Paus Fransiskus dan Harapan untuk Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

Paus Fransiskus dan Harapan untuk Papua

Seorang pria  asli Papua memegang foto Paus Fransiskus di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta pada Rabu (4/9). Sumber foto AFP

Loading

Ambrosius Mulait mengirim kepada saya catatan lewat WA tanggal 4 September 2024. Saat itu cukup banyak warga Papua berdiri di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta untuk menunggu Paus Fransiskus lewat. 

MEREKA membawa beberapa poster menyambut kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia sambil berharap Paus Fransiskus tidak melupakan Papua. Ambrosius Mulait menulis bahwa meskipun Paus Fransiskus duduk di sebelah kiri sopir yang artinya tidak bisa langsung melihat ke seberang jalan tempat warga Papua menyambut Paus Fransiskus, tetapi Paus Fransiskus nampak membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arah para warga Papua. 

Ambrosius Mulait mengatakan sangat terharu dan berharap hati Paus Fransiskus tergugah dan tidak melupakan penderitaan Papua. Ambrosius adalah seorang aktivis mahasiswa Papua Barat dan ketua organisasi mahasiswa bernama Persatuan Mahasiswa Dataran Tinggi Papua Tengah di Indonesia (AMPTPI/Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia).

Ia ditangkap pada tanggal 31 Agustus 2019 oleh Polda Metro Jaya saat melakukan protes bersama puluhan mahasiswa Papua lainnya di depan Mabes Polri menuntut pembebasan Charles Kossa dan Dano Tabuni yang ditangkap sehari sebelumnya. Dia dibebaskan pada 27 Mei 2020 setelah menjalani tahanan di penjara 9 bulan dan dinyatakan tidak bersalah.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia juga mengirim Press Release Amnesty International Indonesia dalam rangka kunjungan Paus Fransiskus lewat WA tanggal 3 September 2024 dengan berharap “Andai saja dari Sri paus ada satu kata saja perihal perdamaian di Papua akan sangat bermakna”. 

 Press release Amnesty International tanggal 3 September 2024 tersebut berjudul Pope Francis Must Urge Indonesia to Respect Human Dignity and Social Justice in Development atau “Paus Fransiskus Harus Mendesak Indonesia untuk Menghormati Keluhuran Martabat Manusia dan Keadilan Sosial dalam Pembangunan”.

Amnesty International Indonesia dalam press release tanggal 3 September 2024 tersebut berharap bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dapat menjadi momentum dihentikannya pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan di Papua, Rempang, dan daerah lain di Indonesia. 

Amnesty International Indonesia juga mencatat masih banyaknya kasus pelanggaran berat HAM di berbagai daerah di Indonesia yang sebagian pernah diakui oleh Presiden RI Joko Widodo termasuk pelanggaran HAM di Papua. Kasus 5 Mei 2024 misalnya adalah ketika sejumlah mahasiswa yang sedang berdoa rosario di Tangerang Selatan dibubarkan dan diintimidasi oleh warga sekitar.

Usman Hamid percaya bahwa Paus Fransiskus dikenal dengan komitmennya yang kuat untuk keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan perlindungan suku adat asli dan hak-hak mereka. 

Oleh karena itu Usman Hamid berharap Paus Fransiskus selama kunjungannya ke Indonesia menjadi juru bicara yang teguh untuk mereka yang menderita termasuk para pengungsi di Papua. Usman Hamid berharap Paus Fransiskus berbicara mengenai pentingnya dialog damai dan resolusi untuk Papua yang menghargai HAM dan harapan warga Papua.

Usman Hamid juga menulis artikel di The Jakarta Post tanggal 4 September 2024 berjudul “Chronic Displacement in Papua Should Be in Our Conscience” untuk mengingatkan kita untuk membuka mata dan hati bahwa di Papua masih ada masalah pengungsi yang sangat serius dan belum ditangani dan dicarikan solusinya. 

