Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pendahuluan
Pada 17 November 2025, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Resolusi Nomor 2803 dalam sidang resmi di Markas PBB, New York. Resolusi ini disahkan setelah perdebatan panjang antarnegara besar mengenai masa depan Gaza pascaperang yang menghancurkan hampir seluruh aspek kehidupan di wilayah itu. Secara formal, resolusi ini disebut sebagai upaya menstabilkan Gaza, mempercepat rekonstruksi, serta membuka jalan menuju penataan ulang politik dan keamanan. Namun ketika dokumen ini dibaca lebih dalam, tampak bahwa resolusi tersebut tidak lahir dari kekuatan Palestina sebagai subjek sejarah, melainkan dari kepentingan komunitas internasional yang ingin menata ulang kawasan sesuai kalkulasi politik mereka sendiri.
Bagi bangsa Palestina, resolusi ini hadir pada saat mereka berada dalam kondisi paling lemah: kota hancur, rakyat terserak, kekuatan politik terpecah, dan posisi diplomatik merosot. Dengan latar seperti itu, Resolusi 2803 lebih tampak sebagai penegasan bahwa Palestina kembali dipaksa menerima bentuk “tata kelola” yang tidak mereka pilih. Resolusi ini menjadi simbol bahwa dunia memilih mengatur Gaza dari luar ketimbang memperjuangkan kedaulatan rakyatnya. Inilah babak baru kekalahan Palestina, bukan karena mereka tidak berjuang, tetapi karena mereka kembali disisihkan dari proses penentuan masa depan mereka sendiri.
Resolusi yang Menata Gaza Tanpa Rakyat Gaza
Isi utama Resolusi 2803 adalah pembentukan Board of Peace, sebuah badan transisi yang terdiri dari perwakilan internasional yang akan mengelola administrasi, rekonstruksi, dan reformasi Gaza. Badan ini tidak dipilih oleh rakyat Palestina, tidak berakar pada legitimasi lokal, dan tidak bertanggung jawab kepada masyarakat Gaza. Dengan kata lain, fungsi pemerintahan inti diambil alih oleh pihak luar yang memegang mandat atas nama stabilisasi.
Selain itu, resolusi ini memandatkan pembentukan International Stabilization Force, pasukan keamanan asing yang bertugas menjaga stabilitas selama masa transisi. Jika fungsi pemerintahan berada di tangan Board of Peace dan fungsi keamanan berada di tangan pasukan internasional, maka Gaza praktis berada dalam struktur perwalian modern, meski tidak secara eksplisit disebut demikian. Ini bukan konsep self-governance, melainkan kontrol eksternal yang dibungkus dengan istilah diplomatik yang terdengar netral.
Tata kelola baru ini mungkin terlihat rapi dari luar, tetapi bagi rakyat Palestina ia menandakan hilangnya dua unsur terpenting dalam sebuah bangsa: kendali terhadap pemerintahan dan hak untuk menjaga keamanan sendiri. Ketika kedua unsur itu hilang, maka apa yang tersisa dari sebuah kedaulatan? Inilah alasan mengapa banyak rakyat Palestina melihat resolusi ini bukan sebagai pintu harapan, tetapi sebagai bentuk penataan ulang yang menjauhkan mereka dari posisi sebagai aktor politik.
Kekalahan Politik: Palestina Disingkirkan dari Meja Keputusan
Politik adalah soal siapa yang duduk di meja ketika keputusan besar dibuat. Dalam kasus Resolusi 2803, Palestina tidak berada di meja itu. Hamas secara tegas menolak resolusi ini, tetapi penolakan mereka tidak memiliki efek nyata. Otoritas Palestina tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi isi resolusi dan lebih banyak berdiri sebagai pengamat yang pasif. Negara-negara Arab yang dulu menjadi garda terdepan isu Palestina kini bersikap hati-hati dan pragmatis, lebih mempertimbangkan stabilitas kawasan dan hubungan internasional daripada pembelaan penuh terhadap aspirasi Palestina.
Di sisi lain, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menjadi penentu arah resolusi ini. Rusia dan China abstain bukan karena mendukung Palestina, tetapi karena mengikuti kalkulasi geopolitik mereka sendiri. Palestina, dalam konteks ini, hanyalah entitas yang dibicarakan, bukan pihak yang berbicara. Ketidakhadiran Palestina dalam proses pengambilan keputusan mengonfirmasi bahwa secara politik mereka kembali diposisikan sebagai objek, bukan subjek.
Kekalahan politik ini bukan hanya soal ketidakhadiran mereka dalam forum resmi. Ini adalah kekalahan yang berasal dari fragmentasi internal Palestina, melemahnya struktur politik, dan menurunnya posisi tawar mereka di panggung global. Ketika sebuah bangsa tidak mampu menentukan arah pembicaraan tentang masa depannya sendiri, maka bangsa itu secara politik telah dikalahkan, meskipun tidak ada satu pun tembakan yang dilepaskan saat resolusi ditetapkan.
