Oleh Jacob J Herin
Mantan Relawan HAM;
Tinggal di Flores
PADA tanggal 20 Juni tahun 1545, Kapten kapal San Juan bernama Inogio Ortiz de Retes berlayar menyusuri pesisir sebuah pulau besar. Ketika berlayar di salah satu muara Sungai Amberno di pantai utara wilayah itu, kapal San Juan berlabuh, sebelum melanjutkan pelayaran menuju Meksiko.
Para penumpang kapal asal Spanyol turun ke darat sampai di kaki pengunungan ketika kembali kekapal Inogio menamakan Pulau itu bernama Nueva Guinea, karena perawakan penduduknya mirip dengan penduduk Guinea di benua Afrika.
Setelah 169 tahun ditemukan pulau itu, Pemerintahan Spanyol menyerahkan Nueva Guinea kepada Pemerintah Kerjaan Belanda pada tahun 1714 berdasarkan persetujuan di Utrecht. Dan selanjutnya Belanda mengambil Papua secara resmi pada tahun 1828. Dari tahun 1828–1963 Papua Barat di bawah pemerintahan Belanda. Sejak tahun 1945–1963 Pemerintahan Belanda telah menyiapkan wilayah Papua Barat menjadi sebuah negara merdeka.
Pemerintah Indonesia mengumumkan maklumat berupa Tiga Komando Rakyat (Trikora) melakukan konfrontasi perang dengan Belanda yang menolak menyerahkan Papua Barat. Akhirnya pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuan di Laut Arafuru antara Angkatan Laut Belanda dengan Indonesia di daerah pantai Barat Papua yang mengakibatkan Admiral Yos Sudarso dan KRI Macan Tutul ditenggelamkan oleh kekuatan Angkatan Laut Belanda.
Kemudian dilanjutkan denganPenentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua sesuai dengan perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 tentang hak penentuan nasib sendiri penduduk Irian Barat dilaksanakan tanggal 14 Juli-2 Agustus melalui sebuah resolusi Nomor 2504 pada tanggal 19 November 1969.
Tidak adil
Sejak saat itulah rakyat Papua mengalami perlakuan tidak adil di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat semakin menderita sejak provinsi itu menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Penangkapan sewenang-wenang dan berbagai tindakan lainnya yang tidak menghormati martabat manusia.
Pelanggaran HAM mencakup pelanggaran hak sipil, kolektif, sosial, dan budaya. Misalnya hak atas pendidikan, berapa banyak buku dan peralatan lain yang tersedia untuk para guru di kampung-kampung. Hak untuk kesehatan, berapa dokter atau perawat yang berkarya di kampung-kampung?
Pada masa itu juga rakyat mengalami diskriminasi pembangunan yang diterapkan pemerintah pusat, mengakibatkan masyarakat Papua menolak kehadiran Pemerintah Indonesia dan berketetapan hati untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paling kurang ada tujuh alasan yang mendorong rakyat memilih melepaskan diri.
Pertama, karena tidak merasa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Perasaan sebagai orang lain dirasakan oleh semua lapisan masyarakat Papua dalam semua aspek, terutama dari segi sosial budaya. Walaupun Bangsa Indonesia terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda, tetapi rakyat Papua merasa bahwa perbedaan mereka adalah perbedaan yang tidak mungkin untuk hidup berdampingan dengan lainnya sebagai suatu bangsa.
Kedua, diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif. Beberapa kebijaksanaan pemerintah pusat dinilai oleh mereka sebagai kebijaksanaan yang tidak adil dan diskriminatif. Misalnya kebijaksanaan tentang pembangunan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal sejak masa Presiden Suharto dan kebijaksanaan Departemen Agama yang diskriminatif, kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat-daerah, khususnya kebijaksanaan fiskal yang diskriminatif.
Ketiga, tidak pernah menikmati sumber kekayaan alam di bumi Papua yang adalah milik rayat Papua. Sebagai kelompok minoritas (secara suku dan agama) mereka berpikir bahwa aset yang mereka sumbangkan kepada bangsa dan negara RI sangat besar (20 persen wilayah daratan beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya), ibarat provinsi yang memberikan saham terbesar kepada Republik ini, tetapi mereka sendiri hidup miskin di atas kekayaan alamnya sendiri.
Keempat, selalu ditindas dan banyak rakyat yang dibunuh bila mereka menuntut hak-hak mereka. Pada waktu-waktu yang lalu, tuntutan rakyat atas hak-hak mereka dalam berbagai bentuk, terutama hak ulayat mereka selalu berhadapan dengan aparat negara (sipil, ABRI) yang sering menggunakan cara-cara kekerasan terhadap warga negara yang sedang menuntut hak-haknya (state violence) dan pada gilirannya mereka kembali menjadi korban pelanggaran HAM
Kelima, menolak proses integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas dasar Pepera. Rakyat Papua merasa bahwa Pepera telah direkayasa Pemerintah Republik Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktik yang berlaku dalam masyarakat internasional.