Romo John Bunay, imam diosesan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura yang pernah memimpin Jaringan Damai Papua juga mengirim berita kepada saya mengenai aksi jalan salib di Jayapura tanggal 4 September 2024 saat Paus Fransiskus berkunjung ke Istana Negara menemui Presiden RI Joko Widodo.

 Berita jalan salib tersebut dimuat di BBC News Indonesia tanggal 5 September 2024 dengan judul “Mengapa Ritual ‘Jalan Salib’ Dipilih Orang-Orang Papua untuk Menarik Perhatian Paus Fransiskus Soal Papua?”

Dalam berita di BBC News Indonesia, Esther Haluk, Sekretaris Departemen Pelayanan Kaum Perempuan di Sinode Gereja Kemah Injil Papua (Kingmi), menjelaskan bahwa ritual jalan salib untuk menunjukkan bahwa umat Tuhan di Papua sedang mengalami penderitaan seperti yang dialami Yesus. “Jalan Salib hari ini bertujuan untuk mengatakan bahwa di Papua tidak sedang baik-baik saja,” tegas Esther.

Romo Yanuarius Dou, imam diosesan Keuskupan Jayapura yang bekerja di Nabire sebagai pendamping Rohani para calon imam se Papua mengirim catatan kepada saya menyampaikan kekecewaan sebagian umat Papua yang merasa masalah Papua disembunyikan dan tidak diangkat ke hadapan Paus Fransiskus bahkan oleh pihak-pihak tertentu dalam KWI. Oleh karena itu, umat Papua melakukan jalan salib di Jakarta maupun di Jayapura untuk minta agar masalah Papua jangan disembunyikan dan dilupakan. 

 Dalam artikel di BBC News Indonesia, Romo Alexandro F Rangga dari Ordo Fratrum Minorum (OFM) Santo Fransiskus Duta Damai, menjelaskan bahwa masyarakat Papua melihat hidup mereka penuh penderitaan sejak berintegrasi dengan Indonesia. Pihak KWI dianggap belum mewadahi suara orang asli Papua sehingga mereka merasa perlu menyampaikannya langsung kepada Paus Fransiskus. 

Markus Haluk, Sekretaris United Liberation Movement for West Papua, menyampaikan bahwa sebenarnya Gereja, khususnya Gereja Katolik masih menjadi tumpuan dan harapan terakhir bagi masyarakat Papua. Jalan Salib di Jayapura diikuti ribuan warga Papua dan atas inisiatif para berbagai gereja di Jayapura. 

Harapan Papua untuk Paus Fransiskus juga muncul dalam tulisan di UCANews, kantor berita Katolik di Asia. Tanggal 4 September 2024 UCA News memuat suatu tulisan mengenai harapan Papua atas kunjungan Paus Fransiskus yang diberi judul “Papuan’s Hope Pope Visit Will Ensure New Life Ahead”.

Dalam artikel tersebut dilaporkan rencana jalan salib di Jayapura yang melibatkan ratusan warga Papua dari berbagai gereja di Jayapura. Romo John Bunay dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura menyampaikan kepada UCANews bahwa jalan salib di Jayapura adalah juga ungkapan protes karena ada pihak yang tidak memberi kesempatan bahwa masalah Papua dapat disampaikan kepada Paus Fransiskus. Hanya dalam misa di Gelora Bung Karno doa umat terakhir disampaikan dalam bahasa suku Malind dari Merauke Papua, sesudah doa dalam bahasa Jawa, Toraja, Manggarai, Batak Toba, dan Dayak Kanayatn. 

Dalam rangka kunjungan Paus Fransiskus telah diterbitkan buku berjudul Doa dan Harapan Umat Katolik Papua Kepada Bapa Suci Paus Fransiskus yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Italia dan akan diberikan kepada Paus Fransiskus dengan dimasukkan ke dalam noken yaitu tas anyaman asli Papua.  

