KARUBAGA, ODIYAIWUU.com — Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat diminta mengusut indikasi pemotongan dana desa secara ilegal selama 15 tahun terakhir oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan. Pasalnya, tindakan tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang.
“Kami meminta kepada pihak berwajib agar menindaklanjut laporan kami. Pemotongan dana desa yang terjadi selama ini di Tolikara perlu ditindak tegas sesuai prosedur hukum yang berlaku,” ujar Ketua Lembaga Perjuangan Hak Buruh Indonesia (LPBHI) Provinsi Papua Pegunungan Perius Kogoya, S.Ars dari Karubaga, Papua Pegunungan, Rabu (19/11).
Perius mengingatkan, dana desa sesungguhnya tidak boleh dipotong oleh dinas terkait atau pihak manapun karena bertentangan atau melanggar hukum. Dana desa adalah hak penuh pemerintah dan warga masyarakat kampung untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat kampung sesuai aturan yang berlaku.
Peruntukan dana desa sudah memiliki dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 72 UU tersebut menyebutkan, dana desa adalah bagian dari transfer pemerintah pusat langsung ke rekening desa.
Dasar hukum lainnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Di dalam Permendagri disebutkan, dana desa tidak boleh dialihkan, dipotong atau digunakan oleh pihak lain di luar pemerintah desa.
Selain itu, rujukannya yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia di mana disebutkan bahwa transfer dana desa dilakukan langsung dari rekening kas negara ke rekening kas desa melalui rekening kas daerah tanpa potongan apapun.
“Sejak lama terjadi indikasi pemotongan dana desa di Tolikara dalam jumlah besar. Dana pemotongan ini peruntuhkan untuk apa, perlu diperjelas sehingga kami meminta Polda Papua dan Kejati bertindak tegas menangani kasus pemotongan dana desa yang selama ini merajalela,” katanya.
Perius menegaskan, pemotongan dana desa adalah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dana desa adalah milik masyarakat sehingga harus dijaga dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pelaku bisa dikenakan hukuman yang setimpal,” ujarnya.
Perius menjelaskan, selama 15 tahun terakhir sebanyak 562 desa di Tolikara terdapat indikasi pemotongan dasa desa bervariasi. Indikasi pemotongan dana desa per tahun per desa dipotong untuk Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Tolikara sebesar Rp 20 juta.
Kemudian, pemotongan untuk pihak keamanan sebesar Rp 20 juta per desa per tahun, untuk pendamping desa per desa per tahun sebesar Rp 30 juta dan untuk camat sebesar Rp 30 juta per desa per tahun.
“Pemotongan per desa per tahun sebesar Rp 100 juta sehingga dari 562 desa total yang dipotong adalah Rp 56 miliar lebih. Dari pemotongan ini ada fee masuk ke BRI sekitar jutaan rupiah,” katanya.
Jumlah daba desa yang dipotong selama kurang lebih 15 thun terakhir ini perlu dipertanggungjawabkan. Hal ini penting karena aturannya jelas yaitu dana desa tidak boleh dipotong pihak manapun.
Menurut Perius, permintaan mengusut indikasi pemotongan dana desa tidak hanya disampaikan kepada pihak Polda Papua dan Kejati. Permintaan tersebut juga disampaikan kepada Inspektorat Daerah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak penegak hukum diminta untuk menindak tegas kasus pemotongan dana desa di Tolikara. (*)










