DALAM dinamika sosial dan keberagamaan di Indonesia, tidak jarang kita menyaksikan fenomena kelompok-kelompok tertentu yang dengan penuh semangat membela Tuhan dari apa yang mereka anggap sebagai penghinaan. Mereka marah, bereaksi keras, bahkan tak jarang bertindak anarkis atas nama pembelaan terhadap kemuliaan Tuhan. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan adalah: apakah Tuhan benar-benar bisa terhina?
Tuhan, dalam konsep ketuhanan yang diajarkan oleh berbagai agama, adalah entitas yang Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Kuasa. Keagungan dan kesucian-Nya bersifat mutlak, tidak bergantung pada penghormatan atau penghinaan yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Jika Tuhan bisa terhina oleh ucapan atau perbuatan manusia, bukankah itu justru menunjukkan kelemahan, yang bertentangan dengan sifat keilahian-Nya?
Sesungguhnya, kehinaan Tuhan hanyalah persepsi manusia semata. Manusia yang merasa perlu membela Tuhan sejatinya sedang terjebak dalam ego keagamaan yang berlebihan. Mereka menganggap diri mereka sebagai penjaga kehormatan Tuhan, padahal yang mereka bela sering kali bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan perasaan dan keyakinan pribadi mereka. Reaksi berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap penghinaan terhadap Tuhan justru menunjukkan pemahaman yang sempit tentang kebesaran-Nya.
Lebih jauh, fenomena ini mengarah pada sebuah ironi: seolah-olah Tuhan adalah entitas yang lemah dan membutuhkan pembelaan manusia. Jika Tuhan memang Maha Kuasa, tentu Ia tidak membutuhkan siapa pun untuk membelanya. Justru manusialah yang membutuhkan Tuhan, bukan sebaliknya. Tuhan tidak akan berkurang keagungan-Nya hanya karena cacian manusia, sebagaimana Ia tidak akan bertambah kemuliaan-Nya hanya karena pujian manusia.
Yang seharusnya dilakukan oleh manusia bukanlah sibuk membela Tuhan dengan cara yang keras dan represif, melainkan meneladani nilai-nilai ketuhanan yang hakiki: kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan. Pembelaan terbaik terhadap ajaran ketuhanan bukanlah dengan amarah dan kekerasan, melainkan dengan akhlak yang luhur, argumentasi yang santun, dan sikap yang mencerminkan kebesaran jiwa.
Di tengah kehidupan yang semakin plural dan demokratis, sudah seharusnya kita memahami bahwa Tuhan tidak bisa terhina oleh manusia. Yang bisa terhina adalah moralitas kita sendiri ketika kita bertindak tanpa hikmah dan kebijaksanaan. Daripada sibuk membela Tuhan dengan kekerasan, alangkah lebih baik jika kita membuktikan kemuliaan ajaran-Nya dengan menjadi pribadi yang mencerminkan kebesaran dan kasih-Nya di muka bumi.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keberagaman pendapat dan ekspresi adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Perbedaan pandangan tentang keyakinan dan agama tidak seharusnya menjadi pemicu konflik, melainkan menjadi peluang untuk saling mengenal dan belajar satu sama lain. Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan adalah Maha Adil dan Maha Bijaksana, maka kita juga harus meneladani keadilan dan kebijaksanaan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Reaksi berlebihan atas dugaan penghinaan terhadap Tuhan sering kali justru membawa dampak yang lebih buruk bagi masyarakat. Kekerasan dan tindakan anarkis atas nama agama sering kali mencederai nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam ajaran agama itu sendiri. Ketika tindakan tersebut menimbulkan ketakutan dan keresahan di tengah masyarakat, maka yang ternoda bukanlah Tuhan, melainkan citra agama itu sendiri.
Oleh karena itu, daripada sibuk mencari musuh dan menghakimi orang lain atas nama Tuhan, kita sebaiknya lebih fokus pada bagaimana menampilkan wajah agama yang damai dan penuh kasih sayang. Jika benar-benar ingin membela ajaran Tuhan, lakukanlah dengan cara yang lebih bermartabat: menyebarkan kebaikan, menolong sesama, dan menjadi pribadi yang penuh toleransi. Karena pada akhirnya, Tuhan tidak membutuhkan pembelaan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. (Yakobus Dumupa/Editor)