Berapa Sisa Guru di Papua Saat Ini? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Berapa Sisa Guru di Papua Saat Ini?

Dr Don Bosco Doho, MM, CET, C.Ht, C.STMI, Dosen dan Pembimbing Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa Freeport di LSPR, Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Don Bosco Doho

Dosen dan Pembimbing Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa PT Freeport di LSPR Jakarta

PADA Agustus 1945, di tengah puing-puing Hiroshima dan Nagasaki yang masih membara, Kaisar Hirohito dari Jepang tidak bertanya berapa sisa jenderal atau tentara. Pertanyaan pertamanya yang tercatat dalam sejarah, yang diucapkannya dengan lirih kepada para menterinya adalah, “berapa sisa guru kita?”

Pertanyaan itu tidak sekadar pertanyaan tentang angka. Sebuah pertanyaan tentang masa depan. Di tengah kehancuran total, sang Kaisar tahu bahwa pondasi untuk membangun kembali sebuah bangsa yang hancur lebur bukanlah baja, beton atau kekuatan militer, melainkan akal budi, karakter, dan jiwa manusianya. 

Dan satu-satunya arsitek yang bisa membangun fondasi itu adalah para guru. Hasilnya dapat kita saksikan kejayaan Jepang hingga hari ini. Hari ini, di bentangan tanah Papua yang megah dan diberkati, kita wajib mengajukan pertanyaan serupa dengan urgensi yang sama. Namun, “bom” yang meledak di Papua bukanlah bom atom. Ia adalah bom waktu yang bekerja dalam senyap: krisis pendidikan yang kronis.

Begitu juga isolasi geografis yang memisahkan, kesenjangan fasilitas yang menganga, dan yang paling mengkhawatirkan, memudarnya jiwa pengabdian dari profesi yang paling mulia. Maka, pertanyaan itu harus kita ajukan dengan lebih tajam: berapa sisa guru di Papua saat ini?

Siapa Saja Guru Sejati Itu?

Jumlah guru di Papua memang cukup banyak jika dilihat dari data statistik. Ribuan guru tersebar di ribuan sekolah. Tapi pertanyaannya tetap: berapa sisa guru yang betul-betul hadir sebagai guru sejati?

Guru sejati adalah mereka dengan kriteria berikut. Pertama, datang pagi-pagi, pulang sore hari, bahkan kadang malam hari setelah membimbing siswanya. Kedua, tidak mudah menyerah meski medan sulit, jalanan rusak, listrik mati, internet tidak stabil.

Ketiga, mengenal nama setiap siswanya, tahu kondisi keluarganya, memahami potensi dan hambatannya. Keempat, rela merogoh kocek pribadi untuk membeli buku, alat tulis, atau bahkan makanan bagi siswanya yang tidak punya.

Kelima, menjadi teladan, bukan hanya instruktur. Keenam, mendengarkan lebih dari sekadar berbicara. Ketujuh, menginspirasi, bukan hanya memberi nilai. Kedelapan, memiliki komitmen tinggi pada transformasi diri dan masyarakat.

Itulah guru sejati. Mereka bukan hanya penyampai ilmu, tapi juga penyulam dan penenun harapan. Mereka bukan hanya tenaga pengajar, tapi juga agen perubahan.

Di Balik Kesulitan

Meskipun situasi belum ideal, di balik kesulitan itu ternyata masih ada cahaya. Masih ada guru-guru yang rela naik perahu kayu berjam-jam untuk sampai ke sekolah. Masih ada guru yang mengajar di bawah pohon karena sekolah mereka rusak. Masih ada guru yang tetap hadir meski gajinya tertunda berbulan-bulan.

Di Pegunungan Tengah, seorang guru wanita bernama Maria mengajar di kelas campuran SD yang hanya berlantai tanah. Setiap hari ia berjalan kaki dua jam dari rumahnya. Tapi murid-muridnya selalu antusias, karena ia mengajar dengan hati.

Di Asmat, seorang guru muda bernama Yudi memutuskan tinggal di desa selama satu tahun, walau sebenarnya hanya dimutasi selama enam bulan. Alasannya sederhana: “Saya melihat mereka butuh saya. Dan saya percaya Tuhan mengirim saya ke sini.”  Mereka inilah sisa guru yang masih menyala di Papua. Mereka adalah aset bangsa yang tak ternilai. Mereka adalah bagian dari solusi yang kita cari-cari.

Kita tidak bisa menutup mata. Indikator-indikator etos keguruan yang seharusnya menjadi denyut nadi profesi ini terasa semakin memudar. Delapan etos keguruan —beribadah, membaca, berorganisasi, berkarya, berhemat, berdisiplin, bersahaja, dan mengabdi— yang dulu diajarkan para misionaris menjadi panduan, kini terasa seperti berubah menjadi bab-bab usang dalam buku pedoman.

Di banyak pelosok Papua, kita mendengar kisah-kisah yang menyesakkan dada. Ada fenomena “guru terbang”, di mana pengajar hanya muncul di awal dan akhir semester. Ada guru yang hadir secara fisik, namun jiwanya tidak berada di dalam kelas; pikirannya melayang pada urusan lain di luar sekolah. 

Ada yang mengajar sekadarnya, tanpa gairah, tanpa inovasi, menjadikan profesi ini sekadar batu loncatan atau tempat parkir sementara sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apakah kita bisa serta-merta menyalahkan mereka? Tidak sepenuhnya. 

