Oleh Ben Senang Galus
Penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta
MANUSIA Papua selalu berpikir sosial. Pemikiran manusia Papua ditentukan oleh kepentingan masyarakat sebagai hakikat suatu hubungan sosial. la mengalami hidup sebagai unitas yang bersifat sosial dan simbolis. Dimensi kehidupan adalah identitas individu yang bersifat sosial.
Yang merupakan tingkatan-tingkatan sistematis tidak ada pada manusia Papua. la tidak berpikir secara abstrak, dengan berbagai analisis dari riset melainkan berpikir konkret dengan menghubungkan segala macam gejala secara langsung di mana suatu bentuk disamakan dengan isinya. Meminjam Mulder (1973), perbedaan-perbedaan yang prinsipil sekalipun tidak terlalu dipersoalkan tetapi dihubungkan secara mitologis (Mulder 1973:62-65).
Manusia Papua berpikir secara intuitif dan emosional. Segala-galanya berpusat pada perasaan dan angan-angan. Baginya, cara berpikir intuitif dan emosional membuka cakrawala baru bagi hidup manusia dan merupakan sumber ilmu. la lebih mementingkan pemikiran intuitif daripada inteligensi karena pusat segala-galanya adalah perasaan dan hati.
Berpikir total
Manusia Papua juga berpikir secara total, komprehensif dengan kurang membuat distingsi suatu hal dari hal yang lain. Segala sesuatu dilihatnya dalam kesatuan yang menyeluruh. la berpikir secara induktif, di mana kebenaran-kebenaran yang dicapai bergantung pada pengalaman.
Selain itu manusia Papua berpikir secara mitis-magis. Bagi manusia Papua, manusia magis adalah manusia yang memproyeksikan alam dan seluruh kekuatannya ke dalam dirinya sendiri dan mengakui kekuasaan aktif alam atas dirinya. Manusia magis menguasai alam bukan dengan teknik, melainkan dengan tenung dan sihir (Stephanus Ozias Fernandez, 1990:108).
Penguasaan atas alam tidak dialami secara empiris tetapi secara apriori, dibayangkan dengan menggunakan mantra, pantang, sakti, dan upacara. Manusia mitis adalah manusia yang berdaya upaya agar kesadaran terhadap diri sendiri dilebur ke dalam kesadaran akan kesatuan dengan kosmos, dengan seluruh jagad (Subagya Rahmat 1979:53-54).
Berbagai kebudayaan di Papua sangat mementingkan upacara-upacara adat yang bersifat religius, penuh dengan unsur-unsur pralogis, kebatinan dan mistik. Kenyataan juga membuktikan bahwa manusia Papua berpikir simbolis. la selalu memakai benda-benda alamiah sebagai tanda atau simbol untuk mengungkapkan suatu maksud atau konsep tertentu.
Hal ini nampak dalam praktek ritus, cerita-cerita rakyat, mitos, yang semuanya dijalankan secara sangat hati-hati karena bagi mereka hal tersebut mengandung makna yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap tindakan selalu disertai dengan tanda simbol. Tanda dan simbol adalah sarana yang secara jelas menjelaskan sesuatu yang lain; yang tersembunyi (Mulder 1973:62-63).
Relasi dengan alam
Berpikir secara harmonis-kosmis dan sintetis-kosmis merupakan salah satu cara berpikir manusia Papua. la melihat segala sesuatu dalam satu-kesatuan yang tidak boleh bertentangan dan dipisah-pisahkan. Manusia, roh-roh, arwah para leluhur serta wujud tertinggi selalu dipikirkan dalam suatu keterikatan yang erat.
Manusia Papua diwarnai oleh pola pemikiran yang tradisional, menganggap dunia sebagai satu-kesatuan mitis yang utuh dan tak dapat dibuat distingsi antara yang profan dan yang sakral, yang jasmani dan yang rohani.
la harus menjalin relasi yang baik dengan seluruh alam semesta dan sesamanya secara seimbang sehingga tercapailah keselarasan dan keseimbangan. Baginya perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan etik sosial yang berlaku dalam masyarakat merupakan faktor-faktor penunjang keselarasan dan keseimbangan kosmis.
