Oleh Willem Bobi
Mahasiswa Magister Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta, Solo
USAI pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa, SH dan Deinas Geley, S.Sos, M.Si kedua pucuk pimpinan ini disambut asa, harapan menggunung masyarakat di wilayah adat Meepago (Papua Tengah). Kedua pemimpin itu diharapkan mewujudkan janji politik semasa kampanye.
Salah satu wujud nyata janji kampanye politik Nawipa-Geley adalah kebijakan Nawipa-Geley di bidang pendidikan lahir. Namun, ada salah satu langkah kontroversial Gubernur Nawipa di bidang pendidikan yaitu menghentikan program beasiswa luar negeri. Ia menggantinya dengan penguatan kampus lokal. Langkah ini menuai polemik dan terjadi perdebatan di tengah masyarakat dan berbagai elemen.
Kebijakan penguatan kampus lokal terlihat berbeda dari pemerintah provinsi lain di tanah Papua. Para pemimpin di luar Papua Tengah malah membuka akses lebih luas bagi generasi mudanya untuk menempuh pendidikan di tingkat dunia.
Pertanyaan berkelebat. Apakah kebijakan penguatan kampus lokal merupakan langkah yang sungguh-sungguh murni untuk pembangunan sumber daya manusia (SDM) lokal? Pertanyaan lanjutan: apakah langkah itu sarat muatan politis di baliknya?
Redefinisi Arah Pembangunan
Gubernur Nawipa dalam beberapa pernyataannya menekankan perlunya membangun kampus unggulan di dalam Papua Tengah. Strategi ini tampak seperti redefinisi arah pembangunan pendidikan: dari mobilitas keluar, menjadi pembinaan dari dalam. Namun, ada sejumlah pertanyaan kritis di balik kebijakan penguatan kampus lokal.
Pertama, sejauhmana infrastruktur, mutu dosen, kurikulum, dan daya saing kampus lokal siap menjadi pengganti beasiswa luar negeri? Kedua, apakah telah dilakukan kajian kebutuhan tenaga kerja dan penyusunan peta jalan alias roadmap SDM yang transparan dan berbasis data?
Tanpa kejelasan indikator dan evaluasi publik, kebijakan ini mudah ditafsir sebagai langkah politis Gubernur Nawipa yang membatasi akses generasi muda Papua Tengah terhadap ilmu pengetahuan global. Dibanding daerah lain mengapa Papua Tengah mundur?
Provinsi seperti Jawa Barat, Kalimantan Timur bahkan provinsi daerah otonom baru (DOB) di tanah Papua seperti Papua Selatan tetap melanjutkan program beasiswa luar negeri dengan berbagai skema afirmatif. Sementara itu, Papua Tengah malah memutuskan arah berbeda dengan alasan “efisiensi” dan “kemandirian”.
Jika benar hal tersebut demi efisiensi anggaran, publik juga perlu tahu lebih detail sejumlah aspek penting. Pertama, berapa anggaran pendidikan Papua Tengah tahun 2024/2025? Kedua, bagaimana proporsinya untuk kampus lokal dengan pelatihan luar?
Ketiga, siapa mitra strategis yang membina universitas lokal untuk bisa berstandar nasional bahkan internasional? Tanpa transparansi dan partisipasi publik, kebijakan ini rentan menjadi kendaraan politik, bukan strategi jangka panjang meraih kualitas SDM di Papua Tengah.
Mutu dan Akses
Niat Gubernur Papua Tengah Nawipa membangun kampus lokal tujuannya tentu baik. Jauh lebih penting yaitu soal kualitas atau mutu pendidikan secara merata. Tetapi tidak cukup hanya dengan membangun gedung dan membuat nama baru.
Di sini ada aspek yang jauh lebih penting dibutuhkan. Pertama, jaminan mutu dosen dan pengembangan kompetensi berkelanjutan. Kedua, kurikulum yang terhubung dengan kebutuhan riil masyarakat Papua Tengah. Ketiga, kerja sama internasional agar mahasiswa tetap punya akses pada standar global.
Pendidikan global bukan kemewahan. Ia adalah jendela dunia yang memperkaya wawasan dan kemampuan anak muda Papua. Dengan menutup akses ini, Papua Tengah bisa terkunci dalam isolasi pendidikan dan kehilangan momentum pembangunan SDM unggul.
Politik Pendidikan
Gubernur Nawipa memiliki tanggung jawab sejarah untuk membuktikan bahwa kebijakan pendidikan di bawah pemerintahannya benar-benar untuk rakyat, bukan untuk agenda jangka pendek. Maka diperlukan audit kebijakan publik, evaluasi partisipatif, dan keterbukaan terhadap kritik.
Tanpa itu, roadmap pendidikan yang dibentuk hari ini bisa menjadi jebakan jangka panjang yang memperlambat kemajuan Papua Tengah dibandingkan daerah lain. Publik di Papua Tengah tentu tidak menolak pembangunan dari dalam.
Namun, publik menolak jika kesempatan belajar keluar dibatasi tanpa alasan transparan. Publik juga ingin maju, ingin berkompetisi di dunia global, bukan hanya di halaman sendiri.
Papua Tengah bisa menjadi provinsi unggul jika berani membuka diri dan tidak terjebak dalam politik tertutup. Pendidikan adalah pondasi masa depan. Jangan jadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan. (*)