OPINI  

Papua, Tanah yang Menguras Curiosity

Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev, Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Uncen Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Imanuel Gurik

Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua  

PAPUA adalah tanah yang selalu memikat hati, menggetarkan jiwa sekaligus membangkitkan rasa ingin tahu (curiosity). Dari jauh, Papua terlihat seperti surga terakhir di bumi, tanah yang belum terjamah sepenuhnya oleh modernitas. Papua juga bertabur hutan perawan, gunung berlumur salju abadi, sungai besar hingga kecil yang membelah hutan dan berpenghuni masyarakat adat yang saban waktu merawat warisan leluhur sejak ribuan tahun silam.

Namun, semakin dekat kita mengenal Papua, semakin pula kita sadar bahwa tanah ini bukan sekadar eksotik di semua sisinya tetapi menyimpan misteri kehidupan yang sulit diungkapkan. Misteri Papua tidak hanya terletak pada kekayaan alamnya yang seolah tak berkesudahan tetapi juga pada manusia, budaya, sejarah bahkan aspek spiritualitas yang menyertainya.

Papua adalah sebuah teka-teki yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan logika, tetapi harus dengan hati, iman, dan penghargaan dalam relasi rohani maupun spiritual. Papua bukan sekadar sebuah wilayah administratif di ujung timur Indonesia. Papua adalah jantung identitas bangsa, sebuah cermin bahwa Indonesia adalah negeri yang benar-benar ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam misteri Papua, tersimpan pula misteri bangsa ini, sebuah frasa reflektif: apakah kita sungguh mampu menjaga, merawat, dan membangun keberagaman menjadi kekuatan? Papua bukan sekadar kisah tentang keterisolasian fisik, melainkan juga kisah keterkaitan satu sama lain. Orang Papua adalah bagian dari migrasi manusia purba dari Afrika, yang tiba di tanah ini lebih dari 50 ribu tahun silam. Dari generasi ke generasi, mereka bertahan hidup di lembah nan subur, di gunung hingga dataran tinggi bahkan di pesisir laut yang kaya biota.

Pesona yang Penuh Misteri

Papua adalah pulau jumbo di wilayah paling timur Indonesia yang tak hanya menyimpan aneka kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah. Di sisi lain, Papua juga menyimpan misteri dalam sejarah perjalanan manusia Melanesia yang menguras curiosity. Salah satunya, misteri asal usul leluhur Papua. Bagaimana mungkin manusia bisa menetap di daerah pegunungan tinggi dengan kondisi alam yang keras ribuan tahun lalu?

Jejak arkeologi di Danau Sentani, Lembah Baliem, dan Pegunungan Bintang membuktikan keberadaan manusia purba yang hidup dengan pola berburu dan meramu, lalu beralih ke pertanian sederhana. Tetapi bagaimana mereka mampu membangun sistem sosial yang kokoh tanpa pengaruh luar selama berabad-abad? Catatan sejarah menyebut Papua sudah lama berhubungan dengan Tidore, Ternate, dan Maluku. Ada perdagangan burung Cenderawasih, hasil hutan bahkan budak. Namun, tidak ada catatan jelas tentang kerajaan besar di Papua sebagaimana di Jawa, Sumatera, atau Sulawesi. Apakah Papua memang sejak awal hidup dalam sistem egaliter berbasis marga dan suku, bukan kerajaan sentralistik? Ini masih pula menjadi misteri.

Tanggal 5 Februari 1855 adalah tonggak penting. Dua misionaris, Ottow dan Geissler, datang membawa Injil di Pulau Mansinam. Aspek menarik dan menakjubkan adalah bagaimana Injil begitu cepat diterima di banyak tempat, sedangkan di sisi lain orang Papua memiliki kepercayaan tradisional yang kuat. Seorang tokoh adat di Biak pernah mengungkapkan, “kami dulu berjalan dalam kegelapan. Tetapi kini terang itu sudah datang.” Rahasianya, Injil menjadi bagian dari rencana Tuhan bagi manusia dan alam Papua. Tak berlebihan, Papua kerap disematkan dengan frasa: surga kecil yang jatuh ke bumi.

Surga Tersembunyi di Timur

Papua adalah salah satu wilayah dengan kekayaan alam terbesar di dunia. Tidak berlebihan Papua disebut Amazon dari Asia-Pasifik. Ia (Papua) ditaburi gunung, lembah, ngarai, danau, dan bentang alam lainnya nan indah. Puncak Cartenz yang diselimuti salju abadi di daerah tropis adalah misteri alam yang menyihir para pelancong domestik maupun global. Lembah Baliem, Toli, dan Mamberamo menyimpan komunitas manusia yang baru dikenal dunia di abad ke-20. Bagaimana mereka bisa hidup terisolasi begitu lama adalah sebuah keajaiban.

Pesona hutan dan sungai pun tak jauh berbeda. Sungai Mamberamo misalnya disebut sebagai Amazon Papua. World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat, masih banyak spesies tumbuhan dan satwa yang belum terdata. Berapa banyak lagi rahasia alam Papua yang belum tersingkap? Ini pertanyaan menarik lainnya. Sedangkan potensi perut bumi Papua di sektor energi dan pertambang (mining) tak perlu diungkapkan lagi. 