Keenam, rakyat setempat telah mencetuskan seluruh isi hati dan mempertaruhkan jiwa raga mereka yang tertuang dalam pernyataan politik pada Kongres II Rakyat Papua. Rakyat Papua, akhirnya tiba pada satu kesimpulan bahwa apabila mereka tidak memisahkan diri dari NKRI, maka mereka akan punah dan harta kekayaan alam yang mereka miliki juga akan habis dirampas oleh orang lain. Hal ini sangat mendorong hampir seluruh rakyat Papua untuk tiba pada niat dan tekad bersama, mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Ketuju, mereka akan berjuang terus untuk mencapai kemerdekaan dengan cara yang damai. Mereka juga ingin berjuang dan akan terus berjuang dengan cara-cara yang sopan, tertib, dan damai karena perjuangan untuk mencapai kebenaran dan keadilan bagi bangsa Papua.
Setelah 1963 Presiden Ir Soekarno mengumumkan Papua Barat masuk ke dalam wilayah Indonesia telah membawa masyarakat di wilayah itu masuk ke dalam pergumulan hidup bersama saudara-saudaranya yang berasal dari provinsi-provinsi lain. Pergumulan itu banyak diwarnai selain ketegangan-ketegangan politis juga oleh kecemasan-kecemasan.
Pergumulan ini dapat dikatakan sebagai pergumulan dalam usaha membangun suatu “integritas bersama” yang baru. Integritas bersama yang baru ini harus dibangun bersama waktunya dengan proses transformasi masyarakat akibat dari pembangunan ekonomi yang dengan gencar digalakan oleh pemerintah.
Proses transformasi ditandai dengan menurunnya peranan sektor pertanian, meningkatnya peranan sektor industri serta sektor jasa dan melemahnya eknomi “tukar jasa” karena masuknya ekonomi “uang”. Sektor seperti industri pertambangan, minyak dan gas alam tidak memberikan pemerataan keuntungan bagi masyarakat setempat.
Sektor minyak dan pertambangan emas serta hasil hutan diharapkan menjadi pendapatan wilayah itu sekaligus mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sektor jasa akan didominasi oleh lembaga pemerintah, perdagangan, keuangan, dan parawisata.
Tokoh masyarakat adat Papua dihadapkan pada situasi baru yang berada di luar perhitungannya. Di satu pihak tokoh adat menyadari besarnya kepercayaan yang diberikan mesyarakat Papua kepadanya. Di lain pihak tak banyak pilihan yang bisa diambil tokoh adat guna mencoba menentukan rencana-rencana konkrit pendapingan rakyat yang harus ikut bergumul dalam proses transpormasi ini. Inilah tantangan baru yang membutuhkan pemikiran mendalam untuk bisa menentukan strategi pemecahannya
Tantangan lain yang dihadapi tokoh adat adalah masalah pemerataan yang merupakan penjabaran dari asas “keadilan” yang selalu di tuntut dalam setiap pembangunan masyarakat di dunia. Pembangunan ekonomi di Papua secara keseluruhan telah menunjukkan hasil nyata yang cukup mengembirakan misalnya pendapatan perkapita masyarakat setempat meningkat, tapi jurang pemisah antar kaum pendatang dan penduduk pribumi bagaikan langit dan bumi.
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai sudah cukup tinggi namun tingkat ketertinggalannya dengan provinsi-provinsi lain masih jauh. Partisipasi seluruh masyarakat untuk bisa mengejar ketertinggalan secepatnya diupayahkan oleh pemerintah. Demi mengejar ketertinggalan wilayah Papua telah dibuka lebih lebar. Tokoh adat diharapkan bisa memainkan peranan sebagai “motivator” bagi kepentingan peningkatan partisipasi.
Namun masalahnya adalah seberapa jauh tokoh adat bisa mendapatkan keyakinan dalam dirinya bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai nantinya berkat partisipasi yang meningkat dan berkat keterbukaan Papua itu benar-benar bisa dinikmati oleh masyarakat secara merata.
Hasil pembangunan di wilayah itu terkesan masih kurang bisa dinikmati rakyat secara merata. Terkesan masih adanya “dichotomy” antara pendatang dan penduduk asli. Tokoh adat mungkin akan sulit bisa ikut meyakini berlakunya prinsip-prinsip ekonomi terbuka di mana “mereka yang lebih gesitlah yang bisa menikmati hasil lebih banyak”.
Pembangunan secara keseluruhan di Indonesia sejauh ini banyak dimotori oleh program-program pemerintah. Banyak program pemerintah yang telah dinilai berhasil oleh badan-badan internasional seperti program kesehatan, keluarga berencana dan pemberantasan buta huruf, dan lain-lain.
