Oleh Dr Jannus TH Siahaan, MA, M.Si
Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Jakarta
INDUSTRI kelapa sawit di tanah Papua (selanjutnya, Papua) saat ini berkembang dalam konteks sejarah kolonial yang belum sepenuhnya diselesaikan, serta dinamika pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Wilayah Papua, yang secara resmi menjadi bagian dari Indonesia melalui Perjanjian New York 1962 dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, telah lama menjadi wilayah strategis yang diorientasikan untuk integrasi nasional melalui proyek-proyek pembangunan.
Salah satu sektor yang paling menonjol dalam proses ini adalah sektor kelapa sawit, yang dalam beberapa dekade terakhir mengalami ekspansi besar-besaran di wilayah Papua dan Papua Barat.
Ekspansi sawit di Papua tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan lahan yang luas dan subur, tetapi juga oleh kebijakan negara yang memberikan berbagai bentuk insentif kepada perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional.
Pemerintah Indonesia memberikan hak guna usaha dalam skala jutaan hektar kepada perusahaan swasta, sering kali dengan durasi yang sangat panjang dan dengan mekanisme persetujuan yang minim terhadap masyarakat adat setempat.
Pengetahuan Lokal
Padahal, masyarakat adat Papua memiliki sistem penguasaan wilayah yang berbasis pada pengetahuan lokal dan tradisi oral yang diwariskan secara turun-temurun. Batas-batas wilayah tidak digambarkan dalam bentuk sertifikat resmi, melainkan melalui penanda alam seperti pohon besar, sungai, batu, dan tempat sakral. Sistem ini mencerminkan hubungan ekologis dan spiritual antara manusia dan alam yang bersifat simbiotik dan tidak eksploitatif.
Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur sawit telah menimbulkan berbagai dampak ekologis dan sosial. Studi menunjukkan bahwa deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan sawit mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati, kerusakan habitat spesies endemik, dan terganggunya siklus air dan kesuburan tanah.
Proyek-proyek berskala besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) maupun kawasan “Tanah Merah” di Boven Digoel menjadi contoh konkret bagaimana transformasi lanskap secara besar-besaran dapat menghilangkan ruang hidup komunitas adat dan menghancurkan ekonomi subsisten yang selama ini menopang kehidupan mereka.
Selain itu, pembukaan perkebunan dalam skala masif juga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, terutama ketika akses terhadap sumber daya menjadi terbatas dan tidak lagi dikelola berdasarkan mekanisme kolektif komunitas.
Dampak sosial dari ekspansi sawit juga memperlihatkan pola-pola ketimpangan struktural. Masyarakat lokal kerap kali berada dalam posisi rentan ketika berhadapan dengan kekuatan korporasi dan aparat negara. Dalam beberapa kasus, keberadaan aparat keamanan di sekitar kawasan konsesi menimbulkan ketegangan dan ketakutan di tengah masyarakat.
Meskipun dimaksudkan untuk menjaga stabilitas investasi, pendekatan keamanan yang terlalu dominan justru dapat mengurangi ruang partisipasi masyarakat dan memperbesar jarak antara negara dan warga. Dalam konteks Papua, di mana sejarah relasi antara masyarakat dan negara telah lama dibayangi oleh ketidakpercayaan, pendekatan pembangunan yang top-down tanpa konsultasi dan pengakuan atas hak adat dapat memperdalam luka sosial yang telah ada.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan aspek keberlanjutan dalam industri sawit. Pemerintah Indonesia meluncurkan skema sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai instrumen untuk memastikan bahwa proses produksi sawit mengikuti prinsip-prinsip lingkungan dan sosial yang bertanggung jawab. Namun, implementasi ISPO di lapangan masih menghadapi tantangan besar.
Deforestasi dan Masyarakat Adat
Banyak laporan menunjukkan bahwa perusahaan tetap dapat memperoleh sertifikasi meskipun masih terlibat dalam praktik deforestasi atau pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.
Di sisi lain, skema sertifikasi ini belum mampu menjangkau petani kecil yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi standar administrasi dan teknis yang ditetapkan. Hal ini menciptakan kesenjangan struktural dalam rantai nilai sawit yang semakin mendalam.
Secara global, meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan dan hak masyarakat adat mendorong mitra dagang utama Indonesia, seperti Uni Eropa, untuk mengeluarkan regulasi yang lebih ketat terkait deforestasi dan keberlanjutan.
Kebijakan seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan penguatan bab Trade and Sustainable Development (TSD) dalam perjanjian perdagangan menunjukkan bahwa tekanan terhadap produk sawit yang tidak berkelanjutan semakin kuat.
Namun, kebijakan internasional ini juga menuai kritik karena dinilai belum sepenuhnya mempertimbangkan konteks lokal dan dapat berdampak negatif terhadap pelaku usaha skala kecil yang tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi standar baru tersebut.
Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang adil dan inklusif, yang tidak hanya menekankan aspek teknokratis, tetapi juga mempertimbangkan keadilan ekologis dan sosial.
Di tengah dinamika ini, penting untuk menekankan bahwa pembangunan ekonomi di Papua harus dirancang dengan pendekatan partisipatif dan berbasis pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Pendekatan ini bukan hanya akan memperkuat legitimasi proyek pembangunan, tetapi juga penting untuk membangun ketahanan sosial dan ekologis dalam jangka panjang.
Masyarakat adat Papua bukanlah hambatan pembangunan, melainkan aktor penting yang memiliki pengetahuan dan praktik kelestarian yang telah teruji selama berabad-abad.
Ketika pembangunan mengabaikan eksistensi mereka, yang hilang bukan hanya ruang hidup, tetapi juga warisan identitas, sejarah, dan relasi spiritual dengan alam.
Kebijakan pembangunan juga perlu dipisahkan dari narasi yang menyederhanakan Papua sebagai wilayah “tertinggal” yang harus “dimodernisasi.” Pandangan seperti ini dapat melanggengkan relasi kuasa yang timpang dan menciptakan justifikasi terhadap praktik-praktik ekstraktif.
Untuk itu, dibutuhkan pembacaan ulang atas sejarah kolonialisme dan cara-cara baru dalam merancang pembangunan yang tidak sekadar mengejar pertumbuhan, tetapi juga pemulihan relasi sosial dan ekologis yang adil.
Institusi negara memiliki peran penting dalam membangun tata kelola sumber daya alam yang demokratis, transparan, dan berpihak pada komunitas lokal. Pemerintah daerah perlu diperkuat kapasitasnya agar tidak hanya menjadi pelaksana proyek nasional, tetapi juga mampu menjadi penyeimbang kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
Demikian pula, lembaga-lembaga pengawasan lingkungan dan hak asasi manusia harus diberdayakan untuk menjamin bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan kelompok rentan.
Akhirnya, transformasi sosial-ekologis di Papua perlu dilihat bukan sebagai akibat sampingan dari pembangunan, melainkan sebagai bagian integral dari proyek pembangunan itu sendiri.
Jika tidak dikelola dengan hati-hati, proses transformasi ini justru dapat memperdalam ketimpangan dan memperlebar jarak antara tujuan pembangunan nasional dengan realitas kehidupan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, keberlanjutan di Papua tidak dapat dicapai hanya melalui pendekatan teknokratik, tetapi harus dimulai dari komitmen untuk membangun keadilan, pengakuan, dan partisipasi yang sejati.