Bagi manusia Papua, arti alam dunia tidak terletak dalam uraian-uraian yang bersifat ilmiah dengan memakai segala penataran dan pembuktian ilmiah. Namun, terletak dalam kekuasaannya atas alam yang baginya sangat menentukan nasibnya. Orang Papua berpendapat bahwa susunan-susunan alam merupakan satu-kesatuan yang dapat dibaca secara kodrati atau alamiah, untuk menyelaraskan dirinya dengan alam semesta (Fernandez, 1990:109).
Alam dilihat sebagai tempat pertemuan antara yang epifenomen (teori filsafat budi yang menyatakan bahwa fenomena budi dihasilkan oleh proses fisik yang berlangsung di otak atau bahwa keduanya merupakan hasil dari suatu sebab bersama), yang berguna bagi manusia, yang telah bersatu dengan bagian-bagian kosmos sebagaimana mikrokosmos merupakan bagian dari makrokosmos, demikian manusia merupakan bagian dari alam.
Manusia Papua berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya yang merupakan satu-kesatuan. Hal ini dapat ditemui dalam satu ungkapan “semua yang ada merupakan pancaran dari yang mutlak.”
Keselarasan dengan alam merupakan syarat adanya tata tertib universal yang perlu dipelihara dan dijunjung tinggi. Manusia dan seluruh nasibnya ditentukan oleh alam. la merasa dirinya ditempatkan dalam alam yang penuh dengan situasi yang kontradiktoris.
Manusia berusaha mencari pegangan dengan menyusun suatu sistem gerak alamiah secara tidak sengaja, dan di pihak lain ia tetap mengakui adanya daya transenden yang seakan-akan mengatur segalanya bagi manusia. Dengan latar belakang tersebut muncul pola pikir yang memberi kepastian hidup untuk setiap pilihan manusia yang sering dikenal dengan Takdir (Fernandez, 1990:109).
Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak luput dari berbagai kesulitan yang membawa manusia kepada mekanisme mitis demi memulihkan keselarasan kosmos.
Sebagai konsekuensi dari keselarasan itu, manusia harus taat pada aturan kosmis, mengakui adanya sifat-sifat sakral dari dunia. Dunia diakui sebagai yang berdaya, yang berkekuatan, punya daya rohani yang perlu dihormati dengan segala upacara dan ritus.
Alam bagi manusia Papua adalah sakral. Hal ini terbukti dengan adanya tempat-tempat yang dianggap suci dan tabu, yang dipandang sebagai tempat istimewa, misalnya hutan, air, gunung, sungai, pohon, kuburan. Tempat-tempat tersebut biasanya mempunyai kekuatan dan daya yang dahsyat.
Anggapan demikian membuat manusia sering membawa “persembahan” atau sesajen untuk memohon bantuan atau perlindungan dari para leluhur atau wujud tertinggi atas bahaya yang mengancam kelangsungan hidup manusia Papua.
Di sini nampak bahwa hubungan manusia dengan alam begitu erat sehingga manusia berpendapat bahwa manusia berasal dari benda-benda, binatang atau tumbuh-tumbuhan atau hewan tertentu.
Tidak terlepas dari pandangan manusia lainnya, manusia Papua mempunyai konsep yang sama tentang waktu. Baginya waktu dibagi atas waktu kosmis dan waktu manusiawi atau waktu eksistensial.
Dalam pengalaman sehari-hari manusia Papua menyadari bahwa seluruh eksistensinya mengalir dalam waktu. Waktu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan manusia beserta dengan segala aktivitasnya. waktu bersifat manusiawi atau eksistensial, berarti terarah pada perasaan, kesadaran dan pengalamannya. Waktu bertolak dari ritme, dalam kesadaran aktivitas manusia.
Waktu dilihat menurut struktur kesadaran, perasaan secara terpisah. Setiap kejadian mempunyai waktunya sendiri. Waktu tidak dihubungkan secara linier tetapi merupakan kesatuan dari seluruh pengalaman manusia. Manusia tidak memiliki konsep yang pasti dan pasti tentang waktu, tetapi waktu selalu ada, at praesens.
Manusia Papua pada umumnya berpendapat bahwa waktu merupakan faktor pembentuk manusia. Manusia tidak perlu mencari waktu tetapi hanya menantikannya. Konsep tersebut dikenal dengan waktu siktis, yakni waktu yang terulang dalam bentuk-bentuknya yang sama. Menrut Mulder (1973), waktu tidak memainkan peranan tersendiri sebagai variabel yang berdiri sendiri. (Bagian kedua)