Program yang telah berhasil di banyak propinsi ini akan juga diterapkan serta dikembangkan di wilayah Papua. Mengingat tingkat pertambahan penduduk Papua kuhusnya petani teladan masih cukup tinggi. Maka program nasional Keluarga Berencana akan digerakkan pula secara intensif di wilayah itu. Masalahnya, sejauh mana tokoh adat bisa mengatasi program-program pemerintah yang berkecenderungan mengejar angka-angka keberhasilan termasuk di bidang yang sangat peka seperti Keluarga Berencana?
Namun masyarakat setempat baru menghadapi masalah-masalah baru di luar dugaan mereka. Selain masalah-masalah internal seperti perkawinan lain agama, pendidikan anak-anak dari pasangan agama lain, dan lain-lain. Masyarakat asli juga dibebani masalah-masalah eksternal seperti penciptaan kerukunan antar agama, dan pemindahan-pemindahan penduduk dari rahim kebudayaan masyarakat asli Papua. Pendekatan penduduk asli terpaksa harus banyak belajar tentang bagaimana menangani masalah-masalah sara. Mereka menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan pelanggaran martabat manusia.
Perihal dialog
Tentang keadaan Papua dewasa ini tokoh adat merasa cemas, prihatin dan khawatir dan nyaris harapan. Kecemasan, kekhawatiran dan keprihatinan dewasa ini adalah kecemasan, kekhawatiran, dan keprihatinan terhadap terutama manusia Papua yang masih hidup di bawah perasaan ketakutan akibat dari kekerasan yang dilembagakan, pengawasan yang melampaui batas-batas kemanunsiaan yang dilakukan oleh lembaga–lembaga kekerasan terhadap hampir seluruh aktivitas manusia Papua.
Diformalkannya lembaga-lembaga ektra yudisial yang membawa akibat pada extra yudicial killing, extra judicial punishment, penyiksaan, penangkapan–penangkapan sewenang–wenang dan penahanan ilegal terutama oleh institusi extra judicial, penyiksaan. Situasi semacam inilah hanya akan menambah daftar jumlah barisan sakit hati.
Tokoh adat juga merasa cemas, khawatir dan prihatin terhadap kondisi-kondisi di bidang identitas etnis agama dan kultural yang semakin hari semakin memburuk. Pemerintah memiliki banyak sumber dana, sumber daya manusia dan komandan militer yang terlatih. Lalu mengapa perang-perang terus terjadi diwilayah ini sejak tahun 1962 sampai 2012 dan tidak mampu mengatasinya.
Ini kesalahan siapa? Mungkin karena ketidakmapuan dan kebodohan kita ketika masuk ke wilayah Papua tidak mempelajari sistem hukum, adat istiadat, dan kebudayaan rakyat yang dapat memberikan manfaat bagi kita dalam semua aspek pembangunan.
Posisi para pemimpinan tokoh adat Papua dewasa ini pada pilihan apapun adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Papua. Pada situasi ini, pilihan–pilihan yang dianjurkan adalah pilihan untuk melakukan referendum. Pilihan terhadap referendum adalah pilihan yang demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Papua.
Namun demikian, jika pilihan terhadap referendum menghadapi berbagai persoalan dalam pelaksanaannya, termasuk kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya pertumpahan darah dan perpecahan yang mendasar di kalangan rakyat Papua sendiri maka pilihan lainya dianjurkan kepada pemerintah Indonesia memberikan wilayah Papua sebagai satu wilayah federasi.
Federasi untuk tetap mempertahankan Papua berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat telah membuat perpecahan di kalangan rakyat Papua. Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat dianjurkan pemerintah supaya dengan rendah hati memulai serangkaian dialog dengan kelompok- kelompok politik di Papua.
Meredusir kekuatan bersenjata yang ada, mengurangi jumlah tentara, meredusir kewenangan ekstra yudicial lembaga–lembaga ekstra yudicial yang menakuti rakyat Papua. Sangat diharapkan pemerintah dengan sungguh-sungguh bekerjasama dengan kelompok-kelompok resistensi untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog, supaya tercapailah penyelesaian bagi semua pihak.
Pemerintah perlu terus menjamin rakyat Papua hidup dalam suatu suasana kebebasan. Di mana mereka bisa memberikan pendapat mereka dan berserikat secara bebas tanpa rasa takut. Berpendapat bahwa hati nurani manusia harus dihormati dan memberikan suatu informasi yang benar tentang kejadian–kejadian umum secara jujur.
Kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diharapkan bersedia memfasilitasi dialog, antara kelompok resistensi rakyat Papua dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan semua persoalan dengan terhormat, adil, dan mencapai perdamaian sejati.