TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Administrator Keuskupan Timika Pastor Marthen Ekowaibi Kuayo, Pr mengingatkan dan menghimbau pihak-pihak tertentu tidak mengorbankan masyarakat demi meraih kepentingan atau tujuan tertentu.
Pastor Kuayo, imam projo Keuskupan Timika, mengingatkan hal tersebut merespon situasi kehidupan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Provinsi Papua Tengah. Imam putra asli tanah Papua itu angkat bicara menyusul meletusnya sejumlah konflik antar kelompok masyarakat dan suku di wilayah Meepago (Papua Tengah).
“Akhir-akhir ini terjadi konflik horizontal antar kelompok masyarakat suku seperti, Dani dengan Mee, Dani dengan Biak, Mee dengan Moni, Mee dengan Jawa, ada pula beberapa peristiwa pembunuhan yang pelakunya tidak diketahui yang terjadi setelah terbentuknya provinsi baru,” ujar Pastor Kuayo kepada Odiyaiwuu.com Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Rabu (8/5).
Menurut Pastor Kuayo, sebagai provinsi baru semua pihak terkait harus berkehendak baik meletakkan dasar yang baik dan benar demi kemajuan Papua Tengah dan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, ia menghimbau pihak-pihak tertentu jangan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berdampak pada kekacauan di tengah masyarakat.
“Untuk itu kami menghimbau pihak pemerintah, TNI dan Polri, para calon gubernur, bupati, dan partai politik untuk jangan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu. Kami juga mengajak masyarakat dan seluruh elemen untuk peka dan tidak mudah diadu domba oleh pihak manapun,” ujar Kuayo mengingatkan.
Sebelumnya, media ini memberitakan, tokoh muda Papua Yakobus Dumupa, SIP, MIP mengatakan, konflik yang kerap terjadi antar kelompok masyarakat asli Papua maupun konflik internal orang asli tanah Papua yang berujung konflik dengan melibatkan komunitas suku masih saja terjadi di bumi Cenderawasih.
Konflik yang menggunakan senjata tajam berupa busur dan anak panah serta benda tajam lainnya bukan hanya memakan nyawa namun harta benda lainnya. Kelompok masyarakat asli tanah Papua juga tak segan-segan membunuh sesama saudaranya tanpa ada rasa bersalah selama konflik yang berujung perang anak panah atau senjata tajam antar anggota suku bahkan internal suku.
“Sampai sekarang masih saja terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang berujung melibatkan komunitas suku atau internal sesama anggota suku. Umumnya perang panah antar kelompok tertentu yang berujung melibatkan anggota suku lain atau antar warga di dalam suku dipicu masalah sengketa tanah adat, perempuan, kriminal, politik dan masalah lainnya. Konflik yang berujung perang suku seperti menjadi kebiasaan sehingga kerap disebut sebagai ‘budaya Papua’. Padahal bukan demikian,” ujar Yakobus kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (1/5).
Menurut Yakobus, mantan Bupati Kabupaten Dogiyai, hingga kini konflik antar sesama anggota masyarakat yang berujung perang suku melibatkan anggota suku atau internal anggota suku merupakan salah satu senjata ‘pemusnah masal di tanah Papua’. Di tengah kekhawatiran orang asli Papua dan sejumlah pihak lain terkait semakin sedikitnya populasi orang asli Papua, justru orang asli Papua dari wilayah tertentu gemar berkontribusi ikut memusnahkan orang asli Papua melalui ‘perang suku’.
“Selain orang asli Papua yang masih gemar melakukan perang suku, saya lihat adanya keterlibatan pihak lain atau pihak ketiga dalam setiap perang suku. Pihak ini sering berkontribusi ikut menciptakan perang suku bahkan memelihara perang suku,” ujar Yakobus, mahasiswa Program Doktor (S3) bidang Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua.
Pihak ketiga ini, ujar Yakobus, magister Ilmu Politik (S-2) jebolan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, mempunyai motif politik dan ekonomi yang besar di tanah Papua. Anehnya, banyak orang asli Papua dan para pihak yang sering berperang menggunakan senjata tajam tidak pernah menyadari tangan-tangan tersembunyi yang berbahaya ini.
“Kalau ingin hidup aman dan damai, kalau ingin menyelamatkan orang asli Papua, tidak ada pilihan lain selain stop atau berhenti melakukan perang suku. Orang asli Papua harus sadar diri bahwa perang suku adalah salah satu senjata pemusnah masal di tanah Papua, yang ikut berkontribusi memusnahkan orang asli Papua. Berhenti memproduksi masalah-masalah yang menciptakan perang suku. Kalau ada masalah, selesaikanlah dengan baik tanpa harus berperang menggunakan senjata tajam,” ujar Yakobus.
Yakobus juga mengingatkan pihak ketiga atau tangan-tangan tersembunyi yang diduga juga menciptakan dan memelihara perang suku demi kepentingan politik dan ekonomi segera agar sadar diri dan berhenti.
“Di atas kepentingan politik dan ekonomi, masih ada nilai kemanusiaan yang perlu dihormati dan dihargai. Tiap komunitas suku di internal masyarakat tanah Papua memiliki budaya yang menjunjung tinggi adat dan budaya untuk merawat komunitas masing-masing dalam semangat kasih serta persaudaraan,” kata Yakobus, penulis buku Goodide Awe Pito: Mengenang Lima Puluh Tahun Gereja Katolik dan Pendidikan di Goodide dan Mengenal dan Belajar dari Pemimpin Besar. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)