Kekalahan Diplomatik: Janji yang Kembali Ditunda
Dalam resolusi-resolusi PBB sebelumnya, prinsip hak menentukan nasib sendiri selalu muncul sebagai janji masa depan. Dalam Resolusi 2803, frasa itu kembali hadir, tetapi dengan syarat-syarat baru yang panjang dan tidak jelas. Palestina disebut “mungkin” menuju penentuan nasib sendiri setelah rekonstruksi berjalan, setelah struktur pemerintahan baru berhasil dibentuk, dan setelah kondisi keamanan dinilai stabil. Tidak ada batas waktu, tidak ada garis jelas, tidak ada mekanisme terukur. Semuanya bersifat abstrak dan bergantung pada dinamika politik internasional.
Inilah bentuk diplomasi yang tidak memihak Palestina. Ia mengulang pola lama: meminjam istilah self-determination sebagai retorika moral, tetapi tidak mendesain jalur yang dapat memastikan hak itu diwujudkan. Negara-negara besar bisa bertepuk tangan setelah resolusi disahkan, tetapi Palestina tetap berada di titik awal yang sama seperti beberapa dekade lalu: menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.
Kekalahan diplomatik terjadi ketika dunia internasional berkali-kali mengulangi janji yang sama tanpa kemauan politik untuk mengubah realitas di lapangan. Palestina telah berkali-kali mendengar janji itu, mulai dari pembagian wilayah 1947, kesepakatan Oslo, hingga berbagai resolusi yang menyusul. Tetapi setiap janji diikuti dengan syarat, setiap syarat diikuti dengan birokrasi, dan setiap birokrasi menunda hak yang seharusnya sudah diberikan sejak lama.
Kekalahan Hukum: Gaza Masuk Dalam Perwalian Modern
Resolusi 2803 secara teknis tidak menyebut Gaza sebagai wilayah di bawah perwalian. Namun jika fungsi pemerintahan dan keamanan dikendalikan oleh badan internasional, maka secara substantif Gaza berada dalam apa yang bisa disebut sebagai international guardianship. Ini bukan bentuk penjajahan tradisional dengan bendera dan tentara, tetapi bentuk pengendalian struktural melalui badan transnasional yang diberi mandat atas nama stabilitas.
Dalam hukum internasional, perwalian semacam ini hanya bisa diterapkan ketika penduduk lokal menyetujuinya atau ketika ada mandat internasional yang tidak dapat ditolak. Dalam kasus Gaza, tidak ada mekanisme yang meminta persetujuan rakyatnya. Tidak ada referendum. Tidak ada suara rakyat yang menentukan apakah mereka bersedia berada dalam transisi yang panjang di bawah badan asing. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak bekerja untuk melindungi hak politik rakyat Palestina, melainkan bekerja sebagai kerangka yang merapikan keputusan politik yang sudah ditentukan oleh negara besar.
Kekalahan hukum ini lebih menyakitkan karena selama puluhan tahun Palestina berjuang dalam jalur hukum internasional untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak mereka. Tetapi dalam resolusi terbaru ini, hukum justru digunakan untuk melegitimasi pengambilalihan kewenangan mereka.
Kekalahan Militer: Ketika Gaza Tidak Lagi Dapat Bernegosiasi
Kekalahan militer Gaza adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Perang panjang yang meluluhlantakkan wilayah itu membuat kemampuan perlawanan melemah secara drastis. Infrastruktur hancur, komando lapangan putus, persenjataan menipis, dan kemampuan bertahan tidak lagi seimbang dengan kekuatan yang dihadapi. Tanpa kapasitas militer yang berarti, Palestina tidak bisa berada di posisi tawar yang kuat dalam proses diplomatik apa pun.
Resolusi 2803 disahkan bukan ketika Palestina memiliki kekuatan untuk bernegosiasi, tetapi ketika mereka berada dalam posisi tidak dapat menolak. Inilah bentuk kekalahan militer yang bertransformasi menjadi kekalahan politik. Negara yang kalah secara fisik dalam perang akan kehilangan daya tawar dalam perundingan. Gaza kini berada dalam posisi itulah: dipaksa menerima keputusan dari luar karena tidak memiliki pilihan lain.
Kekalahan militer ini juga memengaruhi psikologi rakyatnya. Trauma, ketakutan, dan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup membuat mereka tidak memiliki ruang untuk memikirkan politik jangka panjang. Rakyat hanya ingin selamat. Dalam keadaan seperti ini, menerima intervensi asing seringkali dianggap lebih baik daripada bertahan dalam situasi tidak aman. Ini adalah kekalahan psikologis yang membentuk ulang cara bangsa melihat dirinya sendiri.
