Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)
SEJAK awal, saya ingin memperjelas sikap saya dengan jernih: yang saya tidak percayai adalah lembaganya, bukan orang-orang yang duduk di dalamnya. Saya menghormati siapa pun — terutama sesama orang Papua — yang kini menjadi bagian dari Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Saya tidak meragukan kemampuan mereka sebagai pribadi atau ketulusan sebagian dari mereka untuk berbuat sesuatu bagi Papua. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan: lembaga ini dibentuk di atas fondasi politik yang cacat dan rapuh.
Dan penting saya tekankan sejak awal: ketidakpercayaan ini bukan lahir dari sikap pesimis. Saya bukan orang yang mudah menyerah pada keadaan, bukan pula orang yang menolak semua upaya pemerintah. Saya tidak menulis ini karena rasa curiga atau kebencian, tetapi karena saya mencoba berpikir rasional. Saya menulis dengan memori panjang tentang pengalaman sejarah, dengan ingatan tentang pola-pola lama yang terus berulang. Justru karena saya berpikir rasional, saya menyimpulkan bahwa lembaga ini tidak akan berhasil. Ia akan gagal bukan karena Papua tidak bisa dibangun, tetapi karena cara negara membangunnya selalu salah.
Sejak Otonomi Khusus pertama kali diberlakukan, kita telah menyaksikan rangkaian panjang pembentukan lembaga serupa. Di era Susilo Bambang Yudhoyono, negara membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan narasi besar: mempercepat pembangunan dan membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua. Lembaga itu hadir dengan sorotan media nasional, dipimpin oleh orang yang dianggap mumpuni, dan diiringi janji besar dari Jakarta. Tapi kini, UP4B tinggal kenangan — lembaga yang mati perlahan, tanpa jejak berarti.
Di masa Joko Widodo, berbagai “tim koordinasi percepatan pembangunan” dan badan-badan ad hoc juga dibentuk. Retorika yang digunakan tidak jauh berbeda: mempercepat pembangunan, menghadirkan kesejahteraan, memperkuat koordinasi pusat dan daerah, serta memastikan orang Papua “ikut serta” dalam prosesnya. Namun semua itu berakhir sama: suara rakyat Papua tetap tidak terdengar, dan pembangunan tetap dipahami dari kacamata Jakarta, bukan dari realitas dan kebutuhan orang Papua sendiri.
Kini di masa Prabowo Subianto, negara kembali menapaki jalur yang sama dengan membentuk BP3OKP dan Komite Eksekutifnya. Saya tidak perlu menunggu bertahun-tahun untuk menyimpulkan nasibnya, karena arah kegagalannya sudah sangat jelas sejak awal.
Pertama, saya tidak percaya karena pengalaman panjang telah membuktikan kegagalan lembaga-lembaga semacam ini. Sejak dua dekade terakhir, terlalu banyak lembaga sejenis dibentuk dengan janji besar namun menguap tanpa hasil nyata. Mereka ramai di awal, menjadi sorotan media, tampil dalam pidato-pidato pejabat pusat, lalu redup dalam diam. Lembaga seperti ini selalu berhenti pada lapisan atas: rapat-rapat koordinasi, program seremonial, dan jargon pembangunan. Mereka gagal menembus lapisan terdalam: denyut kehidupan orang Papua di kampung-kampung, di tanah adat, di ruang-ruang nyata di mana penderitaan dan harapan bersinggungan setiap hari.
Kedua, saya tidak percaya karena lembaga ini tidak menyentuh akar masalah Papua. Papua bukanlah soal infrastruktur semata. Masalah Papua tidak akan selesai dengan jalan baru, jembatan panjang, atau gedung tinggi. Akar persoalannya jauh lebih dalam: ketidakadilan sejarah, diskriminasi sistematis, pengabaian terhadap hak politik dan hak atas tanah, serta perasaan terpinggirkan yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selama negara terus menghindari akar masalah ini dan hanya membangun lembaga sebagai “pagar indah” yang menutupi luka lama, maka hasilnya akan tetap sama: kegagalan.