Buku ini bukan uraian ilmiah akademis tentang Papua, melainkan merupakan kumpulan isi hati yang berisi suara hati yang disusun secara spontan setebal 124 halaman buku berisi 34 harapan dan doa yang disusun oleh umat dan imam Papua. Buku ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama berjudul Suara Tokoh Awam Katolik atas Ancaman Kepunahan Papua. Bab kedua berjudul Suara Perempuan Katolik Papua: Bapa Suci Doakan dan Selamatkan Papua. Bab ketiga berjudul Kami Generasi Muda Masa Depan Gereja dan Papua. Bab keempat berjudul Doa Umat untuk Bapa Suci dan Puisi Jeritan Tangis Papua. Bab kelima berjudul Doa Ratapan Para Pengungsi Maybrat, Keuskupan Manokwari-Sorong.

Editor buku ini adalah Romo Alexander Rangga OFM, Romo Heribertus Lobya, OSA, Markus Haluk, dan Budi Hernawan. Buku ini diberi sub judul “Kami Terancam, Bapa Suci Bersuara dan Bertindak Untuk Selamatkan Kami dari Ancaman Kepunahan” dan diterbitkan di Tanah Papua tanggal 10 Agustus 2024 oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC-FP) dai Jayapura.

Buku Doa dan Harapan Umat Katolik Papua Kepada Bapa Suci Paus Fransiskus itu sudah disampaikan kepada Pater Markus Solo Kewuta, SVD, imam Indonesia yang saat ini bertugas di Vatikan untuk menangani Desk Relasi Katolik-Muslim wilayah Asia dan Pasifik di Vatikan. Ia juga menjabat sebagai Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate “Pendidikan Dialog Lintas Agama” pada Kantor Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Umat Beragama di Vatikan. Selama kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia, Pater Markus Solo Kewuta SVD adalah penerjemah Paus Fransiskus. Semoga buku ini sudah disampaikan kepada Paus Fransiskus. 

Dalam UCANews tanggal 6 September 2024, Cypri Jehan Paju Dale, seorang antropolog yang bekerja untuk orang asli Papua dan perkembangan politik di Papua menulis artikel berjudul “Can Francis Save Indonesian Church Elites from ‘Devil’s Dung?” dan menyatakan bahwa Gereja Katolik Indonesia tidak pernah merumuskan dan mempublikasikan sikap resmi KWI terhadap hak orang asli Papua untuk menentukan nasib masa depan Papua. Malahan pernah ada pejabat gereja yang menyatakan ikut mendukung kebijakan pemerintah RI dalam soal Papua. Pernyataan tersebut ternyata mengecewakan dan menyakiti hati cukup banyak orang asli Papua. 

Cypri mengingatkan bahwa di Bolivia tahun 2015 Paus Fransiskus pernah minta maaf atas sikap dan dosa Gereja Katolik terhadap penderitaan orang asli Bolivia. Cypri bertanya-tanya apakah mungkin Paus Fransiskus juga menyampaikan hal yang sama meminta maaf atas kekurang pedulian dan diamnya Gereja Katolik terhadap penderitaan orang asli Papua? 

Kalau hal itu sampai terjadi maka kunjungan Paus Fransiskus akan menjadi berkat bagi Gereja Katolik Indonesia dan Umat Papua. Agaknya kita tidak perlu menunggu lama untuk yakin bahwa Paus Fransiskus juga tahu dan membawa masalah Papua dalam hati beliau. 

Saat ini Paus Fransiskus sedang berkunjung ke Papua Nugini dan akan misa di Port Moresby maupun berkunjung ke Vanimo. Saat di Vanimo beberapa uskup dan umat Papua akan ikut bergabung. Mungkinkah Paus Fransiskus saat di Vanimo tanggal 8 September 2024 masih akan berbicara soal Papua? Kita hanya bisa berharap dan berdoa sambil tetap yakin bahwa Paus Fransiskus sebenarnya tahu dan memahami masalah Papua dan membawa masalah Papua dalam hati beliau. 