Kekalahan Sosial dan Psikologis: Ketika Harapan Diremukkan
Di balik kekalahan militer dan politik, ada kekalahan yang jauh lebih sunyi: kekalahan sosial dan psikologis. Gaza menyimpan luka kolektif yang sangat dalam. Kehilangan keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan kesehatan mental, dan kehilangan rasa aman adalah kenyataan sehari-hari. Ketika masyarakat hidup dalam trauma berkepanjangan, maka energi untuk menuntut hak politik akan merosot. Mereka membutuhkan pertolongan cepat, bukan percaturan politik. Mereka membutuhkan stabilitas, bukan peralihan kekuasaan yang rumit.
Kondisi inilah yang membuat resolusi internasional mudah masuk. Rakyat Gaza dalam kondisi seperti ini tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Mereka tidak punya waktu, tenaga, atau daya tawar. Ini adalah kondisi yang membuat kekalahan sosial menjadi fondasi kekalahan politik yang lebih dalam. Dalam keadaan paling lemah, sebuah bangsa sangat mudah diarahkan, sangat mudah dikendalikan, dan sangat mudah dibuat menerima sesuatu yang bertentangan dengan aspirasinya.
Kekalahan Ekonomi: Rekonstruksi yang Menguntungkan Pihak Luar
Gaza akan segera memasuki tahap rekonstruksi besar-besaran. Tetapi rekonstruksi ini tidak dikelola oleh rakyat Gaza atau oleh kebijakan pembangunan yang dirancang Palestina. Rekonstruksi ini akan dikendalikan oleh lembaga donor, bank internasional, dan kontraktor asing. Uang akan mengalir, tetapi alirannya ditentukan oleh agenda politik dan ekonomi global. Gaza akan dibangun kembali dengan uang yang tidak mereka kendalikan dan oleh pihak yang tidak hidup di tanah itu.
Hal ini menimbulkan bentuk ketergantungan ekonomi yang baru. Gaza tidak akan memiliki ruang untuk menentukan prioritas pembangunan, karena struktur pendanaan akan mengikuti keputusan badan internasional. Pembangunan tidak mengikuti kebutuhan lokal, tetapi mengikuti agenda “stabilisasi” dan governance yang dirancang dari luar. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini adalah bentuk kolonialisme ekonomi yang membungkus diri dalam bahasa rekonstruksi.
Kekalahan Nasional: Palestina Kian Menjauh dari Negara Merdeka
Dua wilayah inti Palestina—Gaza dan Tepi Barat—kini berada dalam kondisi yang semakin menyulitkan. Gaza berada di bawah struktur transisi internasional, sedangkan Tepi Barat terus mengalami tekanan akibat ekspansi pemukiman Israel. Otoritas Palestina yang semula diharapkan menjadi fondasi negara masa depan semakin kehilangan legitimasi dan kapasitas. Dalam situasi seperti ini, visi negara Palestina semakin pudar dari kenyataan.
Resolusi 2803 tidak menempatkan negara Palestina sebagai prioritas, melainkan menjadikannya harapan samar yang menggantung di ujung dokumen. Tidak ada jalur konkret menuju kemerdekaan. Tidak ada mekanisme negosiasi final. Tidak ada tekanan bagi Israel untuk mengakhiri pendudukan. Semua hanya kemungkinan yang bersayap retorika. Inilah kekalahan nasional paling menyakitkan: ketika dunia memilih stabilitas sebagai nilai tertinggi dan menempatkan kemerdekaan rakyat Palestina sebagai isu sekunder.
Penutup
Resolusi DK PBB No. 2803 Tahun 2025 adalah kemenangan politik bagi para penguasa dunia, tetapi kekalahan mendalam bagi rakyat Palestina. Resolusi ini menata Gaza dengan rapi, tetapi tanpa kedaulatan. Ia menjanjikan stabilitas, tetapi stabilitas itu milik orang lain. Ia memberi jalan transisi, tetapi transisi itu tidak dikendalikan oleh Palestina. Inilah kekalahan yang tidak datang dalam bentuk ledakan, tetapi datang dalam bentuk dokumen resmi yang mengetuk pintu masa depan Gaza tanpa mengetuk pintu rakyat Gaza.
Palestina kembali harus menerima kenyataan pahit bahwa perjuangan mereka belum selesai dan mungkin tidak akan selesai dalam waktu dekat. Dunia tidak memberikan mereka negara. Dunia memberikan mereka perwalian. Dan perwalian bukanlah kemerdekaan. Ini adalah bab baru dalam perjalanan panjang bangsa yang terus ditunda haknya, terus dijauhkan dari kedaulatannya, dan terus dipaksa tunduk pada keputusan yang tidak mereka buat.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang terjajah tidak selamanya kalah. Palestina telah berkali-kali jatuh, tetapi juga berkali-kali bangkit. Dan meskipun Resolusi 2803 menandai kekalahan yang besar, ia tidak menghapuskan hak moral rakyat Palestina untuk merdeka. Jalan menuju kebebasan mungkin panjang dan berliku, tetapi selama ada bangsa yang bersedia mempertahankan identitas dan tanahnya, harapan itu tidak akan padam.









