Dari Pangan ke Politik - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Dari Pangan ke Politik

Yakobus Dumupa, alumni Program Magister Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta. Foto: Ansel Deri/Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh Yakobus Dumupa

Alumni Program Magister Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

DALAM perjalanan dari Nabire ke Dogiyai perbincangan saya dengan salah satu kepala dinas adalah tentang makanan. Ini bukan soal nanti di Kilometer 100, Distrik Siriwo, Nabire, tempat biasanya pelintas istirahat sejenak, mau makan apa. 

Bukan soal itu. Karena tidak banyak waktu, kami memutuskan tidak berhenti. Kami membicarakan perihal memberi panggung pada hasil kebun masyarakat di Kabupaten Dogiyai pada acara pemerintah. 

Awalnya ada seorang pejabat selalu membawa makanan sendiri setiap acara-acara dinas. Sudah bertahun-tahun pejabat ini tidak makan nasi. Ia makan ubi jalar. Suatu kali ia menyampaikan pandangan kritis. Menurutnya pemerintah perlu mendorong pangan lokal, produksi petani-petani setempat, untuk menjadi pangan utama. 

Akan menjadi sebuah gerakan yang bermakna ketika masyarakat memproduksi pangan mereka sendiri. Komunitas itu menjadi tidak bergantung pada pasokan pangan dari tempat lain. Mereka tidak perlu membelanjakan uang untuk membeli pangan ke luar. 

Secara mandiri

Ketika masyarakat memproduksi dan mengelola pangan secara mandiri, mereka kecil sekali kemungkinan mengalami krisis pangan. Mereka dapat menghitung produksi pangan tiap-tiap musim. 

Mereka dapat juga mengecek cadangan pangan di gudang. Juga dapat menyalurkan pangan ke wilayah-wilayah yang gagal panen. Mereka dapat mengantisipasi ancaman kelaparan secara lebih hebat. 

Tidak itu saja. Memproduksi pangan sendiri membuat masyarakat mencukupi kebutuhan gizi mereka. Kecukupan gizi sangat penting untuk melahirkan generasi berikut yang sehat dan kuat. Mereka akan memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap penyakit-penyakit. 

Secara kultural, masyarakat yang memproduksi pangan swadaya lebih berdaya tahan. Mereka akan terus mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan tradisi seputar pangan. 

Nilai-nilai kultural mereka akan lebih lestari karena terwariskan secara organik kepada generasi berikutnya. Budidaya pangan pada dasarnya sekaligus praktek merawat nilai-nilai budaya. 

Mereka terus melakukan ritus-ritus tentang pangan: masa pratanam, masa tanam, merawat, sampai panen dan seterusnya. Kebiasaan-kebiasaan itu juga berhubungan dengan pengetahuan lokal masyarakat. 

Komunitas akan semakin kokoh ketika mereka terus-menerus mengembangkan pengetahuan yang langsung berhubungan dengan pertahanan eksistensi komunitas mereka. 

Bahkan apabila produksi melimpah dan cadangan pangan masih lebih dari cukup sampai dengan musim panen berikutnya, masyarakat dapat menjual pangan mereka. Baik dijual sebagai bahan mentah maupun dijual sebagai komoditas yang sudah diolah. 

Pengolahan membutuhkan teknologi. Komunitas setempat dapat merancang teknologi pengolahan secara mandiri atau belajar pada komunitas yang lain. 

Penguasaan teknologi berimbas pada kemampuan memproduksi pangan, mengolah pangan, dan seterusnya; termasuk sampai kepada diplomasi pangan. Kecakapan menguasai teknologi ini langsung berhubungan dengan daya bertahan hidup sebuah komunitas. 

Intinya, masyarakat yang mampu menghasilkan pangan mereka sendiri memiliki kedigdayaan, memiliki kedaulatan, dan memiliki daya tahan, juga memiliki derajat atau martabat di hadapan komunitas sekitarnya. 

Saya pikir bukan hanya teknologi yang berkembang. Budidaya pangan berkelanjutan ini pun akan memunculkan sistem sosial yang lebih kompleks. Anggota komunitas masyarakat akan mengambil peran yang beragam: mulai pembibitan sampai dengan panen. 

Mulai dari pengolahan, pengemasan, sampai pemasaran. Juga akan muncul relasi-relasi sosial yang baru seperti pemilik usaha dengan para pekerjanya. Relasi ini, karena gampang terjadi konflik, harus diatur. Demikian juga hubungan perdagangan dengan komunitas-komunitas di sekitarnya sangat rentan menjadi sengketa. 

Lalu akan tumbuh juga organisasi-organisasi yang menaungi individu-individu sekaligus berjuang untuk kepentingan masing-masing. Tidak akan terhindarkan benturan-benturan kepentingan. 

Komunitas masyarakat akan mengorganisasi diri mereka ke dalam peran-peran yang dibagi. Mereka akan menjadi semakin terhubung satu dengan yang lain. Untuk dapat menjalankan organisasi ini, mereka akan mencari pemimpin-pemimpin. 

Tanggung jawabnya bukan hanya untuk mengelola proses produksi pangan, tetapi juga untuk mengelola konflik-konflik yang muncul di dalam komunitas. Konflik ini dapat muncul salah satunya karena faktor pembagian hasil yang dipandang tidak adil. 

Ketidakadilan meresahkan semuanya. Termasuk mengancam soliditas masyarakat, mengancam keberlanjutan hidup bersama. Ini dirasakan sebagai masalah yang harus dipecahkan. Komunitas itu akan membuat hukum-hukum untuk mengantisipasi ketidakadilan. 

Tidak saja ancaman dari dalam yang muncul. Mereka juga akan bertemu kendala-kendala kesuburan tanah yang berkurang, iklim yang kurang bersahabat, munculnya penyakit-penyakit, kebutuhan energi yang meningkat, migrasi penduduk dari luar wilayah, dan lain-lain. 

Itu berarti sebagai komunitas mereka harus semakin berdaya; memiliki kemampuan berhadapan dengan aneka tantangan yang sudah muncul maupun yang diantisipasi; memiliki kemampuan untuk memperkuat dirinya. 

Persoalan pangan tidak terbatas pada upaya memenuhi kebutuhan badan, tetapi menjangkau sampai ke urusan mengelola hidup bersama.

Tinggalkan Komentar Anda :