JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe mengalami penurunan fisik secara signifikan sejak September 2023. Enembe juga diketahui mengalami pengecilan otak sehingga mengganggu fungsi kognisi atau daya pikir.
“Tahun 2013 Pak Lukas menderita sakit bawaan diabetes melitus disertai hipertensi dan kolesterol. Tahun 2015, beliau mengalami stroke untuk pertama kalinya. Hingga kini, sudah empat kali terserang stroke,” ujar dr Anton Mote, Dokter Pribadi Lukas Enembe saat bersaksi dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (28/4).
Menurut dr Mote, selain diabet, Lukas juga menderita gangguan ginjal sehingga selalu menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Singapura. Sedangkan terkait gangguan jantung dan perbaikan katup jantung, juga pernah dilakukan pemeriksaan di rumah sakit yang saya beberapa tahun lalu.
Sidang gugatan praperadilan diajukan Enembe atas tidak sahnya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, dan penyidikan terhadap dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam sidang tersebut, Enembe melalui tim hukumnya mengajukan tiga saksi yang terdiri dari dua saksi ahli dan satu saksi fakta. Ketiga saksi tersebut yaitu ahli patologi dan dosen Universitas Hasanuddin Makassar Prof Dr Gatot Susilo Lawrence, dr Mote, dan Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 Hafid Abbas.
Menurut dr Mote, ia menjadi dokter pribadi Enembe sejak 2012. Kemudian ia dipercaya lagi saat pertama kali Enembe menjabat Gubernur Papua.
Dalam kesempatan tersebut, dr Mote mengatakan, untuk penyakit gangguan hati Enembe sudah dalam tahap dilakukan fisioterapi. Secara fisik, Enembe mengalami penurunan fisik signifikan sejak September 2022. Penurunan fisik terjadi karena stroke yang mendera Enembe.
“Sejak dibawa dari Jayapura ke Jakarta, saya sudah tidak dapat informasi tentang kesehatan Pak Lukas. Dari ilmu kedokteran, dari pertama mengalami gangguan syaraf yang diawali dengan stroke, beliau tidak akan kembali ke kondisi normal,” ujar dr Mote.
Pihaknya melihat ada penurunan fisik Enembe dari cara berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari. Dulu Enembe bisa berjalan sendiri namun kini untuk berjalan harus dibantu. Sedangkan untuk aktivitas ke kamar mandi masih harus dibantu. Untuk gangguan ginjal sekarang sudah mendekati tahap cuci darah.
Menjawab pertanyaan kuasa hukum pemohon, apakah dengan kondisi seperti itu Enembe dapat menjalani proses hukum, dr Mote mengatakan, yang diketahui sejak Enembe di Jayapura aktivitasnya harus dibantu keluarga dan tim dokter. “Secara fisik harus dibantu, termasuk untuk makan,” lanjut dr Mote.
Dalam pemeriksaan CT Scan, urai dr Mote, Enembe diketahui menderita pengecilan pada otak. Secara medis kondisi tersebut akan mengganggu aspek kognitif dan daya pikirnya.
“Akibat stroke dan pengecilan otak menyebabkan gangguan koordinasi. Kalau jalan tidak bisa lurus dan aktivitas perlu dibantu. Semua penyakit yang diderita Pak Lukas telah terjadi dalam jangka waktu lama,” katanya.
Pihaknya mengkhawatirkan stroke yang sudah menyerang Enembe empat kali. “Strokenya sudah empat kali. Ini yang jadi kekhawatiran kami. Stroke pertama pada 2015 dan beruntun hingga terakhir pada 2020. Jadi sakitnya itu sudah lama sehingga beliau ke Singapura untuk kontrol dan perawatan,” ujar dr Mote.
Sementara itu, Hafid Abbas mengatakan, terhadap orang yang berhadapan dengan proses hukum namun orang tersebut menderita sakit berat atau permanen, yang didahulukan adalah recovery, penyembuhan orang itu terlebih dahulu.
“Harus mengedepankan recovery, dipulihkan dulu karena dia manusia. Itu hal utama dalam prinsip HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Hafid saat ditanya kuasa hukum Enembe, Petrus Bala Pattyona tentang mana yang didahulukan, apakah proses hukum atau penyembuhan untuk orang sakit berat yang menjalani proses hukum.
Menurut Abbas, orang yang menderita sakit kritis kalau dipaksakan menjalani proses hukum, maka melanggar hak asasi manusia. Melihat prinsip HAM, ujarnya, kalau dalam kondisi kritis dipaksakan proses hukum, itu pelanggaran HAM. Konsekuensinya, negara bisa diadili dan bertanggungjawab mengapa dapat terjadi seperti itu.
“Mohon aspek kesehatan didahulukan. Keamanan manusia itu di atas segala-galanya. Jangan kita paksakan kalau orang itu sakit. Itu mekanisme di PBB. Kalau itu terjadi, negara akan ditagih, kenapa dapat terjadi seperti itu. Semua harus diperlakukan secara manusiawi. Setelah sehat dan normal kembali, silahkan proses diteruskan,” kata Abbas. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)