Oleh Benyamin Gwijangge
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Cenderawasih, Jayapura
DUA puluh empat tahun sudah Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan sejak disahkan pada 21 November 2001. Di atas kertas, otsus dirancang sebagai lex specialis, sebuah payung hukum yang lebih tinggi, lebih spesifik, dan seharusnya mengikat seluruh negara dalam memberikan pengakuan, perlindungan, dan tindakan afirmatif bagi orang asli Papua.
Namun perjalanan hampir seperempat abad ini menyajikan cerita yang jauh lebih kompleks. Cerita penuh paradoks, luka sekaligus harapan yang belum tuntas.
Otsus tidak lahir dalam ruang hampa. Ia hadir sebagai respons atas problem struktural yang membelenggu tanah Papua. Misalnya, ketertinggalan pembangunan, marginalisasi orang asli Papua, minimnya representasi politik, serta luka panjang akibat kekerasan negara.
Ada harapan sederhana tetapi fundamental, yaitu memberi ruang bagi Papua untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga kesejahteraan tumbuh seiring rasa keadilan. Tetapi realitas hari ini justru memperlihatkan gambaran yang sumir dan ambivalen.
Lebih dari Rp 100 triliun dana otsus mengalir sejak 2002, tetapi tidak seluruhnya bertransformasi menjadi kesejahteraan yang merata. Kabupaten-kabupaten seperti Nduga, Intan Jaya, Deiyai, Dogiyai, dan Pegunungan Bintang tetap mencatat tingkat kemiskinan ekstrem 30–40 persen. Dalam konteks orang asli Papua tertentu, angkanya bahkan lebih buruk.
Sering kali publik menyederhanakan masalah ini dengan menuding “korupsi lokal”. Betul, korupsi adalah bagian dari persoalan. Namun narasi itu hanya menjelaskan sebagian kecil dari peta besar. Ia bahkan kerap dipakai untuk menutupi akar struktural yang jauh lebih dalam bahwa otsus tidak pernah benar-benar diberi ruang sebagai lex specialis.
Tergerus Regulasi Generalis
Dalam logika hukum, lex specialis derogat legi generali aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Papua —seperti Aceh dan DIY— seharusnya memiliki keistimewaan yang dilindungi. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Ada beberapa bentuk pengabaian paling krusial. Pertama, kewenangan self-government dikebiri. Pasal 4, 38, 59, dan 61 UU Otsus mengatur kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, kesehatan, budaya, rekrutmen aparatur hingga tata kelola pemerintahan.
Tetapi banyak regulasi sektoral nasional tetap dipaksakan tanpa adaptasi kekhususan. Peraturan Menteri dan Perpres sering diberlakukan seakan-akan Papua adalah wilayah biasa —bukan daerah otonomi khusus.
Kedua, pemekaran provinsi 2022 yang melabrak mekanisme otsus. Pemekaran provinsi —Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah— dilakukan tanpa persetujuan MRP dan DPRP. Padahal kedua lembaga inilah roh representasi politik orang asli Papua. Proses ini bukan hanya mengabaikan otsus, tetapi merampas hak masyarakat adat atas masa depan wilayahnya.
Ketiga, desentralisasi yang setengah hati. Kewenangan untuk mengembangkan pendidikan berbasis budaya, kesehatan berbasis komunitas, atau rekrutmen aparatur khusus orang asli Papua sering dikoreksi atau bahkan dibatalkan oleh regulasi nasional. Akibatnya, otsus berdiri seperti rumah besar yang fondasinya terus digergaji dari bawah: tampak megah dalam teks hukum, tetapi rapuh dalam praktik kekuasaan.
Ketika Otsus Tidak Dipahami Sebagai Kebijakan Pengakuan
Otsus Papua adalah policy of recognition —kebijakan politik yang bertujuan memulihkan martabat orang asli Papua dan memperbaiki relasi historis Papua—Jakarta. Namun implementasinya lebih sering diperlakukan semata sebagai program pembangunan, bukan perjanjian politik.
Akibatnya dana mengalir tetapi diskriminasi struktural tetap terjadi. Infrastruktur tumbuh tetapi representasi politik orang asli Papua tidak menguat. APBD membesar tetapi pengambilan keputusan tetap dikendalikan kementerian. Tubuh otsus berjalan tetapi jiwanya tidak hidup.
Kemiskinan Papua menganga. Dana besar namun hasil tidak merata. Secara agregat, kemiskinan menurun sejak awal 2000-an. Namun penurunan itu jauh lebih lambat daripada provinsi lain. Dengan dana otsus terbesar dalam sejarah Indonesia, Papua tetap berada di posisi paling bawah.
Ada beberapa penyebab struktural. Pertama, intervensi pusat yang tidak sinkron, sehingga program anti-kemiskinan tidak kontekstual. Kedua, pemekaran administratif yang lebih menambah biaya birokrasi daripada meningkatkan layanan dasar.
Ketiga, konflik bersenjata antara TPNPB-OPM vs TNI-Polri yang menghambat pembangunan di wilayah-wilayah pedalaman. Keempat, pengawasan dana yang tidak berbasis adat, memperluas ruang korupsi birokratik. Kelima, kapasitas kelembagaan lokal yang tidak dibangun sejak awal, membuat dana besar tidak berubah menjadi kebijakan publik yang efektif.
Dengan demikian, kegagalan otsus bukan karena visinya salah, tetapi karena visi itu terus dipatahkan oleh ketidakkonsistenan negara dan kelemahan tata kelola lokal yang tidak pernah diberdayakan secara serius.
Kembalikan ke Rohnya
Memasuki usia 24 tahun, refleksi yang jujur dan berani sangat diperlukan. Otsus harus kembali pada prinsip dasarnya: memberikan self-government yang nyata dan menjadi perjanjian politik yang dihormati. Bukan sekadar program yang bisa diperlakukan secara teknokratik.
Ada beberapa langkah perbaikan yang perlu dilakukan ke depan. Pertama, menegakkan supremasi lex specialis secara konsisten dan menghentikan praktik mengebiri otsus melalui regulasi sektoral. Kedua, meninjau ulang pemekaran agar sesuai dengan mekanisme khusus otsus.
Ketiga, memperkuat lembaga representasi orang asli Papua agar memiliki daya tawar politik yang efektif. Keempat, membangun arsitektur anti-kemiskinan berbasis adat, kampung, dan ekologi Papua.
Kelima, menggeser paradigma otsus dari “transfer dana” menjadi “pengakuan politik dan kemandirian kewenangan pemerintahan lokal”.
Setelah 24 tahun berjalan, pertanyaan paling mendasar adalah apakah negara siap memperlakukan otsus sebagai perjanjian politik yang harus dihormati, bukan sekadar program yang bisa diubah sesuka hati?
Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan masa depan relasi Papua dan Jakarta. Selama lex specialis terus dikesampingkan, otsus akan tetap menjadi proyek setengah hati: hidup secara administratif tetapi gagal secara moral.









