Panitia Dinilai Diskriminatif Terhadap Finalis Miss Indonesia 2025 Asal Tanah Papua Merince Kogoya - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Panitia Dinilai Diskriminatif Terhadap Finalis Miss Indonesia 2025 Asal Tanah Papua Merince Kogoya

Miss Papua Pegunungan Merince Kogoya yang dipulangkan Panitia Miss Indonesia 2025 karena diduga jejak digital Merince diketahui dalam platform media sosial Facebook/IG yang berpose memegang bendera Israel atau berlatar bendera Israel. Foto: Istimewa

Loading

KARUBAGA, ODIYAIWUU.com — Keputusan Panitia Finalis Miss Indonesia 2025 memulangkan Miss Papua Pegunungan Merince Kogoya dinilai tokoh masyarakat tanah Papua dari Provinsi Papua Pegunungan sangat diskriminatif. 

Pihak panitia memulangkan Merince Kogoya dan mencoret dirinya dari kompetisi ajang kecantikan tersebut menyusul unggahan videonya yang dinilai pro zionis Israel viral di jagat maya. 

“Saudara dan saudari, satu lagi perlakuan tidak adil dan diskriminatif dialami Miss Papua Pegunungan Merince Kogoya di ajang Miss Indonesia 2025. Merince Kogoya dieliminasi, diusir, dipulangkan panitia Miss Indonesia 2025,” ujar tokoh masyarakat Papua Pegunungan Samuel Kogoya dari Karubaga, kota Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan, Minggu (29/6).

Langkah panitia yang dinilai diskriminatif bermula karena jejak digital Merince Kogoya diketahui dalam platform media sosial Facebook/IG yang tengah berpose memegang bendera Israel atau berlatar bendera Israel. dan dieliminasi oleh panitia. 

Panitia beralasan, keputusan mengeliminasi Merince karena mendapat sorotan dari netizen media sosial (medsos) sehingga ia dipulangkan ke provinsi asal karena dianggap sebagai pendukung Israel.

“Saya berharap agar masyarakat tanah Papua, terutama dari Papua Pegunungan secara serempak memposting perlakuan diskriminatif, tidak adil panitia di setiap platform medsos mulai (Minggu, 29/6) malam ini, baik melalui Facebook, Instagram, WhatsApp Group, dan Tiktok agar mengedukasi publik Indonesia,” kata Samuel lebih lanjut.

Samuel menegaskan, Panitia Miss Indonesia 2025 sangat diskriminasi terhadap hak-hak generasi muda Papua untuk berkembang, berinovasi, dan bersaing di tingkat nasional. Seharusnya, lanjut Samuel, publik Indonesia harus adil melihat permasalahanya. 

“Bukan malah merugikan peserta yang merupakan generasi muda Indonesia asal tanah Papua yang punya niat berkembang dan berprestasi mengharumkan nama bangsa dan negara. Indonesia bukan negara Palestina atau Israel. Kami mendesak Panitia Miss Indonesia 2025 segera mengembalikan Merince Kogoya mengikuti seleksi lanjutan.” ujar Samuel.

Samuel mengajak masyarakat Indonesia, terutama dari tanah Papua menyerukan bersama agar perlakuan diskriminatif terhadap peserta dari tanah Papua tidak terjadi. Protes melalui platform media sosial perlu dilakukan secara massal.

“Protes ini menjadi awal yang baik bagi generasi muda tanah Papua tidak mendapat lagi perlakuan diskriminatif dalam bentuk apapun. Generasi muda dari bumi Cendrawasih juga memiliki kesempatan yang sama mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia,” ujar Samuel.

“Mari kita menyerukan secara bersama-sama ketidakadilan yang menimpa generasi emas tanah Papua dari Papua Pegunungan. Save Miss Papua Pegunungan Merince Kogoya, salah seorang generasi cerdas tanah Papua,” kata Samuel lebih lanjut.

Ketua Analisis Papua Strategis (APS) Papua Pegunungan Sonni Lokobal menyampaikan keprihatinan mendalam atas perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang menimpa Merince Kogoya. Padahal, Merince Kogoya tengah membawa harapan dan martabat tanah Papua di panggung nasional Miss Indonesia 2025.

“Miss Papua Pegunungan Merince Kogoya mendapat perlakuan diskriminatif lalu didiskualifikasi hanya karena ditemukan gambar simbol-simbol yang dikaitkan dengan Israel di akun Instagram pribadinya. Merince dicap sebagai pendukung zionis dan dikeluarkan dari ajang kompetisi. Ini bukan hanya penghinaan terhadap Merince secara pribadi, tetapi juga pelecehan terhadap martabat orang asli Papua secara kolektif,” ujar Lokobal dari Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Minggu (29/6).

Menurut Lokobal, peristiwa ini mencerminkan wajah lain dari fanatisme semu yang dibalut agama dan bertindak sebagai palu penghakiman sepihak. Sikap seperti ini justru menjadi tameng untuk menyembunyikan intoleransi struktural dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua.

“Apalagi ketika orang Papua menunjukkan keunggulan dan prestasi di tingkat nasional bahkan internasional. Kita belum lupa bagaimana Septinus George Saa, ilmuwan muda asal Papua yang mengharumkan nama Indonesia melalui prestasi dunia dalam bidang fisika, juga dibiarkan begitu saja tanpa perhatian, keberpihakan, dan tanpa pemberdayaan serius. Bangsa ini hanya bangga pada saat ada kamera dan panggung, tetapi abai ketika anak Papua butuh sistem yang berpihak,” kata Lokobal tegas.

Lokobal menambahkan, aneka fakta seperti ini menunjukkan satu hal bahwa ada sistem yang tidak rela melihat banyak putra-putri asli tanah Papua mau maju. Ketika orang asli Papua membela hak atas tanah, sumber daya alam atau bersuara atas penindasan dan pelanggaran HAM, justru senjata yang jadi jawaban. Bahkan disingkirkan, dicurigai, dan dibungkam di tanah sendiri.

“Indonesia hari ini adalah Indonesia yang digerogoti oleh kaum fanatisme semu. Mereka berteriak tentang keberagaman tapi tak kuasa menerima perbedaan. Mereka bicara toleransi tapi diam saat diskriminasi terjadi. Mereka bangga mengusung Bhinneka Tunggal Ika tetapi lupa bahwa Papua juga bagian dari itu,” kata Lokobal.

Ia juga menegaskan, masa depan tanah Papua tidak bisa sekadar didefinisikan dalam cara pandang Jakarta. Benua besar itu (tanah Papua) butuh ruang yang setara, bukan sisa ruang. Tanah Papua butuh pengakuan sejati, bukan sekadar slogan kosong. 

“Selama perlakuan seperti ini masih terjadi, tanah Papua tidak sedang berjalan bersama, Papua sedang dilukai diam-diam. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia yang masih menjunjung kemanusiaan dan keadilan agar melihat Papua dengan nurani, bukan stigma. Dengar suara kami sebagai sesama anak bangsa, bukan sebagai ancaman,” katanya.

Pihaknya juga mengingatkan kepada negara agar menghentikan cara-cara primitif dalam menyikapi ekspresi dan prestasi orang asli Papua. “Cinta tidak bisa dipaksa dan kepercayaan tidak bisa dibangun di atas diskriminasi. Salam hormat,” ujar Lokonal. (*)

Tinggalkan Komentar Anda :