Dunia pun tahu. Papua menyimpan tambang emas terbesar di dunia seperti Freeport Indonesia yang beroperasi di lereng gunung Nemangkawi. Tetapi mengapa tanah yang begitu kaya justru masih memiliki angka kemiskinan tertinggi di Indonesia? Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat, kemiskinan Papua mencapai 26,56 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Misteri besar ini adalah ironi yang melumuri wajah pembangunan setiap berganti rezim.

Misteri budaya Papua juga adalah mosaik yang hidup. Papua adalah rumah bagi lebih dari 250 suku dengan 300 bahasa. Setiap bahasa, setiap tarian, setiap ukiran, dan setiap simbol adat adalah sebuah dunia tersendiri. Bahasa Papua bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga jendela kosmologi. Dalam bahasa Lani, kata nawi (babi) berarti kekayaan, kebanggaan, dan kehidupan. Bagaimana bahasa-bahasa ini bisa bertahan di tengah globalisasi adalah pertanyaan penting.

Papua juga menyimpan aneka kekayaan dalam praktik budaya semisal perkawinan. Di Biak, misalnya, mas kawin berupa manik, guci, dan piring antik masih terpelihara dengan baik. Begitu pula di Lani, berupa wam sedangkan di Saireri berupa kain timur. Maskawin bukan sekadar pembayaran, tetapi tanda penghargaan pada perempuan dan keluarga. Wam bukan hanya hewan yang diolah menjadi laut tetapi seperti nafas hidup ekonomi masyarakat.

Di tengah komunitas masyarakat adat ritual dan kepercayaan lokal masih hidup. Meski mayoritas orang Papua Kristen, unsur kepercayaan tradisional tetap hidup. Tradisi seni dan budaya juga masih terawat. Tarian Wor di Biak, Seka di Fakfak atau ritual adat di Sentani adalah bukti bahwa iman dan tradisi hidup dan seiring sejalan.

Wajah yang Kompleks 

Papua adalah wilayah dengan suguhan persoalan kompleks, terutama urusan politik sejak masuk dalam dekapan Ibu Pertiwi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Proses integrasi masih menyisakan kontroversi. Pertanyaan penting ialah mengapa luka sejarah ini masih membekas dalam memori kolektif orang Papua hingga saat ini?

Sejak tahun 2001, Papua mendapatkan status otonomi khusus (otsus) diikuti dengan sokongan dana dalam jumlah besar. Tahun 2023, misalnya, jumlah dana otsus menyentuh angka Rp 8,8 triliun. Dana tersebut berusaha mengongkosi sejumlah ketertinggalan dan mengurai wajah kemiskinan yang masih melilit masyarakat paling timur Indonesia itu. Namun, kemiskinan tetap tinggi dan menganga lebar. Pertanyaan bekelabat. Apakah sumber masalah berada di level kebijakan, implementasi atau hilangnya kepercayaan (trust) pemerintah pusat dan rakyat Papua? Ini pertanyaan penting.

Sedangkan, soal kepemimpinan di tingkat lokal bukan sekadar jabatan formal, tetapi juga soal kepemimpinan adat dan gereja. Seorang pendeta, misalnya, bisa lebih dihormati daripada pejabat karena kepemimpinan di Papua adalah kepemimpinan hati. Di lain sisi, di bidang pendidikan juga masih menghadapi persoalan serius yang butuh sentuhan serius. Banyak anak harus berjalan berjam-jam untuk ke sekolah. Karena itu, menjadi perhatian bersama adalah bagaimana menghadirkan pendidikan berkualitas di wilayah yang sulit dijangkau di tanah Papua, termasuk di daerah terpencil. 

Di bidang kesehatan, kenyataan memperlihatkan bahwa angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Karena itu, saat memikirkan bagaimana menghadirkan pelayanan kesehatan di daerah yang hanya bisa dicapai dengan pesawat perintis. Begitu juga di bidang ekonomi. Di level praksis, pembangunan kerap belum maksimal melibatkan masyarakat adat. Papua juga adalah tanah Injil. 

Ketua Sinode GIDI pernah mengatakan, Papua bukan hanya menyimpan emas di perut buminya, tetapi juga emas rohani bagi dunia. Status tanah Injil juga erat kaitannya dengan ucapan Pendeta IS Kijne: di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Ungkapan ini menjadi penanda bahwa peradaban Papua berdiri di atas Kristus. Misteri terbesar Papua adalah misteri iman: mengapa Injil bisa bertumbuh begitu cepat di tanah ini?

Aneka misteri yang bertabur di atas tanah Papua adalah anugerah sang Pencipta. Papua menyimpan misteri sejarah, alam, budaya, politik hingga misteri spiritual. Semua itu bukan untuk ditakuti melainkan untuk dipahami, dihargai, dan dijaga. Persis di sini tepat kata tokoh adat Papua: kulit kami memang hitam, tetapi hati kami putih seperti salju di Cartenz.

Papua mengajarkan kita —khususnya orang asli Papua— bahwa kekuatan bangsa bukan terletak pada keseragaman, tetapi pada keragaman. Misteri Papua adalah misteri kehidupan itu sendiri: penuh warna, penuh rahasia, dan penuh makna. Papua adalah cermin masa depan Indonesia. Bila kita mampu menjaga dan membangun Papua dengan kasih, maka sesungguhnya kita telah menjaga jiwa bangsa ini. (*)