“Papua Tanah Damai” Hanya Slogan

“Papua Tanah Damai” Hanya Slogan. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

NARASI “Papua Tanah Damai” sering didengungkan dalam pidato pejabat, spanduk pemerintah, hingga jargon kampanye pembangunan. Namun di balik kata-kata manis itu, realitas di lapangan berkata lain. Papua masih jauh dari damai. Slogan itu lebih mirip propaganda kosong, digunakan untuk menutupi kenyataan getir: Papua justru terus berada dalam lingkaran konflik, penderitaan, dan masalah yang tidak kunjung usai.

Masalah itu tidak muncul tiba-tiba. Akar persoalan Papua berawal dari proses integrasi yang penuh kontroversi. Pepera 1969 yang dijual sebagai “pilihan rakyat Papua” sesungguhnya adalah proses politik yang cacat legitimasi. Sejak saat itu, luka sejarah tetap terbuka dan diwariskan dari generasi ke generasi. Luka inilah yang kemudian melahirkan masalah-masalah baru di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, hukum, dan bahkan budaya. Seperti bola salju, masalah itu tidak pernah mengecil, justru terus membesar.

Jika Papua benar-benar tanah damai, maka mengapa konflik bersenjata masih terus menelan korban hingga kini? Mengapa rakyat sipil terus terjebak dalam pusaran kekerasan antara aparat negara dan kelompok bersenjata? Mengapa pengungsian masih terjadi di berbagai distrik, dengan warga hidup menderita di tengah ketidakpastian? Semua itu menunjukkan bahwa damai yang dijanjikan hanyalah fatamorgana, bukan kenyataan.

Di bidang politik, rakyat Papua masih merasa suaranya dibungkam. Partisipasi mereka dalam menentukan nasib sendiri tidak pernah diakui secara penuh. Kebijakan dari pusat kerap dipaksakan tanpa konsultasi yang bermakna dengan masyarakat adat. Sementara di bidang ekonomi, kekayaan alam Papua terus dieksploitasi habis-habisan, tetapi rakyat asli tetap miskin di tanahnya sendiri. Perusahaan-perusahaan besar meraup keuntungan, sedangkan masyarakat sekitar menanggung kerusakan lingkungan dan kehilangan ruang hidup.

Di bidang sosial, ketimpangan semakin tajam. Pendatang lebih mudah mengakses pendidikan, kesehatan, dan peluang usaha, sementara orang asli Papua tertinggal. Infrastruktur memang dibangun, tetapi lebih banyak untuk kepentingan proyek jangka pendek daripada menjawab kebutuhan mendasar rakyat. Di sisi lain, stigma negatif terhadap orang Papua—dicap malas, bodoh, atau kasar—masih bercokol kuat, bahkan menjadi bahan diskriminasi yang dilembagakan.

Bagaimana mungkin semua ini disebut damai? “Papua Tanah Damai” hanyalah slogan yang menutupi fakta bahwa Papua adalah tanah konflik yang terus berdarah. Slogan itu adalah selimut propaganda untuk membuat publik Indonesia merasa tenang, seakan-akan tidak ada masalah besar di Papua. Padahal kenyataannya, dari Nabire hingga Merauke, dari pegunungan hingga pesisir, luka dan ketidakadilan terus menjerit.

Karena itu, sudah saatnya kita berhenti menipu diri dengan slogan kosong. Papua tidak akan menjadi tanah damai hanya dengan kata-kata manis. Damai sejati hanya bisa hadir bila negara berani menghadapi akar persoalan: mengakui sejarah yang kelam, membuka ruang dialog yang jujur, menegakkan keadilan tanpa diskriminasi, serta menempatkan orang Papua sebagai subjek, bukan objek. Selama hal itu tidak dilakukan, “Papua Tanah Damai” akan tetap sekadar kalimat indah di atas kertas, sementara di tanahnya sendiri rakyat terus hidup dalam konflik dan penderitaan. (Editor)