JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Dua jurnalis Indonesia masing-masing Safwan Ashari Raharusun dan Fransisca Christy Rosana (Cica) meraih penghargaan Udin Award 2025 bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-31 Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Safwan Ashari Raharusun adalah wartawan TribunSorong.com, sedangkan Fransisca Christy Rosana adalah wartawati Tempo. Pemberian penghargaan kepada dua jurnalis ini, tidak hanya bicara pada karya jurnalistiknya tetapi pada konteks sosial politik hari ini. Keduanya sama sama mengalami serangan karena pemberitaan terkait dengan perlawanan akan kekuasaan militer yang demikian kuat saat ini.
“Dua jurnalis ini merepresentasikan terkait kekerasan oleh pihak militer yang terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta dan Papua, yang masih terjadi. Bahkan kasus-kasus kekerasan tersebut belum tuntas penegakan hukumnya, sehingga telah terjadi impunitas atau pembiaran terhadap pelaku kekerasan,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman melalui keterangan yang diperoleh di Jakarta, Sabtu (9/8).
Menurut Herlambang, Safwan dan Cica sama-sama mengalami intimidasi dari teror yang pelakunya diduga dari pihak militer. Meski begitu, keduanya tetap berani secara konsisten menjalankan tugas jurnalistiknya, dalam kerangka menyuarakan isu hak asasi manusia di Sorong dan Jakarta.
Proses seleksi dan penerimaan nominasi penghargaan ini sekitar tiga minggu, dimulai sejak 7 Juli sampai 31 Agustus 2025. Panitia menginformasikan kepada lebih dari 30 AJI kota dan lembaga-lembaga mitra AJI untuk bisa mengirimkan usulan nama kandidat Udin Award 2025.
Panitia menerima delapan usulan nama kandidat penerima Udin Award 2025 dari beberapa AJI kota, yaitu AJI Semarang, Jakarta, Kupang, Mataram, dan Bireuen. Ada juga usulan nama dari individu di Maluku Utara serta Bidang Advokasi AJI Indonesia.
Panitia kemudian mengeliminasi empat nama yang belum sesuai dengan kriteria Udin Award serta menyerahkan empat nama kandidat kepada Dewan Juri. Dari empat nominasi tersebut, dewan juri membaca dalam konteks politik hari ini, bahwa kebebasan pers di berbagai daerah kian mengkhawatirkan seiring dengan menguatnya militerisme dalam pemerintahan yang tengah berkuasa.
Cica merupakan jurnalis Tempo yang mengalami teror bangkai kepala babi dengan telinga terpotong yang dialamatkan ke kantor Tempo. Tidak hanya itu, Cica juga mengalami doxing atau serangan digital, serta rangkaian serangan secara masif dan berkelanjutan usai liputan dalam siniar Bocor Alus Politik yang mengungkap keterlibatan militer dalam pembuatan perundangan dan bisnis ilegal.
Tidak hanya dirinya, tetapi serangan juga menyasar kepada keluarganya. Teror kemudian terus berlanjut ke kantor redaksi Tempo dengan pengiriman bangkai tikus dan serangan digital ke website dan media sosial Tempo. Cica juga berkesempatan masuk rombongan Pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Fransiskus selama perjalanan apostolik Sri Paus mulai dari Vatikan kemudian ke Indonesia, Papua Nugini, Republik Demokratik Timor Leste, dan Singapura September 2024.
“Dia jurnalis perempuan, yang telah mengalami ancaman yang masif dan terornya nyata. Diam atau dibunuh, itu sangat simbolik,” ujar Pengurus Bidang Advokasi AJI Indonesia Musdalifah.
Dewan juri menjelaskan, Cica sempat mengalami tekanan, meski redaksi Tempo tetap teguh membela dan mendampingi jurnalisnya. Serangan pada Cica dan Tempo, juri melihat ini sangat terstruktur dan menjadi bagian dari pola yang sistematis.
Berbeda dengan Cica yang memiliki dukungan sistem pendampingan yang baik, Safwan yang bekerja jauh di pelosok kota Sorong, juga menghadapi berbagai ancaman teror dan intimidasi. Safwan yang kini menjadi Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Papua Barat Daya, menjadi satu-satunya anggota AJI di Sorong.
