![]()
TIOM, ODIYAIWUU.com — Pasca operasi militer terhadap pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) di Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan, Minggu (5/10) hingga Senin (27/10) ribuan warga Lanny Jaya masih berada di lokasi pengungsian tanpa akses.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) Theo Hesegem menyampakan kondisi itu setelah bersama tim kemanusiaan yang terdiri dari Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, dan Tim Kemanusiaan Lanny Jaya, Jumat (24/10) melakukan pemasangan baliho di Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage, dan Goa Balim sebagai tanda larangan perang di area sipil.
“Setelah terjadi penyerangan melalui udara Minggu (5/10) yang dilakukan aparat TNI terhadap pasukan TPNPB kelompok Puron Wenda di Kampung Wunabugu, Melagi, masyarakat kampung tersebut mulai mengungsi ke Kampung Yigemili,” ujar Hesegem dari Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Senin (27/10).
Menurut Hesegem, warga yang mengungsi di Yigemili sekitar 2.300 orang dan kini tinggal di Yigemili. Hingga Senin (27/10) atau memasuki 22 hari para pengungsi tinggal di tempat pengungsian tanpa akses. Seorang pendeta yang enggan disebut Namanya, lanjut Hesegem, menceritakan kejadian yang dialaminya.
“Pendeta itu menceritakan sambil menangis tentang penyerangan yang dilakukan oleh aparat TNI secara brutal pada Minggu, 5 Oktober 2025. Saat itu, seluruh Jemaat sudah bersiap mengikuti ibadah perjamuan Kudus. Namun, mereka tidak bisa mengikuti ibadah karena terjadi penyerangan secara tiba-tiba. Mereka kaget saat dua helikopter berputar dan melakukan penyerangan melalui udara sehingga jemaat tidak mengikuti ibadah dan perjamuan kudus,” katanya.
Pendeta itu mengisahkan, ia sudah menyiapkan perjamuan kudus mengingat setiap minggu pertama biasanya melayani perjamuan Jemaat. Namun perjamuan kudus saat itu tidak dilakukan karena diserang dengan tiba-tiba. Jemaat akhirnya bubar untuk menyelamatkan diri. Bahkan ada jemaat lari Wamena dan ada yang masih bertahan di pengungsian.
“Pak pendeta mengatakan hingga saat ini ada dua orang yang belum ditemukan keluarga mereka antara lain. Satu atas nama Wiringga Walia (22 tahun) meninggal dan korban lain Yoban Wenda (60) hilang. Wiringga diduga oleh TNI sebagai anggota OPM kelompok Puron Wenda,” ujar Hesegem.
Menurutnya, sejak kejadian di Yigemili warga kehilangan kebebasan dalam aktivitas, trauma dan diselimuti rasa takut. Warga tidak bisa menunaikan ibadah dengan tenang seperti biasanya tetapi beribadah di pengungsian di Yigemili.
“Untuk mengembalikan stabilitas kenyamanan dan kebebasan serta menciptakan suasana damai kepada masyarakat sipil dalam situasi konflik bersenjata kami bersama bersama tim kemanusiaan memasang baliho berisi prinsip-prinsip dasar HAM warga sipil dalam konflik bersenjata menurut hukum humaniter internasional,” katanya.
Hesgem mengatakan, dalam baliho ada beberapa pesan tertulis yang dicantumkan. Pertama, aparat TNI dan TPNPB tidak melakukan penyerangan di area masyarakat sipil, dan silakan tentukan tempat dan perang terbuka di hutan atau di luar dari Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage dan Goa Balim
Kedua, kepada anggota TNI (agar) tidak melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil di luar prosedur dan mekanisme Undang-Undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia
Ketiga, kami Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage dan Goa Balim mengharapkan kepada anggota TNI dan TPNPB melakukan tindakan terukur dan profesional. Sehingga tidak terjadi pembunuhan terhadap masyarakat sipil dengan dugaan pembunuhan di luar hukum
Keempat, kami masyarakat Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage dan Goa Balim telah sepakat dan menyampaikan kepada kedua belah pihak bahwa daerah tersebut tidak dijadikan sebagai sona perang, yang mengakibatkan terjadi pertumpahan darah bagi warga sipil.
Kelima, kami sangat berharap kepada TNI dan TPNPB tidak mengganggu segalah aktivitas masyarakat sipil seperti pendidikan, kesehatan, gereja dan perekonomian serta aktivitas sosial lainnya.
Keenam, kami juga berharap kepada kedua bela pihak yang berkonflik tidak melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat sipil. Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage dan Goa Balim.
Ketujuh, masyarakat Distrik Melagi, Melagineri, Wano Barat, Kwiyawage dan Goa Balim meminta kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai Panglima Tertinggi Tentara Nasional Republik Indonesia untuk menarik pasukan non-organik.
“Tujuan pemasangan baliho yaitu mengingatkan kepada kedua bela pihak, baik aparat TNI-Polri dan TPNPB OPM agar dapat menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional, HHI,” ujar Hesegem lebih lanjut.
Hesegem mengatakan, baliho dipasang sekitar 5 tempat, di antaranya di Lokasi pengungsian, depan Pos TNI, pertigaan menuju Kwiyawage dan Melagi, depan Kantor Distrik Melagi, pertigaan Melagineri dari Tiom Kota dan di depan Kantor KPU samping tempat putaran Tugu Salib.
“Kami tidak bermaksud untuk menyudutkan atau membatasi perang antara TNI dan TPNPB, namun masyarakat sipil harus dilindungi tanpa mereka mengalami tindakan kekerasan,” kata Hesegem, pegiat HAM senior tanah Papua. (*)










