia, terdiri dari dua warga Amerika Serikat dan satu orang warga negara Indonesia di mana 11 orang mengalami luka berat dan ringan. Tanpa proses investigasi yang transparan dan independen Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis penjara Pendeta Isak Ondowame bersama sejumlah orang Amungme.

Pada April-Desember 2009 terjadi penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Timika, West Papua yang berbuntut pada penembakan terhadap Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka tuan Jenderal Kelly Khwalik oleh pasukan Brimob Polri.

Pada Oktober 2017 hingga April 2018 terjadi juga kontak senjata di areal konsesi PT Freeport Indonesia antara TPN-OPM dengan pasukan gabungan TNI-Polri. Dalam persitiwa ini sejumlah warga sipil tertembak dan meninggal dunia dan ribuan warga sipil Amungme dan suku kerabat mengungsi masuk hutan.

Tinggalkan Komentar Anda :