OPINI  

Pemekaran Distrik dan Kesiapan SDM Tolikara

Neky Yigibalom, Aktivis Muda Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Neky Yigibalom

Aktivis Muda Tolikara

RAKYAT Tolikara dikagetkan dengan inisiatif para anggota DPRK Tolikara bersama Pemerintah Daerah setempat mendorong lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait Pemekaran Distrik Linggirani, Wondame, Kokondao, Sebey, Dorman, Piogi, Wandugineri, Wandikwanena, Nalorini, Biranoma, Wonome, Kupara, Aburyumaga, Logoboma, Gwiga, Yalipila, Igari, Bewaky, Kageluk, Tonomangen, Umaga, Abena, Arombok, Ambibak, Komereb, Iguwa dan Distrik Enenggename pada Jumat (22/8) lalu.

Rencana DPRK dan Pemkab Tolikara tentu tak membuat penulis alergi terhadap pemekaran sejumlah distrik di wilayah kabupaten di Papua Pegunungan itu. Namun, mencermati dan menganalisis kebutuhan lahirnya sejumlah distrik baru sesungguhnya menjadi sebuah agenda dan rencana yang perlu membutuhkan kajian lebih komprehensif. Rencana pemekaran sejumlah distrik baru dapat dibaca dalam konteks politik sekadar hidden agenda (agenda terselubung) jelang Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2029. 

Dalam bacaan penulis, para wakil rakyat di DPRK Tolikara terkesan berlebihan memanfaatkan kesempatan pemekaran sekadar namanya diabadikan sebagai pahlawan pemekaran dalam pawai pembangunan. Para wakil rakyat Tolikara terkhusus mereka yang berada di wilayah calon distrik baru. Mereka, para wakil rakyat, menunjukkan diri seolah-olah berhati mulia karena kebaikan hati melalui langkah pemekaran sejumlah distrik baru di Tolikara. 

Motif di Balik Pemekaran

Masyarakat yang tidak kritis tentu senang karena gaya serta motivasi DPRK Tolikara terbalut dalam rencana pemekaran. Jejak langkah para wakil rakyat menapaki waktu lima tahun ke depan seolah tidak dibaca warga masyarakat yang kritis dan cerdas. 

Rencana pemekaran ini bisa dikatakan sebagai model dan modal politik lima tahun mendatang menjemput demokrasi elektoral lewat Pemilu Legislatif (Pileg). Rencana ini bisa dimaklumi mengingat tugas formal para wakil rakyat tersisa empat tahun di kursi kekuasaan formal. Karena itu, jelang musim politik Pileg 2029 mereka dengan mudah mencari pasokan dukungan suara terhadap rakyat yang ada di wilayah distrik baru hasil pemekaran.

Kendati dugaan politis seperti itu, sisi lain elit dan legislatif berdalil pemekaran distrik untuk mempercepat pembangunan dan mengatasnamakan pelayanan masyarakat Tolikara. Namun, di sisi lain pihak tersimpan kepentingan elit di balik rencana pemekaran sejumlah distrik baru. 

Dalam buku karyanya, Jeritan Bangsa (2007) Sendius Wonda menegaskan, pemekaran wilayah, termasuk pemekaran distrik bukan merupakan juru selamat dalam mengangkat kesetaraan dan derajat sosial ekonomi sebuah kehidupan yang lebih maju dan lebih sejahtera bagi rakyat Papua, khususnya rakyat Tolikara. 

Malah ada motif di baliknya. Pemekaran yang marak di mana-mana di tanah Papua tidak lebih dari penyesatan politik pembangunan dan mengkotak kotakkan rakyat dari satu kesatuan kehidupan yang selama ini berdampingan dan erat dalam relasi komunal.

Pemekaran sejumlah distrik dalam konteks Tolikara adalah sesuatu yang tidak produktif. Pemerintah daerah dan DPRK Tolikara idealnya mempertimbangkan sejumlah aspek penting sebagai prasyarat mutlak ihwal di balik rencana pemekaran. 

Misalnya, soal pembangunan infrastruktur, kesiapan sumber daya manusia (SDM) aparatur yang akan ditempatkan di setiap distrik serta jumlah penduduk. Sorotan penting yang perlu dilihat di sini adalah kesiapan SDM dan jumlah penduduk. 

Karena pemekaran distrik bukan jatuh begitu pada rumputan atau pohon pohon yang ada di sekitarnya. Pemekaran jatuh pada manusia sehingga aspek penduduk menjadi amat penting dipertimbangkan dalam keseluruhan tahapan dan proses pemekaran.

Begitu pula SDM. Pemekaran tanpa SDM ibarat pesawat tanpa pilot. Pemekaran seumpama pesawat yang baru dirakit oleh legislatif untuk masyarakat tetapi sulit diterbankan karena tidak ada pilot profesional menerbankan pesawat. Bila terjadi seperti itu, maka lama kelamaan pesawat rusak dengan sendirinya. Bahkan pesawat bisa mendarat di atas rumput yang tinggi. 

Niat pemerintah daerah dan DPRK Tolikara memekarkan sejumlah distrik tidak jadi masalah tetapi muncul pertanyaan: siapa yang akan ditempatkan untuk melaksanakan pemerintahan di wilayah distrik? Penduduk Tolikara sudah minim, apalagi siap dari aspek SDM. Kini, hanya bisa dihitung dengan jari. 

Pemerintah daerah dan legislatif seharusnya cerdas melakukan kajian layak tidaknya dilakukan pemekaran distrik. Ada kesan rencana pemekaran itu terburu-buru. Catatan ini sekaligus kritik dan masukan atas Ranperda terkait pemekaran distrik baru di Tolikara, tanah Injil.