Bagi Frederika Korain, pengacara alumni Universitas Katolik Parahyangan di Jayapura yang juga anggota Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, ketika tanggal 5 September 2024 di Masjid Istiqlal Paus Fransiskus menyinggung soal tambang emas, maka sebenarnya dengan itu Paus Fransiskus ingin menyinggung soal Papua yang memiliki tambang emas terbesar di dunia! 

Kata Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, “Dan jika benar bahwa anda menerima tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah keinginan agar perbedaan tidak menjadi penyebab konflik, tetapi harmonis dalam harmoni dan saling menghormati. Harmoni, itulah yang anda lakukan. Jangan menyia-nyiakan anugerah ini! Jangan pernah mempermiskinkan diri anda sendiri di hadapan kekayaan yang luar biasa ini; sebaliknya, kembangkanlah dan wariskanlah, terutama kepada mereka yang termuda. Semoga tidak ada yang menyerah pada daya tarik fundamentalisme dan kekerasan, semoga semua orang terpesona oleh impian masyarakat dan kemanusiaan yang bebas, persaudaraan dan damai!”

Dengan menyinggung soal tambang emas yang sebenarnya adalah Papua, Paus Fransiskus ingin mengingatkan kita semua orang Indonesia dari berbagai latar belakang agama untuk jangan mempermiskinkan diri dengan terjebak pada tambang emas, kekayaan, fundamentalisme, dan kekerasan yang menjadi penyebab konflik. 

Ajakan Paus Fransiskus ini bagi Frederika Korain adalah ajakan Paus Fransiskus untuk memperjuangkan kemanusiaan yang bebas, persaudaraan, dan damai di seluruh Indonesia dan dunia dan tentu saja termasuk di Tanah Papua. Frederika Korain yakin bahwa Papua sebenarnya sudah ada di dalam hati Paus Fransiskus. 

Bagi Frederika Korain, kunjungan Paus Fransiskus ke Vanimo di PNG di Hari Minggu 8 September 2024 juga adalah kunjungan Paus Fransiskus ke Tanah Papua. Di Papua Nugini Paus Fransiskus sudah misa di Port Moresby tanggal 7 September 2024. Maka kunjungan Paus Fransiskus ke Vanimo tanggal 8 September 2024  yang jaraknya 993 kilometer dari Port Moresby adalah wujud keinginan dan niat Paus Fransiskus untuk juga berjumpa dengan umat Papua. 

Jarak Vanimo ke titik perbatasan Skouw di Provinsi Papua hanya 46 kilometer atau kurang dari 1 jam perjalanan darat. Jarak Vanimo ke Jayapura hanya 97 kilometer yang bisa ditempuh hanya dalam waktu 2 jam perjalanan darat. Akan ada sekitar 1.000 umat Katolik dari Papua akan berkunjung ke Vanimo untuk juga berjumpa dengan Paus Fransiskus. Mgr. Yanuarius You sebagai Uskup Jayapura juga akan hadir di Vanimo atas undangan Uskup Vanimo sebagai keuskupan tetangga. 

Maka kunjungan Paus Fransiskus ke Vanimo dipahami oleh umat Papua sebagai kunjungan seorang bapak dan pimpinan Gereja ke Tanah Papua yang pasti juga memahami dan mencintai Tanah Papua dan Orang Papua dan ingin memberikan kekuatan, semangat, dan harapan bagi Papua untuk boleh mengalami kehidupan yang adil dan damai. Semoga harapan ini terbukti saat Paus Fransiskus menyapa umat Papua di Vanimo tanggal 8 September 2024 pada Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria. Amin.

Ferry SW, pemerhati Papua. Menulis dua buku tentang Papua yaitu Belajar Mencintai Papua; Menantikan Paskah (Jakarta: Pustaka KSP Kreatif, 2023) dan Membawa Keadilan dan Perdamaian ke Tanah Papua (Bandung: Unpar Press, 2024). Sedang menyelesaikan buku tentang Masa Depan Papua dan Presiden Prabowo Subianto. 

Tinggalkan Komentar Anda :