Ketiga, saya tidak percaya karena BP3OKP dan Komite Eksekutif lahir di atas fondasi hukum dan politik yang rapuh. Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2021 telah melucuti banyak aspek kekhususan Papua yang dulu menjadi pijakan semangat Otsus. Revisi ini bukan penguatan, tetapi pelemahan. Ia mencabut ruang kedaulatan yang pernah dijanjikan negara kepada orang Papua. Maka ketika lembaga ini dibangun di atas undang-undang yang sudah kehilangan ruhnya, bagaimana mungkin ia bisa menghasilkan sesuatu yang kokoh dan bermakna?
Keempat, saya tidak percaya karena rakyat Papua sudah terlalu sering dikecewakan oleh janji negara. Janji demi janji terus diucapkan, namun kehidupan rakyat Papua di akar rumput tidak pernah benar-benar berubah. Kata “pembangunan” dan “kesejahteraan” terdengar indah di mimbar pejabat, tapi bagi banyak orang Papua, kata-kata itu justru identik dengan penggusuran tanah, peminggiran ekonomi, dan hilangnya kendali atas masa depan sendiri. Ketidakpercayaan ini bukan sikap yang lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari pengalaman panjang — dari luka yang diwariskan, dari kekecewaan yang tak sembuh-sembuh.
Dengan empat alasan inilah saya menyatakan ketidakpercayaan saya. Ini bukan pernyataan emosi sesaat, melainkan kesimpulan dari pengalaman hidup sebagai bagian dari rakyat Papua yang sudah terlalu sering menyaksikan janji dan kebijakan negara datang silih berganti, tapi selalu gagal menyentuh persoalan mendasar. Negara terus membentuk lembaga demi lembaga seakan-akan yang kurang selama ini hanya struktur organisasi baru. Padahal yang kurang bukan lembaga, melainkan kemauan politik yang jujur, kesediaan untuk mendengar, dan keberanian untuk menyentuh akar masalah.
Saya tahu, banyak pejabat di Jakarta mungkin akan mengatakan: “Berilah kesempatan kepada lembaga ini untuk bekerja.” Saya sudah bosan mendengar kalimat seperti ini. Kalimat itu terdengar setiap kali Jakarta membentuk lembaga baru. Tapi kesempatan telah diberikan selama lebih dari 20 tahun Otsus berjalan, dan yang lahir bukan perubahan yang bermakna, melainkan ketidakpercayaan yang semakin dalam. Saya juga tahu, ada orang Papua di dalam lembaga ini yang mungkin benar-benar ingin berbuat baik. Tapi niat baik personal tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki struktur kebijakan yang salah arah sejak awal.
Jakarta sering lupa: membangun Papua bukan soal membuat program atau lembaga baru. Membangun Papua berarti mengakui sejarah, memperbaiki ketidakadilan, dan menghargai martabat orang Papua sebagai manusia dan sebagai bangsa. Selama itu tidak dilakukan, lembaga apa pun yang dibentuk akan bernasib sama: gagal.
Dan inilah kenyataan yang saya sampaikan dengan jujur — bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengingatkan. Ini adalah kesaksian dari seorang anak Papua yang sudah terlalu sering menyaksikan rakyat Papua ditipu oleh janji dan lembaga buatan negara. Saya menulis ini agar mereka yang duduk di pusat kekuasaan tahu: kami mendengar, kami mencatat, kami mengingat.
Jika pemerintah pusat sungguh-sungguh ingin membangun Papua, langkah pertama bukan membentuk lembaga baru, melainkan mendengar suara rakyat Papua dan mengubah cara pandang terhadap Papua itu sendiri. Tanpa perubahan paradigma, BP3OKP dan Komite Eksekutif ini hanya akan menjadi satu lagi catatan panjang dari kegagalan negara — catatan yang akan menambah luka, bukan menyembuhkannya.