JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Anomali penegakan hukum di Indonesia khususnya di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terlihat vulgar dan masih berlangsung. Seorang terduga korupsi bernama Fredie Tan hingga kini tak tersentuh hukum. Sedangkan Hendra Lie, peniup peluit alias whistleblower justru dihukum atau menjadi korban kesewenangan proses penegakan hukum.
Menurut Hendra, kasus itu bermula saat ia whistleblower dalam kasus dugaan korupsi di tiga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Pada 2023 tiga BUMD itu yakni PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, dan PT Jakarta Propertindo dalam kerjasama dengan tujuh perusahaan swasta milik Fredie Tan, melaporkan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE kepada dirinya selaku whistleblower.
“Padahal negara sudah mengalami kerugian dari kerja sama itu dengan nilai kerugian diduga mencapai belasan triliun rupiah,” ujar Hendra Lie melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (8/11).
Padahal, lanjut Hendra, upaya negara melakukan pemberantasan korupsi juga menjadi komitmen Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pemerintah mulai dari pusat hingga daerah. Namun, lanjut Hendra, langkah memberantas praktik korupsi belum seirama dengan penegak hukum selaku ujung tombak pemberantasan korupsi hingga daerah.
“Proses peradilan sesat saya selaku whistleblower berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Selama ini getol menyuarakan dugaan korupsi oleh oknum pengusaha bernama Fredie Tan. Namun, justeru saya dijatuhi hukuman atas apa yang saya suarakan,” katanya.
Hendra menegaskan, upaya Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan dirinya menjadi korban bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang menjadi musuh utama bangsa.
“Saya bersama kuasa hukum tidak tinggal diam. Saat ini melalui kuasa hukum kami sedang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Kami berharap keadilan masih ada di negara ini,” ujar Hendra.
Hendra menegaskan, hukum seharusnya menjadi alat menegakan keadilan dan menghukum yang bersalah. Apalagi mereka terlibat dalam dugaan korupsi. Namun, hukum dipakai menjadi alat membungkam suara kritis masyarakat yang menyuarakan praktik korupsi.
Akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya sekaligus ahli yang terlibat dalam pembuatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Prof Hendri Subianto juga merasa sangat janggal atas pidana yang dikenakan kepada para pihak selaku whistleblower.
“Hendra selaku whistleblower dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE dalam podcast Kanal Anak Bangsa milik penggiat media sosial Rudi S Kamri,” ujar Prof Hendri Subianto.
Padahal, kata Subianto, suara kritis masyarakat tentang fakta bahwa terdapat dugaan korupsi dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku. Hukuman kepada Hendra selaku whistleblower tidak beralasan.
“Seharusnya kasus dugaan korupsi diusut terlebih dahulu sebelum dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE diproses secara hukum. Ada ketentuan hukum yang menjadi pemidanaan kepada peniup peluit,” ujar Subianto lebih lanjut.
Ketentuan dimaksud Subianto yaitu Pasal 45 Ayat 3 juncto Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang digunakan penuntut umum untuk mendakwa, yang kemudian dipakai majelis hakim untuk memutus Perkara Pidana Khusus Nomor 457/Pid.Sus/2025/PN Jkt Utr adalah pasal yang sudah tidak berlaku pada saat persidangan kasus tersebut dilaksanakan di PN Jakarta Utara.
Subianto menambahkan, Pasal aquo sudah diganti, sudah diubah, dan sudah diperbaharui menjadi Pasal 45 Ayat 4 juncto Pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024. Perubahan ini berlaku sejak diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang diundangkan pada 1 Januari 2024 di Lembaran Negara RI Tahun 2024 Nomor 1, kemudian Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905.
“Persidangan yang berlangsung tahun 2025 saat ini, seharusnya menggunakan pasal yang berlaku, bukan menggunakan pasal lama yang sudah diubah. Apa yang disampaikan oleh peniup peluit terkait dengan dugaan korupsi oleh Fredie Tan yang bekerjasama dengan perusahaan BUMD di lingkungan pemda DKI Jakarta bukan informasi hoaks,” kata Subianto tegas.
Namun, lanjut Subianto, informasi tersebut berasal dari sumber resmi lembaga negara yaitu Ombudsman RI, terkait fakta tentang temuan maladministrasi oleh Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Subianto menambahkan, maladministrasi tersebut yaitu tata kelola PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dalam kerjasama dengan perusahaan milik Fredie Tan.
Whistleblower, kata Subianto juga membongkar dugaan korupsi oleh oknum pengusaha bernama Fredie Tan dimaksud berdasarkan rekomendasi Ombudsman RI tahun 2014 kepada Direktur PD Pasar Jaya dan Gubernur DKI Jakarta mengenai keberatan ratusan orang pedagang pada pasar HWI/Lindeteves di Jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat atas biaya yang harus ditanggung dalam sewa pasar akibat adanya renovasi pasar.
“Whistleblower juga memiliki informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk media online bahwa Fredie Tan juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi namun dibebaskan oleh Kejaksaan Agung tahun 2014 tanpa alasan yang jelas,” katanya.
Hal tersebut, kata Subianto, disampaikan pula whistleblower di dalam podcast Kanal Anak Bangsa. Fredie bahkan terlibat dugaan korupsi dalam kerjasama dengan perusahaan BUMD di lingkungan Pemda DKI Jakarta yaitu PT Jakarta Propertindo dengan perusahaan miliknya sehingga diduga negara dirugikan belasan triliun rupiah.
Menurut Hendra, selaku whistleblower ia tidak tinggal diam sehingga saat ini didampingi tim penasehat hukumnya melaporkan dugaan korupsi dimaksud kepada Kejaksaan Agung melalui Jampidsus guna mengungkap tuntas kejahatan yang sengaja ditutupi oleh oknum penegak hukum yang tidak bertanggungjawab dengan mempidanakan dirinya.
“Belum ada preseden saya selaku whistleblower yang melaporkan perkara korupsi kemudian dipidana. Saya khawatir akan menjadi preseden buruk dalam era keterbukaan di mana diperlukan partisipasi masyarakat yang dijamin ketentuan hukum memberikan informasi atas dugaan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang kurang baik kemudian dipidana atas suara kritisnya,” kata Hendra. (*)










