Faktor Eksternal dan Putusan Mahkamah Konstitusi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Faktor Eksternal dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Frans Maniagasi, menulis dari Sentul, Bogor, Jawa Barat. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Frans Maniagasi

Menulis dari Sentul, Bogor, Jawa Barat 

MENGIKUTI dinamika sidang pendahuluan untuk mengidentifikasi gugatan oleh para hakim Mahkamah Konstitusi (selanjutnya, MK) yang mengadili sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, hemat penulis ada dua faktor utama yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan para hakim. 

Pertama, aspek yuridis formal-konstitusional yang dijadikan dasar pemeriksaan materi perkara dan putusan sesuai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) MK bahwa gugatan itu mesti  memenuhi kriteria dan syarat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) serta ambang batas perolehan dukungan suara pada pilkada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota (Pasal 159, UU No 10/2016). 

MK tidak memprioritaskan ambang batas an sich seperti pengalaman sidang sengketa pilkada yang lalu. Sebatas bila ada yang memperkarakan hal itu dan memiliki signifikansi terdapat pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif.  

Kedua, non yuridis formal atau eksternal, variabel di luar yuridis formal yang  dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh para hakim MK. Nah, catatan kaki ini lebih fokus pada faktor eksternal terutama sepintas jika kita mencermati kondisi aktual negara saat ini. 

MK berupaya untuk menegakkan “kedaulatan rakyat” di tingkat daerah dengan tanpa mengabaikan demokrasi rakyat. Tapi dalam dimensi ketatanegaraan para hakim MK sebagai bagian integral dalam suatu sistem negara maka dinamika eksternal paling tidak akan menjadi pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan.

Jika dicermati secara seksama dari aspek kondisi keuangan negara, misalnya, dapat dikatakan negara tidak berada dalam situasi  yang tidak biasa-biasa saja. Kondisi ini diindikasikan bahwa tahun 2025 ini Indonesia mesti membayar utang sebesar 8.000 miliar US dollar. Karena memang telah jatuh tempo dan pemerintahan berkewajiban membayarnya. 

Utang yang diwariskan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), selama satu dekade berkuasa. IMF telah memberikan deadline pembayaran paling tidak seperempat syukur-syukur bisa separuhnya. Apa bisa? Kita doakan saja. 

Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025 menurut laporan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, defisit keuangan negara TA 2024 menyisakan Rp 400 miliar lebih. 

So, fantatistik. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, tapi kemudian putusan itu dibatalkan oleh Presiden Prabowo. Ironisnya, meskipun dibatalkan oleh presiden di masyarakat kebablasan harga-harga barang sudah melonjak dengan sendirinya. 

Selain itu terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) ekses dari penutupan beberapa pabrik besar yang mempekerjakan ribuan buruh di pabrik pabrik sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Tentunya hal ini  memproduksi kenaikan pengangguran yang meroket. 

Plus masalah-masalah sosial yang berimplikasi politik seperti kasus protes terhadap proyek strategis nasional (PSN) seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di Tangerang, Merauke (Papua Selatan), dan masalah Rempang. 

Selain itu, yang tidak kalah menarik yaitu korupsi yang menggerogoti uang negara. Padahal, dari kasus-kasus korupsi bila dananya diakumulasi dapat digunakan untuk menutupi sebagian utang negara. Aduh hai.

Masalah aktual yang menjadi perbincangan hangat menyangkut program makan bergizi sehat (MBS) yang menjadi polemik di masyarakat, terutama yang dipermasalahkan oleh masyarakat sipil. 

Mulai dari ketersediaan dana yang disinyalir mengganggu keuangan negara hingga masalah teknis pengelolaan dan sajian makanannya. Bahkan dikonstatir oleh beberapa sumber dari dalam pemerintahan bahwa program makan gratis telah menyunati anggaran kementerian dan lembaga (K/L). 

Dalam kondisi seperti itu penyusunan organisasi dan pelantikan personalia pada level K/L telah dilakukan namun anggaran untuk kementerian dan lembaga pun dalam rangka pembiayaan aktivitas K/L serta program-programnya belum tersedia dana. Pemerintahan Presiden Prabowo pun merencanakan untuk meminjam dana kurang lebih besar 700 miliar dolar AS.  