Jurnalis yang bekerja di di daerah, khususnya di wilayah Papua, menghadapi tantangan yang kompleks dan harus lebih kuat ‘bertarung sendiri’ dengan situasi dan ancaman yang mereka hadapi. Safwan juga kerap melakukan advokasi untuk kasus serangan atau kekerasan jurnalis di Sorong.
“Semangat dari daya kritis Safwan dan Cica sangat merepresentasikan semangat Udin Award. Cica tetap berkomitmen menjalankan profesinya dan kritis meski serangan silih berganti bahkan juga menyasar keluarganya. Begitu juga Safwan, tetap kemerdeka dalam menulis berita di tengah minimnya perisai pengaman dan tingginya risiko serangan di barat Papua. Dia bahkan berkali-kali menerima teror dan pernah diserempet mobil usai meliput,” kata Direktur LBH Pers Jakarta Mustafa.
Safwan banyak menulis tentang pelanggaran yang dilakukan aparat militer yang membuat dirinya seringkali dicari oleh pihak yang tidak suka dengan beritanya dan pernah mendapatkan teror yang mengancam nyawa.
Meski ancaman dan minimnya dukungan, dewan juri menilai Safwan dan Cica masih tetap konsisten memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas untuk kepentingan publik serta tetap berani menyuarakan kritikan terhadap kekuasaan yang otoriter. Ini menjadi pesan penting dalam Udin Award tahun 2025.
“Dua penerima Udin Award 2025 ini sama sama petarung, dan menjadi simbol penting akan perlawanan terhadap kondisi politik saat ini. Keduanya juga mengalami tekanan langsung dari militer, dan kasusnya sama sama belum diselesaikan atau mengalami impunitas. Tetapi cara mereka bertahan berbeda. Ini menunjukkan bahwa penyelesaian kekerasan terhadap jurnalis tidak bisa diseragamkan. Harus dilihat konteks, risiko, dan keberanian masing-masing individu,” kata Herlambang.
Dewan juri menilai Safwan dan Cica menjadi pengingat bahwa kasus-kasus kekerasan jurnalis terus terjadi dan tidak pernah tuntas. Mulai dari intimidasi, doxing, ancaman hukum hingga kekerasan fisik yang terjadi dan berulang dalam pola impunitas yang dibiarkan begitu saja oleh negara.
Udin Award diambil dari nama panggilan harian Bernas Fuad Muhammad Syafruddin, yang meninggal pada 16 Agustus 1996 di Yogyakarta. Udin dianiaya orang yang tidak dikenal karena pemberitaan yang ditulisnya pada 13 Agustus 1996. Ia kemudian meninggal tiga hari kemudian. Sampai saat ini, kasusnya tidak tuntas diusut. Pembunuh Udin masih berkeliaran.
Melalui Udin Award, AJI ingin memberikan penghargaan kepada jurnalis maupun kelompok jurnalis profesional, dan memiliki dedikasi kepada dunia jurnalistik, serta menjadi korban kekerasan baik fisik atau psikis karena terkait langsung dengan aktivitas jurnalistiknya.
Penghargaan Udin Award ini, juga merupakan upaya untuk mendorong kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia. Setiap tahun, penghargaan diberikan kepada jurnalis atau kelompok jurnalis serta media yang menunjukkan keberanian luar biasa dalam melawan represi dan konsisten menyuarakan kebenaran untuk kepentingan publik melalui karya jurnalistiknya.
Tahun ini, dewan juri Udin Award 2025 terdiri dari Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman, Direktur LBH Pers Jakarta Mustafa Layong serta Pengurus Bidang Advokasi AJI Indonesia Musdalifah Fachri.
Ketiganya memutuskan Udin Award 2025 layak diberikan kepada Raharusun dan Cica karena keberanian dan konsistensinya melakukan kerja jurnalistik serta memproduksi produk jurnalistik yang kritis untuk kepentingan publik, meskipun kerap menerima ancaman, teror dan intimidasi. (*)