RUTENG, ODIYAIWUU.com — YOHANES Rangkas (27) memutuskan merantau ke tanah Papua. Tujuh tahun lalu, kaki Yohan berat melangkah meninggalkan Elisabeth Pamul, sang bunda, keluarga, dan kerabatnya. Dalam hati, Yohan jatuh cinta dengan tanah Papua. Panggilan mengabdi sang bunda dan saudara serta saudarinya lebih dominan.
Niatnya menggunung lalu di lereng Nemangkawi, kaki gunung keramat di wilayah adat suku Amungme dan Komoro, Yohan bekerja di Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua. Yohan, anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Simon Len (Alm) dan Elisabeth Pamul bertaruh peluh di tanah Amungsa ikut membantu ekonomi keluarga sejak sang ayah pergi selamanya menghadap Tete Manis, Mori, Tuhan sang Sabda.
Jumat (15/7) malam, Yohan masih bersenda gurau dengan ibunya melalui video call. Ia mengabarkan dirinya diserang kelompok kriminal bersenjata (KKB) di kios tempatnya bekerja. Kata Yohan, kala itu ia hanya mengalami luka di kaki. Ibunya meminta Yohanes segera pulang. Tapi Yohan berjanji akan pulang sebulan lagi. Apalagi, selama tujuh tahun Yohan tak pernah kembali kampung di Manggarai, ujung barat Pulau Flores.
“Tetapi mau menjemput Yohan setelah tubuhnya rubuh diterjang timah panas lalu ajal menjemput,” kata Yohanes Manasye, jurnalis di Manggarai, Flores yang mewawancarai ibu Elisabeth Pamul saat dihubungi Odiyaiwuu.com dari Ruteng, kota Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Selasa (19/7).
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Yohan, penjaga toko yang sudah tujuh tahun merantau ke Papua ini menjadi korban pembantaian kelompok kriminal bersenjata di Kampung Nogolait, Kabupaten Nduga, Sabtu (16/7) sekitar pukul 09.15 WIT. Darahnya tercecer di Nduga, tanah Papua sebelum akhirnya menutup mata selamanya. Jenazah Yohan lalu diterbangkan dari Papua ke Bandara Komodo Labuan Bajo via Bandara Hasanuddin Makassar dan Bandara Juanda Surabaya.
Kabar berpulangnya Yohan akibat terjangan peluru kelompok kriminal bersenjata di Nduga segera menyapa. Keluarga akhirnya mendirikan tenda di depan rumah. Di bawah tenda, persis di samping tangga rumah, di depan pintu sudah terpasang bale-bale yang sudah dilengkapi tikar dan bantal. Pada dinding rumah di belakang bantal, foto Yohan terpampang.
“Bale-bale akan menjadi tempat jenazah Yohan disemayamkan. Dalam budaya Manggarai, setiap orang yang meninggal akibat peristiwa pembunuhan, kecelakaan, dan bencana, jenazahnya tidak boleh disemayamkan di dalam rumah. Baginya disiapkan tempat khusus di depan rumah,” kata Manasye, jurnalis sebuah media nasional.
Tujuh tahun berada di tanah Papua, Yohan memenuhi janjinya kembali ke mbaru (atau honai dalam bahasa Papua). Namun, kembali dari rantau menepati janjinya kepada sang ibu, tubuh Yohan mewujud jenazah. Pada Senin (18/7) malam, Yohan tidak disambut suka cita oleh keluarga dan kerabatnya. Ratap tangis sang bunda serta saudara dan saudarinya pecah.
Protes mama Elisabeth dalam isak tertahan tak terbendung. Sambil memeluk peti jenazah sang putra, yang meninggal tragis di tangan saudara-saudaranya kelompok kriminal bersenjata di Nduga. Mama Elisabeth meratap dalam Bahasa Manggarai.
“Ai teti senjata hia ko? Toe! Anak daku toe teti senjata! Maik coo tara tembak le meu? Coo tara ngance hang keta kole cama manusia meu?” (Apakah dia angkat senjata? Tidak! Anak saya tidak angkat senjata! Tapi mengapa kalian tembak? Mengapa kalian tega ‘memangsa’ sesama manusia?)
