Guru Besar Universitas Padjadjaran I Gde Astawa Sebut Orang Papua Tidak Dianggap Sebagai Manusia - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Guru Besar Universitas Padjadjaran I Gde Astawa Sebut Orang Papua Tidak Dianggap Sebagai Manusia

Para pembicara masing-masing Prof Dr I Gde Pantja Astawa, SH, MH (kiri), Dr Muhammad Rullyandi, SH, MH (tengah), dan Agus Widjajanto, SH, MH (kanan) saat tampil dalam Seminar Nasional bertema Mengembalikan Marwah MPR Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat di Hotel Marcopolo, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/2). Foto: Istimewa

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Prof Dr I Gde Pantja Astawa, SH, MH mengatakan, orang Papua lebih menghargai kepala daerah putra-putri asli Papua karena dianggap sebagai hero, pahlawan bagi masyarakat bumi Cenderawasih.

Hal itu diungkapkan Gde Pantja Astawa, guru besar asal Bali ia dengar saat bolak balik dari Bandung ke Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai dosen kerja sama Universitas Padjajaran dan Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, 

“Saat saya bolak balik ke Papua dan Papua Barat sebagai pengajar Program Doktor kerja sama Unpad dan Uncen. Saya dengar omongan tokoh-tokoh Papua, mereka (mengatakan) orang Papua merasa tidak dianggap sebagai manusia,” ujar I Gde Pantja Astawa saat berlangsung Seminar Nasional bertema Mengembalikan Marwah MPR Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat di Hotel Marcopolo, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/2).

Menurut Astawa, orang Papua harus dirangkul dengan mengakomodir kepentingan mereka melalui utusan golongan di MPR. Dengan demikian, lanjut Astawa, orang Papua sendiri berbicara tentang persoalannya di level nasional untuk ikut merumuskan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Seminar menghadirkan juga pembicara lain yaitu Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR) Dr Syarifudin Suding, SH, MH (tak sempat hadir). dosen Hukum Tata Negara Dr Muhammad Rullyandi, SH, MH, dan praktisi hukum dan pemerhati bangsa Agus Widjajanto, SH, MH.

“Saat diskusi dengan tokoh-tokoh Papua, mereka memiliki kegelisahan yang sama. Salah satu kegelisahan itu adalah orang Papua lebih menghargai kepala daerah yang dianggap hero, pahlawan. Mereka merasa tidak dihargai sebagai manusia,” kata I Gde Astawa lebih lanjut.

Menurut Astawa, logika hukum dalam tema seminar tersebut yaitu ada masalah mendasar yang muncul terkait keberadaan, wewenang, dan hubungan kewenangan antara MPR dengan lembaga negara yang lain dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

“Dalam konteks MPR merepresentasikan kedaulatan rakyat timbul pertanyaan MPR mana yang merepresentasikan kedaulatan rakyat? Apakah MPR lama sebelum UUD 1945 diamandemen atau MPR pasca amandemen. MPR sebelum amandemen disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat karena seluruh komponen rakyat baik parpol, utusan daerah dan golongan duduk dan terwakili di MPR,” ujar Astawa.

Astawa mengatakan, parpol melalui kaderna yang dipilih lewat Pemilu duduk sebagai wakil rakyat di DPR. Oleh karena itu, DPR dikatakan sebagai political representation. Sedangkan utusan daerah dan golongan duduk di MPR sehingga MPR dikatakan sebagai functional representation

Menurutnya, pasca amandemen UUD 1945, MPR mengalami perubahan, baik yang berkenan dengan susunan keanggotaan maupun kewenangannya. Hal ini, ujar Astawa, dilatari keinginan membangun bicameral system dalam sistem keterwakilan mencontoh bicameral system Amerika Serikat yaitu anggota House of Representative (DPR) dan Senate

MPR sebagai badan perwakilan dalam struktur kelembagaannya terdiri dari dua lembaga (kamar) yaitu DPR dan DPD. Pasal 2 Ayat  1 UUD 1945 berbunyi, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. 

“Dalam rumusan ketentuan a quo, yang dijadikan unsur adalah anggota (DPR dan DPD). Padahal, dalam bicameral system yang dijadikan unsur adalah lembaga, bukan anggota. Demikian juga yang berkenaan dengan wewenangnya,” ujar Astawa, guru besar kelahiran Bali.

