NABIRE, ODIYAIWUU.com — Delegatus Keuskupan Timika mengajak berbagai elemen umat Katolik di Keuskupan Timika dan publik Papua Tengah melakukan konsolidasi bersama guna memetakan persoalan menyusul kisruh seleksi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) periode 2023-2028, khusus Kelompok Kerja (Pokja) Agama Katolik di MRP Papua Tengah, wadah kultural sesuai perintah UU Otsus Papua.
Kuria Keuskupan Timika menempuh langkah dengan mengeluarkan surat pembekuan rekomendasi kepada beberapa umat Katolik yang mendaftar sebagai calon anggota MRP Pokja Agama Papua Tengah. Surat pembekuan itu sebagai bentuk protes atas pembagian kuota kursi yang tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran.
Pasalnya, dalam Peraturan Gubernur Provinsi Papua Tengah Nomor 9 Tahun 2023 Tentang Pembentukan dan Jumlah Keanggotaan MRP Pasal 23 yang mengatur tentang lembaga keagamaan, terutama untuk enam agama resmi, sengaja tidak dimasukkan sehingga MRP Pokja agama disamakan dengan Gereja atau denominasi
“Dugaan saya publik melihat atau berpikir lembaga keagamaan itu sama dengan gereja. Saya menilai ada kekeliruan dan kesalahan dalam menerjemakan Pergub dan Perdasi. Kalau mau dilihat, sejarah penginjilan Gereja Katolik di wilayah ini sudah berlangsung 129 tahun. Anehnya, keberadaanya saat ini dalam proses seleksi anggota MRP Papua Tengah tidak diakui,” ujar Pastor Delegatus Keuskupan Timika RD Juvensius A Tekege Pr saat berlangsung webinar Mengawal Persoalan Kursi Pojka Agama Katolik Provinsi Papua Tengah, Selasa (18/7).
Diskusi yang diselenggarakan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, selain menghadirkan Pastor Tekege juga Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma, Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia RD Hans Jeharut Pr, dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Talenta Keadilan Papua Richardani Nawipa, SH dipandu jurnalis Tabloid Jubi Hengky Yeimo.
Menurut Gusma, dalam kisruh seleksi anggota MRP Papua Tengah semua pihak perlu terus-menerus mempejuangkan hak-hak umat Katolik di MRP Papua Tengah. Semua pihak dibutuhkan kerjasama guna menyuarakan serta mengawal proses seleksi yang diduga abnoral dan sarat kepentingan tersebut hingga mendapat atensi pemangku kebijakan di Jakarta sehingga segera ada solusi, jalan keluarnya.
“Dalam kisruh seleksi anggota MRP Papua Tengah khususnya Pokja Agama Katolik dibutuhkan komitmen, bersama semua elemen. Apapun yang kita perjuangkan perlu ditopang kekompakan agar tetap menyuarakan dan mengawal persoalan ini. Pemuda Katolik siap mengawal di tingkap pusat,” ujar Gusma.
Pastor Tekege juga merespon Obet, peserta webinar yang mempertanyakan sejauh ini belum ada tangapan dari pihak terkait, terutama Pemerintah Provinsi Papua dan pihak Pansel MRP Papua Tengah. Proses seleksi terus berjalan dan ditengarai dua oknum dari unsur agama Katolik bakal dipaksakan untuk ditetapkan Mendagri Tito Karnavian.
“Apabila keduanya mengatasnamakan unsur agama Katolik, jelas kami tetap merujuk Surat Pembekuan Keuskupan Timika yang kami kirim kepada Penjabat Gubernur Papua Tengah. Jika kemudian dipaksakan, kami akan meminta pertanggungjawaban dan menempuh jalur hukum,” ujar Pastor Yuvensius.
“Keuskupan Timika tidak tidak mengejar jabatan. Tetapi soal ini menjadi catatan penting ihwal pendidikan hukum bagi umat Katolik di masa akan datang. Terlepas dari itu, Gereja Katolik tetap komitmen atas keputusan yang telah diambil sebelumnya,” katanya.
Meski demikian, Pastor Yuvensius, imam Diosesan Timika menegaskan Gereja Katolik Timika tetap menjadi mitra pemerintah, mendukung semua kebijakan dari pusat hingga kampung. Namun, dalam urusan wakil Katolik dalam keanggotan MRP Papua Tengah Gereja Katolik memandang tidak dihiraukan.
Pastor Hans melihat ada indikasi cacat hukum secara prosedural dan adminstrasi yang dilakukan Pansel MRP Papua Tengah. Untuk itu, menurutnya, proses advokasi litigasi yang telah dilakukan melalui kawan-kawan di LBH Talenta Papua diharapkan terus dikawal bersama.
“Jangan sampai ada yang menempuh jalan sendiri tanpa mengindahkan apa yang telah diputuskan Keuskupan Timika. Kami di KWI juga tetap mendorong kepada pihak terkait di pusat. Kita butuh konsolidasi serius. Jangan anggap remeh pentingnya kosolidasi dari tingkat atas hingga pengambil kebijakan di derah. Soal advokasi litigasi dan non litigasi hingga menempu jalur hukum, sudah pasti kami KWI juga dorong,” ujar Pastor Hans.
Sedangkan Nawipa melihat ada kelemahan dan kerancuan dalam proses seleksi anggota MRP Papua Tengah khususnya perwakilan unsur agama Katolik. Artinya ada cacat administrasi yang dilakukan Pansel.
Cacat administrasi itu, ujar Nawipa, karena agama Katolik tidak masuk dalam lembaga agama, namun dianggap bagian dari denominasi agama lain. Padahal delapan kabupaten di Pegunungan Tengah Gereja Katolik sudah ada. Pansel tidak pernah mengakui nota keberatan.
“Apabila nota keberatan itu tidak diakui, maka itu merupakan pelanggaran terhadap agama Katolik. Kami tetap komintmen mendorong proses hukum mulai dari litigasi yang sedang berjalan hingga tahap selanjutnya,” kata Nawipa. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)