“Mama bilang, anak pulang sudah. Besok pasti mereka serang lagi. Dia bilang, mama sabar. Bulan ini saya pulang. Adik yang bungsu juga bilang, kakak segera turun ke kota karena itu tanda-tanda bahwa mereka akan serang lagi besok. Tapi dia masih bertahan di Nduga. Ternyata benar, besoknya dia ditembak saat pulang jemput barang dari Bandara,” tutur Yoseph Kawe, saudara Yohan mengutip mediaindonesia.com, Selasa (19/7).
Janji untuk segera pulang juga pernah disampaikan kepada Yoseph. Yoseph sendiri belum lama pulang merantau dari Papua. Sebelum pulang, Yosep mengajak agar Yohan juga ikut pulang. Dirinya bahkan menawarkan semua biaya perjalanan dari Papua sampai tiba di kampung. Namun Yohan menolak ajakan itu dan berjanji untuk pulang bulan ini dengan biaya sendiri.
“Waktu itu saya bilang, adik kita pulang. Jangan pikir uang. Saya tanggung tiket sampai di Manggarai. Saat saya turun dari tempat kerja, dia bilang, ‘kakak, kau duluan karena saya masih satu bulan kerja di sini.’ Seterusnya, kabar tiga hari ini adik saya sudah kena tembak di Kabupaten Nduga,” kata Yosep sambil menahan tangis.
Pihak keluarga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Nduga, keluarga besar NTT di Papua, dan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang telah membantu seluruh proses pemulangan jenazah Yohan. Keluarga juga berterima kasih karena telah memfasilitasi semua kebutuhan terkait penerbangan jenazah dari Papua hingga tiba di Labuan Bajo.
Namun keluarga menitip pesan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Pemerintah harus hadir dalam persoalan ini. Tidak boleh ada lagi warga sipil menjadi korban. Ada apa sebenarnya? Warga sipil yang tidak bersenjata dikorbankan,” tutur Yoseph.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, mengakui pihaknya telah menembak 12 orang di Nduga, Papua, Sabtu (16/7). Peristiwa itu mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan melukai dua orang lainnya.
Sebby mengklaim, 10 orang yang tewas itu merupakan intelijen pemerintah Indonesia yang menyamar sebagai karyawan dan penjaga kios. Ia menyebut, sejumlah masyarakat sipil yang ditembak itu pun telah dipantau oleh pihaknya selama beberapa hari sebelumnya.
Menurut Sebby, di antara warga sipil itu ada yang memegang pistol. Sehingga, anggotanya melepaskan tembakan terhadap masyarakat sipil itu. “Ternyata salah satu dari (penjaga) kios itu mereka pegang pistol, akhirnya kami tembak,” kata Sebby mengutip republika.co.id, Senin (18/7).
Sebby menambahkan, TPNPB-OPM tidak akan segan melukai masyarakat yang mereka curigai sebagai mata-mata pemerintah Indonesia. “Siapa pun dia, masyarakat sipil, karyawan, buruh kerja entah itu orang asli Papua atau non Papua serta juga pejabat orang Papua yang kami anggap mencurigakan, kami tidak akan kompromi,” kata Sebby.
Kepolisian bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) memburu teroris kelompok kriminal bersenjata di Papua yang membunuh 10 warga dan melukai dua warga sipil. Pengerahan pasukan dan personel keamanan sudah dilakukan sejak akhir pekan kemarin setelah serangan KKB di Nduga, Papua, Sabtu (16/7).
“Di Nduga, anggota Polri dan TNI sudah berjaga ketat di lokasi. Kita bersama-sama akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar pelakunya dan menangkap pelakunya untuk bisa dihadapkan ke hukum,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, Minggu (17/7).
Kamal mengklaim, situasi dan keamanan di Nduga berangsur kondusif. Polri dan TNI mengantisipasi adanya hal-hal yang tidak diinginkan dengan penetapan status siaga. Pada Sabtu (16/7) pagi waktu setempat, sekitar 20-an anggota KKB menyerang perkampungan di Nogolait, Distrik Kenyam, Nduga. Serangan itu diduga dilakukan kelompok separatis yang dipimpin Egianus Kogoya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)