Blok Wabu Bukan Milik Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Blok Wabu Bukan Milik Papua

Kawasan Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah. Sumber foto: wartakepri.co.id, 31 Agustus 2021

Loading

ORANG ramai membaca berita tentang kekayaan Blok Wabu di portal ini. Lebih dari 61.000 kali berita singkat itu dikunjungi pembaca. Barangkali angka itu akan melonjak berkali-kali jika seluruh orang di tanah Papua dapat mengakses internet dengan gampang dan murah. Wabu menjadi perhatian. Juga menjadi sumber kecemasan. Sebab, dari Blok Wabu mungkin yang akan datang adalah kutukan. Bukan berkat.

Kata seorang peneliti gunung ini menyimpan emas lebih banyak daripada Grasberg di Mimika. Kekayaan yang sangat besar. Tapi, kata Pak Bahlil Lahadalia, menteri yang konon pada masa muda pernah menjadi sopir taksi, kekayaan itu milik negara. “Blok Wabu milik negara,” katanya. Emas di Blok Wabu milik negara.

Apakah pernyataan bahwa Blok Wabu milik negara sama artinya Blok Wabu bukan milik orang Papua? Pertanyaan ini tidak membingungkan sama sekali. Jika izin untuk mengeksploitasi emas di Blok Wabu tidak memperhitungkan rakyat Papua, maka rakyat Papua tidak terhitung sebagai pemilik Blok Wabu.

Blok Wabu milik negara. Sekali lagi ini adalah pernyataan Pak Bahlil. Apakah “negara” dapat disederhanakan maknanya sebagai “pemerintah pusat?” Pertanyaan ini muncul dari pernyataan dari Pak Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, yang berucap “izin Blok Wabu berada di Jakarta”. Jika orang-orang di Intan Jaya sama sekali tidak dihitung, suara-suara mereka tidak dianggap, maka betul bahwa negara adalah pemerintah pusat.

Mestinya Pak Bahlil disodori pertanyaan: apakah negara sama dengan pemerintah (pusat)? Apakah kekayaan yang menurut undang-undang “milik negara” sama maknanya dengan “milik pemerintah”? Pak Bahlil layak mendapatkan kesempatan berharga untuk menjelaskan konsep “milik negara” sama dengan “milik pemerintah”.

Ketika Gubernur menyatakan bahwa kewenangan atas Blok Wabu berada di tangan pemerintah pusat, orang-orang di pemerintahan pusat bersuka cita. Ungkapan itu bermakna Blok Wabu sudah diserahkan. Akan tetapi, bagaimana rakyat Papua Tengah, lebih-lebih rakyat Intan Jaya? Mereka tidak pernah rela. Tidak ikhlas. Bagaimana orang-orang yang tidak pernah menginjak kaki, tidak punya hubungan apapun dengan Blok Wabu, menjadi berkuasa menentukan nasib Blok Wabu dan penduduk di wilayah itu?

Gelombang penolakan sangat dapat dimengerti. Sangat susah untuk dipahami bagaimana Blok Wabu, dengan emas yang sangat banyak, menjadi bukan milik mereka. Padahal selama ribuan tahun mereka berumah di sini. Bagaimana bisa emas itu malah menjadi “milik negara”. Lalu, negara mengutus orang-orangnya, dan perusahaan-perusahaan atau mitra-mitranya untuk mengambil kekayaan itu dan dibawa pergi entah ke mana.

Barangkali persoalannya terletak pada mahkluk yang namanya negara itu. Penampakan “negara” di antara masyarakat Papua memang menimbulkan trauma berkepanjangan. Negara yang banyak sekali kepentingannya itu secara paksa menjelma dalam banyak rupa: proyek strategis nasional yang mengorbankan jutaan hektar hutan dan ekosistem primer yang mendukung kehidupan lestari; proyek pembangunan jalan trans yang membuat lalu lintas barang dan orang lebih cepat, termasuk penyakit-penyakit yang ikut menyebar; juga tambang-tambang mineral dan gas bumi yang mungkin bermanfaat bagi orang Papua tapi jauh lebih bermanfaat bagi orang entah di mana.

Persoalan memang terletak di situ: milik negara sama maknanya dengan bukan milik orang Papua. Sebagai “bukan pemilik” orang-orang Papua dipaksa menyingkir jauh dari area sekitar Blok Wabu. Mereka tidak sah secara hukum berada di area “milik negara”. Mereka harus keluar atau dipaksa pergi dari sana. Mereka dicabut dari tanah yang sudah mereka diami selama entah berapa generasi. Dengan sangat sakit hati mereka dicampakkan dari tanah leluhur. Jiwa mereka dipatahkan. Martabat mereka dilucuti.

Siapa yang bisa menutup mata sehingga tidak tahu bahwa orang-orang Intan Jaya selama lima tahun terakhir telah menjadi pengungsi? Mereka mencari perlindungan di Nabire, Timika, atau menumpang di kerabat di Sugapa, Bilogai, dan tempat yang lain. Sementara, keluarga-keluarga yang bertahan akan terus diusik sampai mereka pergi. Blok Wabu dibuat menjadi tanah kosong. Dan, ketika rumah sudah kosong, segalanya akan menjadi lebih mudah.

Bayi-bayi yang lahir dari para pengungsi ini, keturunan dari warga sekitar Blok Wabu, barangkali tidak akan pernah memandang tanah leluhurnya. Mereka akan mendengar cerita tentangnya dengan hati sedih. Tapi, mereka tidak merasa memiliki ikatan yang kuat dengan tanahnya. Para pengungsi, dalam bilangan entah berapa tahun, ketika telah berhasil menemukan rumah yang baru di tempat lain, mungkin akan merasa enggan untuk kembali ke Blok Wabu, meski tetap sulit untuk dapat melepaskan. Singkatnya, mereka sejak beberapa tahun ini dipaksa untuk bercerai dari tanah air leluhurnya.

Menggarap tanah kosong Blok Wabu kian mudah ketika jalan Trans Papua dibangun menjangkau ke sana. Alat-alat berat lebih bisa dipindahkan. Logistik lebih gampang dikirim. Apalagi kalau dekat area itu ada landasan udara. Kenyataannya, bandara di Nabire kini telah bisa didarati oleh pesawat berbadan besar. Kalau Blok Wabu membutuhkan lebih banyak orang yang menggarap, Bandara ini menjadi fasilitas pendukung yang penting.

Ketika bicara Blok Wabu, orang-orang Papua melihat negeri yang mencemaskan, yang dibuat porak-poranda, dimana kehidupan dihancurkan dan masa depan dibikin kelam. Sementara, ada orang yang berusaha menipu diri dengan berujar: itu adalah konsekuensi pembangunan. Jika itu terjadi, yang paling menderita adalah orang-orang Papua. Emas di Blok Wabu tidak akan menjadi milik orang Papua, tapi kehancuran ruang hidup yang paling dahsyat ditanggung oleh Papua. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :