Oleh Tuan Kopong, MSF
Misionaris Indonesia di Filipina
CATATAN gugatan ini ditujukan kepada Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas. Mana paling urgen, Surat Keputusan Bersana Dua Menteri atau menikah di Kantor Urusan Agama? Pertama-tama pernyataan ini merupakan sikap pribadi sebagai seorang Katolik dan Imam Katolik tanpa mewakili dan mengatasnamakan Gereja Katolik Indonesia.
Menteri Cholil mengatakan, KUA rencananya akan menjadi tempat menikah semua agama. Ia ingin memberikan kemudahan bagi warga nonmuslim. “Selama ini kan saudara-saudara kita non-Islam mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Kan gitu. Kita kan ingin memberikan kemudahan. Masa nggak boleh memberikan kemudahan kepada semua warga negara?” kata Menteri Cholil mengutip detik.com di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (26/2).
Bagi saya pribadi, pernyataan ini tidak memiliki nilai urgensi sama sekali. Mengapa? Perkawinan itu adalah urusan privat dan menjadi ranah masing-masing agama. Kalau memang sekadar menjadi tempat pencatatan perkawinan cukuplah di pencatatan sipil seperti yang sudah berlangsung karena itu menyangkut perlindungan hak-hak sipil bagi pasangan yang menikah bersama anak-anak mereka.
Bagi saya selama ini tidak ada persoalan terkait pelaksanaan perkawinan menurut agama masing-masing meskipun ada perbedaan pandangan dan hukum mengenai perkawinan campur beda agama dan beda gereja. Terlepas dari itu, bagi saya pernyataan Menteri Cholil bahwa KUA menjadi tempat menikah bagi semua agama tidak urgent dan tidak perlu dilakukan.
Karena bagi saya yang paling urgen saat ini dan terus menjadi polemik bahkan menjadi alasan terjadinya tindakan intoleransi dan diskriminasi antar umat beragama adalah SKB 2 Menteri yang harus segera dicabut. SKB 2 Menteri tidak bisa menjadi payung hukum bagi agama-agama lain, namun menjadi alat pembenaran untuk melakukan tindakan intoleransi dan diskriminasi antar umat bergama dan kepercayaan.
Saya lebih setuju kalau KUA menjadi rumah bersama bagi semua agama untuk mendapatkan perlindungan hukum pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadah agama lain tanpa ada persekusi dan diskriminasi. KUA sebagai Kantor Urusan Agama, sejatinya menjadi rumah semua agama yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah dan bukan sekadar urusan perkawinan.
KUA sejatinya menjadi rumah semua agama terutama minoritas yang merasa damai dan tenang ketika melaksanakan ibadah dan tidak mendapatkan penolakan dan pelarangan serta penyegelan ketika mendirikan rumah ibadah daripada mengurus perkawinan semua agama yang mana masing-masing agama sudah memiliki aturan dan hukum yang mengatur perkawinan menurut agama yang dianut.
Gereja Katolik sendiri sudah memiliki hukum tetap dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang juga mengatur tempat pelaksanakan perkawinan secara Katolik. “Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasi-domisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.” (KHK. Kan. 1115; 11118 §1-3).
Kata paroki di sini hendak menegaskan bahwa pelaksanaan perkawinan secara Katolik wajib dilaksanakan di gereja atau kapela Katolik atau tempat yang layak setelah mendapatkan ijin dari ordinaris wilayah. Bahwa kemudian ada pelaksanaan perkawinan di tempat lain atau di agama lain yang salah satu pihaknya adalah Katolik wajib mendapatkan dispensasi canonic untuk sahnya sebuah perkawinan. Baik ijin maupun dispensasi tidak serta merta diberikan namun harus melalui proses dan keyakinan moral yang tepat dari pemberi ijin maupun dispensasi.
Maka daripada menimbulkan kegaduhan di ruang publik dan menimbukan pertanyaan atau protes dari pihak agama lain yang memiliki kewenangan mengurusi perkawinan para jemaatnya, yang paling penting dan mendesak untuk dibicarakan dan dilakukan oleh Menteri Cholil adalah pencabutan SKB 2 Menteri yang selalu menjadi alat “penindas” bagi kelompok minoritas dan “pembenaran diri” bagi kelompok mayoritas daripada mengurusi tempat perkawinan.
Karena yang kami butuhkan hari ini dan ke depan adalah kemudahan mendirikan rumah ibadah, kemudahan beribadah tanpa protes, pelarangan, penyegelan dan persekusi atas nama agama.