OPINI  

Menimbang Arah Kebijakan Populis Prabowo

Ruben Benyamin Gwijangge, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ruben Benyamin Gwijangge
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura

PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto dan Wail Presiden Gibran Rakabuming Raka (selanjutnya, Prabowo Gibran) hadir dengan segudang program ambisius yang diklaim mampu memutus rantai kemiskinan. Sebut saja Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Daya Anagata Nusantara (Danantara), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan Program Efisiensi Anggaran.

Di atas kertas, program-program ini tampak menjanjikan, bahkan visioner. Namun, pertanyaan besar segera muncul ialah apakah ambisi tersebut realistis dan berkelanjutan di tengah bayang-bayang krisis moneter? Salah satu faktat tersaji: pajak melejit lalu rakyat di pelosok negeri menjerit akibat nadi ekonomi berdenyut lemah.

Program MBG, misalnya, jelas menjadi ikon populisme pemerintah. Dengan klaim menjangkau lebih dari 20 juta penerima, menciptakan ratusan ribu lapangan kerja, hingga menghidupkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan petani, program ini memang punya daya tarik.

Tetapi, harga yang harus dibayar tidak kecil. Anggaran triliunan rupiah per bulan digelontorkan, sementara ruang fiskal semakin sempit. Apabila pertumbuhan ekonomi melemah, beban subsidi semacam ini berpotensi menjadi bumerang yang justru memperdalam defisit. Subsidi tak lebih seperti senjata makan tuan.

Sementara itu, Danantara atau Sovereign Wealth Fund ala Indonesia disebut-sebut sebagai instrumen strategis untuk mengelola aset negara dan mengundang investasi. Gagasan ini baik, tetapi masalah klasik muncul: transparansi dan tata kelola. Tanpa kontrol publik yang kuat, Danantara bisa menjadi ladang baru oligarki, alih-alih menyejahterakan rakyat banyak.

Indah Kabar dari Rupa

Koperasi Merah Putih dan Sekolah Rakyat juga terdengar indah di telinga. Program ini indah kabar dari rupa. Koperasi didesain untuk menghadirkan sembilan bahan pokok (sembako) murah di desa-desa dan membuka lapangan kerja. Sedangkan Sekolah Rakyat ingin memberi akses pendidikan gratis dan berasrama bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Akan tetapi, keduanya sami mawon: memiliki keterbatasan nyata. Koperasi berpotensi menjadi beban fiskal baru dan rawan praktik korupsi di tingkat lokal, sedangkan Sekolah Rakyat masih terlalu kecil skalanya untuk menyentuh jutaan anak miskin Indonesia hingga ke beranda negeri. Ironisnya, biaya per sekolah justru sangat tinggi, sementara sekolah-sekolah yang sudah ada masih banyak yang rusak dan kekurangan guru.

Di sisi lain, Prabowo Gibran juga berani mengambil langkah efisiensi anggaran dengan memangkas triliunan rupiah dari birokrasi. Ide ini tampak progresif. Namun, tanpa tata kelola yang kuat, efisiensi justru bisa berubah menjadi pengalihan dana besar-besaran yang rawan kebocoran. Penghematan anggaran bukan sekadar memindahkan pos belanja, tetapi harus menjamin setiap rupiah benar-benar sampai ke rakyat.

Dalam situasi global yang tidak menentu, ancaman krisis moneter kembali menghantui. Rupiah melemah, harga pangan dunia bergejolak, dan ketergantungan impor masih tinggi. Di tengah kondisi seperti ini, program populis yang terlalu ambisius bisa menjadi beban, bukan penyelamat. Pertanyaannya: apakah pemerintah hanya mengejar citra politik jangka pendek, atau benar-benar membangun fondasi ekonomi jangka panjang?

Hemat penulis, solusi bukanlah menolak seluruh program tersebut, tetapi menata ulang prioritas. MBG bisa dijalankan dengan skema bertahap, bukan serentak nasional. Danantara harus dikelola secara transparan dengan mekanisme audit independen.

Koperasi perlu dilatih dan diawasi agar tidak menjadi ladang rente baru. Sekolah Rakyat sebaiknya diarahkan pada perbaikan sekolah eksisting dan kurikulum vokasi. Dan efisiensi anggaran harus dibarengi dengan keterbukaan data dan partisipasi publik.

Intinya, keberpihakan fiskal kepada rakyat harus sejalan dengan disiplin ekonomi makro. Program besar bukan berarti salah, tetapi tanpa perhitungan yang matang, ia bisa menjadi jebakan utang dan defisit. Dalam kondisi menuju krisis, pemerintah harus lebih berhati-hati.

Rakyat tidak butuh sekadar simbol populisme, melainkan kepastian bahwa setiap kebijakan benar-benar membuat hidup mereka lebih sejahtera, bukan semakin menjerit.