Dari deskripsi singkat itu muaranya bersumber pada ketersediaan dana sebagai bahan bakar untuk menggerakkan kegiatan negara. Ngeri rasanya mengikuti “aliran dan ketersediaan darah” kebijakan moneter republik ini. 

Situasi utang yang jatuh tempo, harga barang yang terlanjur telah naik, dan tidak dibarengi oleh peningkatan daya beli masyarakat, korupsi yang semakin tak terkendali, kasus PSN (PIK 2, Merauke, Rempang), penutupan pabrik, dan pengangguran hingga program MBS.     

Skenario putusan MK

Mengikuti denyut kebijakan moneter dan dinamika sidang MK dapat diberikan beberapa catatan kaki. Pertama, agar setiap gugatan yang diajukan memperhatikan dengan serius dan sungguh-sungguh tentang substansi materinya. 

Substansi materi mesti memenuhi kriteria dan syarat terstruktur, sistematis, dan masif tidak hanya itu yang penting didukung oleh informasi, data, dan fakta yang akurat dan dapat dikonfirmasi oleh para hakim baik berupa benda, dokumen, kwitansi transaksi keuangan kalau ada money politic, dan berbagai alat bukti yang sah dan legitimat serta saksi-saksi individu manusia  yang benar-benar tidak saja mendengar tapi menyaksikan terjadinya pelanggaran yang memperkuat tiga unsur tersebut. 

Kedua, gugatan yang hanya bersifat pelanggaran administrasi syarat pencalonan seseorang apalagi hal hal itu telah ada putusan pengadilan sebelumnya, termasuk gugatan menyangkut keaslian calon yang telah diklarifikasi dan diverifikasi oleh KPU sebelumnya tentunya memiliki ranah tersendiri. Tidak memiliki signifikansi dengan proses dan hasil pilkada, tak ada pengaruh.

Saran sebaiknya gugatan seperti itu dapat dipertimbangkan oleh penggugat untuk ditarik saja dari MK. Jika berkehendak melanjutkan gugatannya sama saja sedang melempari kotoran di mukanya sendiri. Maknanya gugatan seperti itu sudah barang tentu akan ditolak oleh para hakim MK. 

Ketiga, tentang ambang batas telah diatur dalam Pasal 159 UU No 10/2016 baik untuk hasil pilkada gubernur, bupati dan walikota. Para hakim setelah memeriksa pokok perkara jika terjadi terstruktur, sistematis, dan masif yang akut maka tentu akan memeriksa signifikansinya berkorelasi dengan ambang batas. Artinya, tingkat pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif memiliki kausalitas dengan ambang batas, maka otomatikli menjadi dasar putusannya. 

Keempat, hemat pendapat penulis sebagai lembaga negara MK dalam memutuskan perkara akan mempertimbangkan dengan seksama berbagai faktor di luar aspek yuridis formal konstitusional. Misalnya, pemilihan ulang baik mencakup cakupan sebuah provinsi, kabupaten atau kota maka faktor ketersediaan dana, apalagi dengan kondisi kebijakan moneter seperti yang digambarkan akan turut menjadi pemikiran para hakim.

Demikian juga dengan pemilihan suara ulang (PSU) lebih difokuskan dan dilokasir terbatas. Namun, perlu digaris bawahi pada wilayah atau daerah pemilihan (Dapil) yang dipermasalahkan itu pun oleh KPU telah pernah dilakukan PSU, kemungkinan diabaikan oleh para majelis hakim. 

Hemat penulis, skenario adalah (i) diskualifikasi terhadap hasil perolehan suara sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, karena dianggap terdapat penggembembungan suara dan (ii) melakukan check and recheck melalui pembukaan kotak suara oleh MK guna klarifikasi dan verifikasi kebenaran perolehan suara untuk memastikannya guna mewujudkan keadilan sehingga tidak merusak ‘kedaulatan rakyat’.  

Tinggalkan Komentar Anda :