Oleh Velix Wanggai
Penjabat Gubernur Provinsi Papua Pegunungan
RENUNGAN di atas langit Laut Jawa Pukul 18.50 WIB, Jumat, 6 September 2024 dalam perjalanan penerbangan Jayapura – Jakarta. Papua begitu berarti untuk Indonesia.
Seperti judul lagu karya Pance Pondaag, Kau Begitu Berarti. Bahkan, saat artis Cinta Laura berada di Kurulu, Wamena, pada 8 Maret 2024, ia mengatakan, Indonesia berarti karena ada Papua. Makna berarti ini tentu terasa dalam perjalanan panjang hubungan Jakarta – Papua sejak awal Indonesia merdeka hingga dewasa ini.
Sepanjang perjalanan 79 tahun ini hubungan pusat – daerah di Pulau Papua mengandung sejuta cerita. Papua adalah Indonesia mini yang hidup rasa toleransi dalam keberagaman.
Ada cerita yang kompleks, rumit, unik, namun ada pula, cerita yang memuat sejuta harapan untuk tumbuh dan berubah seperti daerah-daerah lain yang telah maju lainnya di Indonesia.
Di ujung pelosok nusantara ada konteks sosial, budaya, politik lokal dan geostrategis global. Ada rasa keinginan masyarakat yang begitu tinggi untuk aktualisasi identitas lokal dalam sentuhan payung kebijakan nasional. Ada rasa ke-Papua-an dalam setiap kebijakan teknokratik, begitu bahasa kebijakannya.
Dari jauh, seperti dari Jakarta, melihat Papua dengan berbagai sudut pandang. Adalah sebuah kewajaran para pembuat kebijakan negara di pusat harus merumuskan dengan tepat, baik, dan sistematik untuk semua daerah.
Persepsi pembuat kebijakan dengan berbagai rekam jejak (track record), dengan berbagai teori, keilmuan di bangku kuliah, pengalaman lesson learned yang terjadi di daerah lain, bahkan mega-trend global menjadi patokan dalam membuat kebijakan untuk Papua.
Itu tidak salah, bahkan haruslah begitu ketika sebuah policy-making proses untuk daerah yang masih tertinggal di Indonesia. Ada pertanyaan yang biasa ditemui di dunia ilmu kebijakan, sebenarnya siapa yang salah dalam praktek kebijakan.
Apakah kesalahan terjadi di tangan para pembuat kebijakan di level atas? Ataukah kesalahan terjadi di level pelaksana kebijakan di level menengah? Ataukah kesalahan itu hadir di level street-level bureaucrat di tingkat kampung atau kecamatan (distrik).
Bahkan, apakah kesalahan itu ditujukan ke masyarakat atau publik yang tidak siap atau bahkan tidak adaptasi atas perubahan pola dan ilmu kebijakan terkini? Tentu, tak mudah untuk menjawab itu.
Perjalanan kebijakan untuk Papua dari waktu ke waktu, sejak awal Indonesia merdeka, era Orde Lama, era Orde Baru, awal Orde Reformasi hingga saat ini, jika disebut era otonomi khusus mengandung begitu banyak cerita heroik, kompleksitas, dan keunikan lokal.
Semua cinta, sayang untuk Papua. Demikian pula sebaliknya. Ada cinta yang begitu dalam dari rakyat Papua untuk negara ini, Indonesia. Pendiri negara ini mempertaruhkan nyawa untuk Papua.
Para perintis guru, dokter, dan pekerja sosial diterjunkan di berbagai pedalaman untuk melayani masyarakat di kampung-kampung. Kuburan mereka tersebar di berbagai daerah di pelosok Papua. Semangat itu tetap hidup dan dilanjutkan dengan para tenaga kesehatan dan guru-guru di era otonomi khusus ini.
Hari ini, ketika pembuat kebijakan hadir di tengah masyarakat paling bawah, ada rasa yang begitu dalam. Apakah kebijakan negara ini telah sesuai dengan keinginan rakyat Papua ataukah perlu titik keseimbangan antara ukuran nasional dan identitas ke-lokal-an di akar rumput.
Apakah kebijakan dan regulasi sektoral dari pusat seperti kehutanan, sumber daya mineral, aparatur sipil negara, pemilihan umum, kelautan, kesehatan bahkan sektor pendidikan telah tepat untuk konteks ke-Papua-an. Ataukah perlunya titik temu di level praktis di lapangan agar sesuai dengan konteks ke-Papua-an.
Titik temu antara kebijakan dan harapan masyarakat dengan konteks lokalitasnya, perlu digali, dibentuk, dan dirumuskan secara bersama-sama. Di pelosok pedalaman, rakyat sangat membutuhkan sentuhan untuk hidup yang lebih.
Mereka rindu untuk perubahan itu. Sentuhan regulasi sektoral dan kewilayahan yang membangkitkan rasa, cinta, dan identitas.
Hari-hari ini kita semua terus ikhtiar guna menghadirkan rasa saling percaya, trust building. Ini modal dasar dalam mengelola Papua. Kita semua cinta rakyat Papua, dan sebaliknya, rakyat Papua pun rindu atas sentuhan kasih sayang.