Palestina, Negara Khayalan

Palestina, Negara Khayalan. Gambar Ilustrasi: Istimewa

BAGI sebagian orang, Palestina hanyalah sebuah “negara khayalan”—sebuah entitas yang terus diperjuangkan, tetapi tak kunjung merdeka secara penuh. Meski banyak negara telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka, realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari kedaulatan. Klaim kenegaraan Palestina seakan hanya bertahan di forum-forum internasional, bukan dalam struktur kekuasaan yang nyata, utuh, dan berdaulat.

Selama lebih dari tujuh dekade, rakyat Palestina terus berjuang melawan pendudukan, pengusiran, dan pembatasan wilayah oleh Israel. Namun di sisi lain, dukungan politik global yang mereka peroleh tidak cukup kuat untuk menekan Israel secara signifikan. Banyak negara besar, termasuk Amerika Serikat dan sebagian sekutu Eropa, masih mendukung Israel secara terbuka, baik secara diplomatik maupun militer. Ini menciptakan ketimpangan kekuatan yang tak mudah diseimbangkan.

Di dalam Palestina sendiri, kondisi politik internal tidak membantu. Faksi-faksi yang bersaing, seperti Hamas dan Fatah, justru melemahkan konsolidasi pemerintahan. Perpecahan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat menghambat munculnya pemerintahan nasional yang solid. Tanpa kesatuan politik dan visi bersama, sulit membayangkan Palestina membangun struktur kenegaraan yang stabil dan diakui secara menyeluruh.

Situasi geografis juga memperburuk keadaan. Wilayah Palestina yang terpecah-pecah, tanpa kontrol penuh atas perbatasan, udara, dan laut, menjadikan Palestina tidak memiliki kedaulatan teritorial sebagaimana lazimnya sebuah negara. Bahkan, pergerakan orang dan barang pun dibatasi secara ketat oleh otoritas Israel, yang menguasai pos-pos perlintasan utama. Dalam kondisi seperti ini, apakah sebuah negara bisa benar-benar berdiri dan menjalankan fungsi kenegaraannya?

Konflik yang terus berlangsung dan blokade ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan Palestina bergantung pada bantuan luar negeri. Ketergantungan ini menempatkan Palestina dalam posisi yang rentan secara ekonomi dan politik. Mereka tidak memiliki kontrol penuh atas sumber daya sendiri, dan ini bertolak belakang dengan prinsip kemandirian suatu negara.

Memang, menyebut Palestina sebagai “negara khayalan” terdengar kejam dan menyakitkan. Tapi dalam kerangka realpolitik, label itu mencerminkan kegagalan komunitas internasional dalam mengakui dan mendukung kemerdekaan yang sejati. Palestina memiliki bendera, paspor, dan kedutaan. Namun tanpa kendali atas wilayah, sistem pertahanan, dan kesatuan pemerintahan, semua simbol itu belum cukup untuk membentuk sebuah negara dalam arti yang utuh.

Di tengah perjuangan yang panjang dan harapan yang terus dikobarkan, dunia harus jujur melihat kenyataan. Palestina membutuhkan lebih dari sekadar pengakuan formal; mereka butuh keadilan nyata, kebebasan dari pendudukan, dan hak penuh atas tanah airnya. Sampai saat itu datang, Palestina akan tetap berada dalam persimpangan antara harapan dan kenyataan—antara cita-cita sebuah negara, dan bayang-bayang khayalan yang belum kunjung menjadi nyata. (Editor)