Ini bukanlah kegagalan individu semata, melainkan erosi sistemik. Bayangkan seorang pemuda idealis yang ditempatkan di sebuah distrik terpencil. Tanpa dukungan, tanpa pengembangan profesional, tanpa jaringan komunikasi yang memadai, dan sering kali dengan kesejahteraan yang terabaikan. Betapapun membara api idealismenya di awal, perlahan tapi pasti, api itu akan meredup oleh embusan angin keputusasaan dan keterasingan.

Krisis ini jauh lebih berbahaya daripada kekurangan gedung sekolah atau buku pelajaran. Karena gedung bisa dibangun, buku bisa dicetak. Namun, membangun kembali jiwa dan semangat seorang guru adalah pekerjaan yang membutuhkan lebih dari sekadar anggaran. Ia membutuhkan sebuah panggilan.

Gema dari Masa Lalu

Ironisnya, tanah Papua sendiri pernah memiliki tradisi keguruan yang luar biasa. Jauh sebelum sistem pendidikan formal modern terbentuk, para perintis dari misi dan zending telah menunjukkan apa artinya menjadi seorang guru sejati. Mereka datang menembus hutan dan mendaki gunung bukan karena perintah atasan atau janji kenaikan pangkat. Mereka datang karena sebuah panggilan jiwa.

Mereka mendirikan sekolah-sekolah sederhana di bawah pohon atau di dalam gubuk. Mereka mengajar baca-tulis, tetapi lebih dari itu, mereka mendidik karakter. Mereka membawa obat-obatan, mengajarkan kebersihan, dan menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat. 

Mereka tidak hanya mengajar dari jam delapan pagi hingga jam dua siang. Mereka adalah guru 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Pengabdian mereka total. Hati mereka sepenuhnya untuk anak-anak Papua.

Dari tangan-tangan tulus merekalah lahir generasi pertama pemimpin dan cendekiawan Papua. Warisan mereka membuktikan bahwa kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh megahnya gedung, melainkan oleh agungnya jiwa sang guru. Inilah standar, inilah cermin yang harus kita gunakan untuk melihat kondisi kita hari ini.

Rumah yang Butuh Pondasi

Di tengah kelesuan ini, muncullah gagasan program Sekolah Rakyat dari Presiden Prabowo Subianto. Sebuah ide cemerlang yang menjanjikan pendidikan unggul, berasrama, dengan gizi terjamin dan fasilitas modern. Ini adalah sebuah visi tentang sebuah rumah masa depan yang megah bagi anak-anak Papua.

Namun, kita harus jujur pada diri sendiri. Rumah semegah apapun akan runtuh tanpa pondasi yang kokoh. Pondasi dari Sekolah Rakyat ini bukanlah semen atau baja. Fondasi itu adalah para guru.

Kita bisa membangun sekolah paling canggih di dunia di tengah Lembah Baliem, lengkap dengan laboratorium digital dan perpustakaan modern. Kita bisa menyediakan makanan paling bergizi setiap hari. 

Tetapi jika yang berdiri di depan kelas adalah seorang pengajar yang hatinya hampa, yang semangatnya padam, dan yang kehadirannya hanya formalitas, maka semua investasi itu akan sia-sia. Gedung megah itu hanya akan menjadi monumen kosong. Makanan bergizi itu hanya akan menghasilkan tubuh yang sehat, tetapi dengan jiwa yang tidak tercerahkan.

Program Sekolah Rakyat tidak bisa dan tidak boleh hanya menjadi proyek infrastruktur. Ia harus menjadi sebuah gerakan kebangkitan spiritual bagi profesi keguruan di tanah Papua. Keberhasilannya 100 persen bergantung pada ketersediaan guru-guru sejati yang akan menjadi nyawa dari sekolah-sekolah tersebut.

Jawaban Kita

Pertanyaan Kaisar Hirohito yang disentil di awal tulisan ini adalah sebuah cermin sejarah. Ia mengajarkan kita untuk selalu kembali ke fondasi paling dasar saat menghadapi krisis terbesar. Krisis pendidikan di Papua adalah nyata, dan Sekolah Rakyat adalah sebuah tawaran solusi yang menjanjikan.

Namun, keberhasilannya akan ditentukan oleh jawaban kita atas pertanyaan tadi. Berapa sisa guru di Papua saat ini? Jawaban kita bukanlah sebuah angka. Jawaban kita adalah sebuah komitmen.

Komitmen untuk tidak lagi berkompromi dengan kualitas jiwa seorang pendidik. Komitmen untuk mencari, menempa, dan memuliakan generasi baru guru-guru sejati —guru yang mengabdi, yang melayani, yang hatinya menyala-nyala untuk masa depan anak-anak Papua.

Jika komitmen ini bisa kita jalankan, maka Sekolah Rakyat tidak hanya akan menjadi bangunan. Ia akan menjadi sebuah rahim, tempat lahirnya kembali para arsitek peradaban di tanah Papua. 

Kelak, kita bisa dengan bangga menjawab pertanyaan sejarah: “Kami tidak menghitung berapa banyak guru yang tersisa. Kami telah melahirkan mereka kembali, lebih banyak dan lebih baik dari sebelumnya.”

Tinggalkan Komentar Anda :