Oleh Ruben Benyamin Gwijangge
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura
PEMERINTAH Kabupaten (Pembab) Jayawijaya akan menggelar agenda besar bertajuk Hari Jayawijaya Bertaubat pada Kamis, 31 Juli mendatang. Agenda tersebut merupakan bagian dari rekonsiliasi sosial yang dirancang dalam Program 100 Hari Kerja Athenius Murib, SH, MH dan Ronny Elopere, Bupati dan Wakil Bupati terpilih hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Kabupaten Jayawijaya tahun 2024.
Dalam surat edarannya, Pemkab Jayawijaya menghimbau seluruh warga menghentikan aktivitas selama sehari penuh untuk berdoa dan berpuasa sebagai refleksi bersama atas konflik dan kekerasan masa lalu di daerah ini.
Gagasan ini tentu punya niat baik. Doa dan puasa bisa menjadi simbol pertobatan kolektif yang bermakna dalam tradisi rohani masyarakat Pegunungan Papua. Namun, sebagai warga yang mencintai Jayawijaya, ada beberapa hal yang perlu penulis utarakan. Mengapa? Rekonsiliasi tidak bisa sekadar dibangun dengan doa.
Perdamaian Bukan Turun dari Langit
Perdamaian dan keamanan bukanlah hasil dari seremoni spiritual semata. Ia adalah output langsung dari kebijakan yang adil, program-program yang berpihak kepada rakyat kecil, dan keberanian untuk memperbaiki struktur ketidakadilan yang telah lama berlangsung.
Doa yang dilakukan tanpa perubahan kebijakan hanya akan menjadi ritual kosong. Ia tidak menyentuh akar masalah, tidak menjawab luka-luka struktural, dan tidak membawa harapan bagi mereka yang hidup dalam keterpinggiran.
Di tengah kota Wamena, pemerintah dan masyarakat Jayawijaya masih bisa menyaksikan anak-anak kecil hidup di jalanan. Mereka dikenal publik sebagai ‘anak-anak aibon’. ‘Anak-anak aibon’ adalah potret nyata dan simbol dari kegagalan negara hadir untuk generasi Papua.
Mereka —‘anak-anak aibon’— kehilangan hak atas pendidikan, perlindungan, bahkan atas masa depan. Di lain sisi, mereka adalah produk sosial yang terpaut jauh dari penglihatan mata negara di daerah dalam aspek kebijakan publik (public policy).
Apakah doa kolektif mampu menjawab kebutuhan anak-anak ini? Apakah puasa bersama cukup untuk menghapus jejak ketidakadilan yang membuat mereka bertahan hidup dari menjual lem dan kertas bekas? Pertanyaan retoris reflektif itu pantas diajukan ke tengah Hari Jayawijaya Bertaubat.
Jika Pemkab Jayawijaya di bawah kepemimpinan Bupati Athenius dan Wakil Bupati Elopere serius ingin berdamai, idealnya harus mulai dari mereka yang paling tertinggal, tak terkecuali ‘anak-anak aibon’. Mulai dari memberi makan yang lapar, memberi tempat tinggal yang aman, dan pendidikan bagi yang terlantar.
Tinggalkan Politik Balas Dendam
Lebih dari itu, oleh karena rekonsiliasi ini digagas oleh pemimpin formal hasil Pilkada 2024, penting untuk ditekankan bahwa rekonsiliasi sejati tidak akan pernah lahir dari dendam politik atau balas jasa. Jika pemimpin masih menyimpan luka kekuasaan, lalu membalasnya lewat penyingkiran kelompok yang tak sejalan politik, “damai” hanya akan jadi retorika palsu bahkan kian menjauh dalam relasi sosial.
Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya —Athenius dan Elopere— harus membuktikan bahwa mereka pemimpin bagi seluruh rakyat Jayawijaya. Duo pemimpin ini bukan sekadar hadie bagi para pendukung politiknya. Seluruh warga, tanpa dikotomi marga, wilayah, agama, maupun afiliasi politik wajib dirangkul setara agar mereka juga bergandengan tangan bersama pemerintah dan masyarakat terlibat dalam menyukseskan berbagai rencana dan agenda pembangunan.
Rekonsiliasi bukan hanya tentang minta ampun pada Tuhan, tapi juga tentang menebus dosa sosial dan politik dengan mengubah cara negara hadir di tengah masyarakat. Karena itu, Pemda Jayawijaya harus melanjutkan agenda rohani ini ke dalam bentuk nyata. Rekonsiliasi yang membumi.
Rekonsiliasi dimaksud diarahkan dalam beberapa aspek penting. Pertama, program afirmatif untuk anak-anak jalanan dan masyarakat miskin. Kedua, pendidikan gratis dan bermutu bagi anak asli Papua.
Ketiga, reformasi birokrasi dan penghapusan pungutan liar. Keempat, transparansi anggaran dan pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan. Kelima, pemberdayaan kampung secara langsung, bukan lewat kontraktor elite.
Jika Pemda Jayawijaya ingin dikenang sebagai pembawa damai sejati, maka rekonsiliasi ini harus dimulai dari tindakan nyata, bukan sekadar aspek seremonial. Doa adalah awal yang baik. Tapi damai dan keadilan hanya bisa lahir jika ada keberanian politik untuk berubah.
Dari doa lalu mewujud tindakan konkrit. Mengapa? Doa yang tidak menyentuh perut lapar, tidak melindungi anak terlantar, dan tidak menghapus diskriminasi hanya gema dalam kehampaan.