Oleh Demianus Kalakmabin
Pemerhati Ekosob Pegunungan Bintang
UPAYA menyejahterakan warga negara, termasuk di Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, menjadi tanggung jawab negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Geliat kehidupan sosial ekonomi di tanah Papua umumnya dan Kabupaten Pegunungan Bintang khususnya, geliat pertumbuhan ekonomi Oksibil, kota Kabupaten Pegunungan belum membawa perubahan ekonomi warga lokal signifikan. Aktivitas sosial ekonomi warga di jantung Oksibil belum menampakkan wajah menggembirakan.
Sejak diberlakukan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) jilid pertama hingga memasuki jilid kedua keberpihakan pemerintah kabupaten belum nampak program (policy) yang bersifat khusus (afirmatif) bagi warga asli berambut kering, kulit hitam.
Kebijakan tersebut terutama urusan pemberdayaan (empowering), perlindungan (protecting), peningkatan mutu (enhancement) pembinaan dan pelatihan (training skill), pengembangan ilmu pengetahuan (development knowledge) bahkan pendampingan. Faktanya, geliat sosial ekonomi di Pegunungan Bintang terpaut jauh dengan usia otsus Papua jilid 1 hingga memasuku jilid dua.
Pertanyaan retoris
Pertanyaan retoris muncul. Pertama, kapan dan kepada siapa kebijakan dan program di tingkat implementasi dimulai dan diarahkan agar ekonomi warga, terutama masyarakat lokal tumbuh dan berkembang?
Bagaimana pula perhatian pemangku kepentingan lokall memperhatikan ekonomi warga asli Pegunungan Bintang bersaing di hadapan warga non-asli yang memiliki pengetahuan lebih dan skill mumpuni?
Pemerintah dan warga lokal tahu, Pegunungan Bintang mempunyai aneka tantangan multi dimensi. Misalnya, kualitas SDM rendah serta pengetahuan dan pengalaman di bidang ekonomi masih minim.
Mindset warga berwirausaha masih bersandar pada kearifan rakyat. Peredaran uang tingkat warga minim dan diperparah harga pasar melambung tinggi.
Apalagi, akses penerbangan udara, ketersediaan fasilitas ekonomi yang belum memadai, kondisi geografis, dan lain-lain masih jadi faktor dominan lambannya usaha-usahan ekonomi produktif di kalangan orang asli.
Oleh karena itu, tentu bukan alasan pembenar untuk tidak menggerakkan ekonomi warga lokal seturut perintah UU Otsus di atas tanah orang Ok-Me-min.
Pemangku kepentingan di Pegunungan Bintang setiap berganti rezim lebih fokus pada program jangka panjang seperti investasi SDM atau mempromosikan potensi sumber daya alam (SDA).
Bahkan mengejar pembangunan ruas jalan Oksibil-Boven Digoel atau Oksibil-Jayapura demi meretas isolasi dan menekan harga secara ekonomis di Oksibil. Tapi endinya, berbiaya mahal dan tidak menguntungkan rakyat.
Kedua, nilai plus pembangunan yang digenjot pemerintah selama ini menguntungkan siapa? Apakah pendatang yang hanya datang kumpul pundi-pundi atau masyarakat asli pemilik tanah yang datang dari kampung beli Supermi 1 bungkus dengan harga Rp 10 ribu?
Siapa yang memompa semangat Pemda sehingga mereka perjuangkan sesuatu yang tidak memberi dampak yang bernilai plus bagi orang asli Pegunungan Bintang?
Kondisi sosial ekonomi sebagai suatu fenomena klasik yang disaksikan saat ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa. Di masa akan datang ada persoalan besar yang akan dihadapi warga asli Pegunungan Bintang.
Mayoritas masyarakat asli akan menjadi penonton dibanding sebagai pelaku ekonomi. Bukan tidak mungkin, kelompok jambret, kasus pencurian, sex bebas, perilaku mengkonsumsi minuman keras (miras) dan kasus HIV/AIDS akan meningkat.
Tak hanya itu, Kasus pemalangan jalan, transaksi obat-obatan terlarang seperti ganja, kokain, obat-obatan bakal menjamur. Angka kematian bertambah, ibu-ibu usia produktif berkurang, praktik berbagai jenis judi meningkat tanpa memandang usia, dan masih banyak lagi.
Bika kita saksikan berbagai persoalan di atas terjadi dan tumbuh subur di tengah masyarakat, hal akibat tuntutan ekonomi. Bila semua itu tejadi, maka itulah ‘dosa’ rezim yang berkuasa sebelumnya.
Ketiga, hingga kini, Oksibil menjadi lahan subur para pebisnis orang pendatang yang notabenenya bukan pemilik tanah dan leluhur Pegunungan Bintang. Kata pemberdayaan dan ekonomi mandiri yang digaungkan pemangku kepentingan hanyalah “slogan manis” di bibir. Lalu kapan berdayakan masyarakat pribumi?
Lalu, apa program yang cocok untuk melindungi, memproteksi masyarakat asli agar berusaha mempertahankan kedaulatan ekonomi? Kapan memulainya dan oleh siapa?
Bila warga asli bawa proposal bantuan dana untuk beli beras 1 karung atau untuk bayar SPP tak perlu ditolak sebab Pemda) tidak tahu menyiapkan program pemberdayaan sesuai perintah UU Otsus Papua.
Tawaran solusi
Fakta membuktikan, selama ini lebih dari 100 flight maskapai yang keluar-masuk Pegunungan Bintang melalui Oksibil. Namun, tidak satu pun flight masakapai yang berisi orang asli Pegunungan Bintang sejak kabupaten di tanah Aplim Apom berdiri tahun 2003.
Oleh karena itu, berikut adalah sejumlah tawaran solusi guna mengembangkan dan memberdayakan masyarakat asli di sektor ekonomi. Pertama, Pemda Pegunungan Bintang perlu membangun Balai Latihan Kerja (BLK) atau sejenisnya untuk melatih ketrampilan dan mengorganisir kelompok UMKM masyarakat.
Kedua, setelah membangun BLK diserahkan kepada pihak ketiga menjadi pengelolanya. Ketiga, merekrut masyarakat asli dan membuat kelompok UMKM kemudian memberikan pelatihan soft skill dan hard skill.
Keempat, Pemda bertanggungjawab menyiapkan modal sesuai kebutuhan kelompok UMKM masing-masing bidang usaha. Kelima, Pemda berperan mengawasi dan menerima laporan pihak ketiga selaku pengelola.
Keenam, warga dari 34 distrik diberi peluang membuka pendaftaran per kelompok UMKM dan menentukan bidang usaha, baik pengembangan ekonomi lokal yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Ketujuh, pemberdayaan, pengembangan, pengawasan, pelatihan, pendampingan dan pembinaan terus berlanjut secara terstruktur dan permanen dari satu kelompok kepada kelompok lainya hingga ekonomi mandiri tumbuh dan ekonomi kreatif diwujudkan secara nyata dan merata.
Catatan ini sebagai bentuk tanggungjawab sekaligus bagian kepedulian melihat situasi dan kondisi sosial ekonomi terkini masyarakat asli di Oksibil khususnya dan Pegunungan Bintang umumnya yang semakin memprihatinkan.