JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, MA mengingatkan pemerintah Indonesia berhenti berbohong kepada masyarakat terkait perkembangan persoalan Papua. Dahulu, negara Vanuatu bersuara dan mendukung penyelesaian persoalan Papua. Belakangan, ada peningkatan dukungan signifikan komunitas global atau internasional terhadap Papua.
“Sekarang negara-negara rumpun Melanesia, Kepulauan Pasifik, Afrika, Carabia, dan Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara, termasuk Belanda dan Inggris mendesak Indonesia untuk membuka akses Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, PBB berkunjung ke Papua. Tiga pakar HAM PBB yaitu Jose Francisco CaliTzay, Morris Tidball-Binz, dan Cecilia Jimenez-Damary mendesak Indonesia untuk mendesak Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua,” ujar Socratez Yoman kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Selasa (8/3).
Socratez yang juga anggota Baptist World Alliance (BWA) menambahkan, sudah waktunya Indonesia membuka diri untuk Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua. Kunjungan itu perlu sebelum Indonesia dihakimi komunitas internasional. Indonesia sudah berada dalam kategori negara pelaku kejahatan kemanusiaan dan tidak bisa menyembunyikan muka dengan atas nama ‘jargon’ kedaulatan negara.
Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC) memberikan contoh terbaru sebagai pelajaran berharga untuk pemerintah Indonesia berkaca ialah Rusia tidak peduli dengan kedaulatan Ukraina. Pengalaman ini bisa terjadi di Indonesia atas nama martabat kemanusiaan dan keadilan untuk perdamaian semua orang.
“Sekarang rakyat dan bangsa Papua tidak sendirian untuk berjuang meraih masa depan di bawah kekuasaan yang berwatak rasis, fasis, barbar yang berkultur militeristik,” tandas Socratez, anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Pekan pertama awal Maret 2022 Komisi Tinggi PBB untuk HAM melaporkan, sejumlah pelapor khusus PBB meminta pemerintah Indonesia melakukan investigasi secara penuh dan independen terkait dugaan sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Para pelapor itu juga meminta pemerintah mengizinkan pemantau independen dan jurnalis untuk mengakses mengakses wilayah Papua.
Adapun pelapor khusus yang melaporkan situasi di Papua yaitu Jose CaliTzay, pelapor khusus untuk masyarakat adat, Tidball-Binz, pelapor khusus untuk pembunuhan di luar hukum dan penangkapan sewenang-wenang, dan Jimenez-Damary sebagai pelapor khusus untuk hak pengungsi internal. Para pelapor yang merupakan pakar HAM PBB menyoroti memburuknya situasi di Papua dan Papua Barat terkait pelanggaran terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.
“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan (Indonesia),” kata para ahli. Para ahli itu menyebutkan jumlah pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018 diperkirakan berkisar antara 60 ribu hingga 100 ribu orang. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)