Dalam sistem perwakilan dua kamar wewenang badan perwakilannya dilaksanakan baik oleh lembaga (kamar) yang satu maupun oleh lembaga (kamar) yang lain. Bukan masing-masing lembaga (kamar) memiliki wewenang tersendiri terpisah satu dengan lainnya.

“Hal terakhir ini yang dijumpai dalam sistem perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945 pasca perubahan. Dalam hal ini MPR mempunyai wewenang sendiri. DPR dan DPD juga masing-masing mempunyai wewenang tersendiri sehingga keinginan membangun sistem perwakilan bikameral namun yang terjadi adalah sistem perwakilan tiga kamar, three cameral system,” katanya.

Akibatnya, ujar Astawa, pasca amandemen UUD 1945 MPR mengalami pengurangan wewenang signifikan. MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Saat ini wewenang MPR banyak sebatas mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

“Dilihat dari susunan keanggotaannya sekarang MPR tidak lagi merupakan ‘penjelmaan rakyat’ karena hanya terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai pelembagaan utusan daerah. Sementara itu, utusan golongan atau fungsional seperti kelompok minoritas tidak lagi terwakili dan duduk sebagai anggota MPR,” ujar Astawa.

Rullyandi mengatakan, dalam perkembangannya reformasi menjadi titik pangkal perubahan sistem ketatanegaraan. Muncul pula berbagai pandangan dan perdebatan dalam Sidang Umum MPR Oktober 1999 hingga Sidang Tahunan MPR 2001 terkait pembahasan kedaulatan negara.

Menurutnya, ada lima pokok perdebatan. Pertama, perlunya memperkuat MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kedua, interpretasi rumusan ‘kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR’ yang memunculkan gagasan untuk memberdayakan masing-masing lembaga tinggi negara sehingga kedaulatan didistribusikan tidak hanya ke MPR tetapi juga diberikan ke lembaga-lembaga negara yang lain.

Ketiga, perlunya mempertimbangkan seluruh anggota MPR dipilih melalui Pemilu karena jumlah anggota MPR yang diangkat lebih banyak daripada yang dipilih. Keempat, terkait susunan MPR khususnya keberadaan utusan daerah, utusan golongan, dan TNI-Polri. Kelima, tentang desain kelembagaan MPR apakah MPR terdiri dari satu kamar, dua kamar atau tiga kamar.

“Seiring perjalanan waktu pasca amandemen UUD 1945 diskursus kelembagaan MPR menjadi menarik dan urgen untuk diperbincangkan kembali. Bukan sekadar aspek eksistensi, peran, dan posisinya dalam sistem ketatanegaraan tetapi juga aspek desain kelembagaan dan keterwakilan rakyat dalam kelembagaan MPR,” ujar Rully.

Sedangkan Widjajanto mengatakan, di era reformasi saat ini di mana kebebasan berpendapat dan berbicara, suara adalah suara Tuhan atau vox populi vox Dei bergema di seluruh negeri. Termasuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi mandataris MPR tetapi mandataris seluruh rakyat Indonesia.

“Namun, setelah terpilih dan berkuasa ternyata suara rakyat dianggap alunan musik yang kadang tidak lagi perlu didengarkan dengan segala kebijakan yang diambil oleh mandataris rakyat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan secara hukum tidak perlu dikonsultasikan kepada pemberi mandat (rakyat) yang jumlahnya mencapai 270 juta jiwa satu persatu tetapi cukup kepada anggota DPR dari seluruh partai politik. Sedangkan faktanya, anggota DPR bertanggung jawab kepada partai politiknya,” kata  Widjajanto.

Seminar nasional dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi, praktisi hukum, aktivis mahasiswa, mahasiswa serta kalangan jurnalis, dan masyarakat luas. Seminar tersebut menjadi awal yang baik dalam mendiskusikan bagaimana mengembalikan marwah MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. 

“Atas nama panitia, saya menyampaikan terima kasih atas kehadiran para narasumber yang ahli di bidangnya menyumbangkan pikiran akademik bagaimana mengembalikan marwah MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Saya juga menyampaikan terima kasih atas pikiran-pikiran brilian pembicara dalam diskusi ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para hadirin yang berkenan memenuhi undangan kami dalam diskusi ini,” kata Limalaen Krova dari Yayasan Caritas Merah Putih selalu penyelenggara diskusi. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :